Senin, 15 Maret 2010

Mengapa Masyarakat Adat Dayak Lebih Menyukai Karet?

Masyarakat ADAT DAYAK Dan Tanaman Karet



Salah satu “revolusi” yang paling fenomenal dalam kehidupan pertanian masyarakat Dayak di Kutai Barat adalah perkebunan karet rakyat. Harus diakui tidak ada dalam sejarah pertanian masyarakat Dayak jenis tanaman yang sedemikian berkembang pesat luasan arealnya seperti tanaman Karet. Karet menjadi primadona dan menjadi tanaman yang begitu “merakyat”.
Tentunya, tanaman Karet tidak begitu saja diterima oleh penduduk asli yang sudah terbiasa dengan pola pertanian berladang “gilir-balik” yang sudah dilakukan secara turun temurun antar generasi. Perlu waktu puluhan tahun dan bukan hal yang mudah untuk sebuah proses meyakinkan penduduk, yang memang tidak mudah menerima jenis tanaman introduksi yang baru, apalagi ditambah dengan bekas luka trauma penipuan berkedok proyek  yang pernah terjadi beberapa tahun lalu seperti ; proyek perkebunan pisang Abaka dan baru-baru ini tahun 2006 proyek perkubunan Ginseng. Bahkan ada perkebunan swasta yang mencoba untuk membuka perkebunan baru jenis tanaman Kenaf dan sudah membuka tempat percontohan tanaman (demplot) tanaman Kenaf di Mapai kecamatan Linggang Bigung namun sampai saat ini tidak terdengar kabar beritanya.
Karet telah menopang kehidupan perokonomian sebagian besar masyarakat Dayak, 23 ribu KK tani (Kaltim Post, 2/5/2007 hal. 37) menggantungkan hidupnya dari tanaman ini. Kebun Karet layaknya seperti sebuah “bank” yang dapat diuangkan selama 15 sampai 20 tahun.
Karet membuat geliat perekonomian di kampung-kampung menjadi lebih hidup ditandai dengan munculnya pasar malam pada setiap minggunya pada hari-hari tertentu seusai penjualan karet, yang umumnya dilakukan dua kali dalam seminggu yaitu hari Sabtu dan Minggu.
Diperkirakan pada tahun 2005 uang yang beredar dari hasil penjualan karet setiap bulannya dimasyarakat sekitar Rp. 9,820 Miliar atau Rp 117,850 Miliar pertahunnya (Kaltim Post, 2/5/2006, hlm. 37)
Dapat dikatakan bahwa Perkebunan karet rakyat merupakan salah satu penggerak roda ekonomi pembangunan yang nampaknya masih “dianaktirikan” ibarat sebuah “kendaraan ekonomi”, perkebunan karet rakyat adalah sebuah “sepeda tua” yang lamban dan tidak menarik, yang nota bene milik “wong cilik” dibandingkan dengan “si anak emas” (sektor  pertambangan) ibaratkendaraan BMW atau Mercy” yang dapat melaju dengan cepat dan “wah” (prestisus) milik kaum pemilik modal yang pada kenyataanya banyak menimbulkan masalah sosial dan lingkungan. Tulisan ini bukanlah untuk menunjukan sikap antipati terhadap sektor pertambangan yang memang memberikan kontribusi terbesar dalam Pendapatan Asli Daerah (PAD), namun haruslah diingat siapakah penyumbang terbesar “Pendapatan Asli Rakyat”? jawabnya adalah kebun karet.
Petani karet di Kutai Barat dapat dikategorikan ke dalam petani karet Dayak dan non-Dayak. Yang pertama berbasis ekonomi subsisten perladangan tradisional, sedangkan yang kedua berbasis ekonomi tegalan dengan latar belakang budaya petani di pulau Jawa. Komunitas petani karet Dayak relatif lamban menerima perubahan sistem perkebunan karet yang monokultur ini, sedangkan petani Jawa lebih cepat beradaptasi dengan sistem perkebunan karet tersebut. Namun, dewasa ini petani Dayak seakan-akan masuk 
dalam eforia perkebunan karet yang nyaris menyebar di seluruh Kabupaten Kutai Barat. Petani Dayak memiliki sumber daya tanah yang relatif berlimpah, sementara petani karet yang non-Dayak sudah terbentuk dengan masalah keterbatasan lahan untuk perkebunan karetnya.
Walau demikian, bagi petani Dayak perlu waspadai dengan lahan pertanian ladang, karena kini lokasi lahan perladangan telah nyaris digunakan untuk perkebunan karet. Sementara perkebunan karet belum seratus persen menjamin ketahanan pangan bagi penduduk setempat. Jadi alternatif tanaman produksi di luar karet berikut tanaman pangan di luar padi ladang perlu diantisipasi serius oleh Pemerintah bersama masyarakat petani di Kabupaten Kutai Barat.

2. Karet Bukan Yang Lain!
Ada beberapa alasan yang dikemukakan petani ketika mereka ditanya mengapa mereka memilih karet, dari hasil survey ada beberapa alasan yang dikemukan petani, berikut adalah alasan yang dikemukan petani Gleo Asa, Kecamatan Barong Tongkok;


Alasan Memilih Karet :

Merupakan sumber pendapatan yang tetap;

Tidak ada usaha lain selain karet;

Karena melihat masyarakat lain yang tanam karet

kehidupannya lebih sejahtera;

Karena harga karet, saya bisa mengimbangkan dengan 

harga kebutuhan pokok saat ini;

Karet adalah usaha yang mudah, harganya mahal;

Tanaman usianya panjang sehingga menghasilkan uang yang panjang;

Komoditi yang menjajikan dan bisa mengimbangi harga bahan pokok;

Lebih cerah prospeknya;

Bisa menjadi penghasilan tetap;

Komoditi yang bisa diandalkan;

Harga lebih baik dari komoditi lain;

Karena dari hasil mencukupi kebutuhan;

Lebih menguntungkan;

Hanya karet yang ada harga;

Harga menjajikan dan dapat penghasilan;
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.