Selasa, 14 Desember 2010

KILIP MENIKAHI PUTRI BUNCUUQ

 KILIP MENIKAHI PUTERI BUNCUUQ
Konon dahulu kala hiduplah Amaq Aji  bersama anak-anaknya yang hampir semuanya sudah berumah tangga, kecuali Buncuuq.
Pada suatu hari Amaq Aji berkata kepada isterinya, Delooi, “Anak kita yang bungsu ini tidak akan menikah dengan sembarang pemuda, kecuali pemuda tersebut dapat menjala di halaman rumah lamin kita dan memancing ikan di teras lamin kita itu.”
Berita sayembara itu didengar oleh seorang pemuda yang bernama Lalukng Uleq. Pemuda ini selalu bertelanjang bugil tanpa pakaian, karena ketidakmampuannya membeli pakaian. Pemuda ini pun pemalas. Maka berangkatlah Lalukng Uleq menuju rumah Amaq Aji untuk mengikuti sayembara itu. Dalam perjalanannya, ia singgah di suatu rumah, untuk  meminjam cawat dan singgah lagi di rumah berikutnya untuk meminjam baju, serta singgah di rumah lainnya untuk meminjam slayer dan sarung. Setelah lengkap, maka barulah ia menuju ke rumah Amaq Aji.
Setibanya di rumah Amaq Aji,  ia pun menyampaikan tujuannya, yaitu mau melamar Puteri Buncuuq untuk jadi isterinya. Dengan modal kemampuan yang menjala ikan di halaman rumah dan memancing ikan di teras rumah, maka Amaq Aji sangat gembira mendengar penuturan pemuda tentang kemampuan tersebut dan langsung menerima lamarannya. Maka mulai di hari itu Buncuuq telah mendapatkan suaminya, yaitu Lalukng Uleq  atau manusia ular.
Dari hari menginjak minggu dan bulan menginjak tahun, maka pada suatu hari, suami Buncuuq itu mengajak isterinya itu  pulang ke rumah orang tuanya. Tepat pada hari yang ditentukan, maka berangkatlah Buncuuq dengan suaminya mengunjungi tempat asal Lalukng Uleeq. Dalam perjalanan itu, pertama-tama Lalukng Uleeq tiba di rumah, di mana ia meminjam slayer dan sarung, maka pakaian itu dilepaskannya dari tubuhnya dan dikembalikannya. Demikian juga di rumah di mana ia meminjam baju, maka dilepaskannya bajunya dari badan, lantas dikembalikannya kepada tuan rumah di situ. Akhirnya, tibalah Lalukng Uleeq di rumah di mana ia meminjam cawat, lantas dilepaskan cawatnya dan dikembalikan kepada tuan rumah tersebut. Setelah semua pakaian tersebut dikembalikan kepada pemiliknya, maka kini Lalukng Uleeq kembali bugil dan berjalan dengan tanpa pakaian apa-apa alias telanjang bulat.ular.
Walau diam saja, namun Buncuuq merasakan ada sesuatu yang aneh pada suaminya itu. Dalam perjalanan yang harus melewati hutan belantara tersebut, maka Lalukng Uleeq mengajak Buncuuq, isterinya beristirahat. Pada waktu istirahat itu, Lalukng Uleeq tidak mau duduk langsung di atas tanah, dan ia meminta  Buncuuq duduk dengan menjulur kedua kaki lurus ke depan, dan ia duduk di atas selonjoran kedua kaki isterinya itu. Buncuuq mengikuti saja apa kemauan suaminya itu. Pada awalnya, Lalukng Uleeq duduk tampak masih seperti manusia biasa, tapi lama kelamaan tubuhnya bertambah tinggi hingga mencapai awan.
Lantas Buncuuq meronta-ronta dan menyuruh suaminya segera turun dari pangkuannya, karena badannya sangat berat, namun teriakan dan permintaan tersebut tidak dihiraukan oleh Lalukng Uleq. Keadaan ini membuat Buncuuq merasa kehabisan tenaga, dan bahkan badan Buncuuq sendiri tertanam ke dalam tanah hingga sampai di pinggang. Buncuuq telah tenggelam ke dalam tanah di tempat tersebut. Saat itu keadaan Buncuuq benar-benar kritis, tapi tepat pada saat itu juga Kilip Taman Tauq yang sedang berburu mendengar suara orang yang merintih-rintih dan ia pun segera mendatangi asal suara tersebut dan melihat Buncuuq sudah dalam keadaan yang sangat kritis.
Tanpa banyak tanya lagi, maka Kilip langsung membidikkan sumpitnya  dan melepaskan anak panahnya tepat mengenai di bawah ketiak Lalukng Uleeq, lalu robohlah Lalukng Uleeq ke bumi yang di sertai suara mengerang bagaikan orang yang membuang delapan buah gong.
Setalah itu, maka Buncuuq pun terbebas dan keluar dari dalam tanah dan pulang ke rumahnya yang diantar oleh Kilip sendiri.
Sesampainya di rumah Buncuuq memarahi Bapaknya dengan berkata, “Lain kali kalau mencari jodoh saya, jangan lagi cari yang aneh-aneh, sebab kalau bukan hantu, mana ada manusia biasa yang bisa menjala di pelataran rumah. Orang menjala dan memancing itu pasti di air sungai sana. Bapak tidak tahu penderitaan saya, coba kalau tidak ada Kilip yang menolong saya, maka saya sudah pasti mati oleh ulah Lalukng Uleeq, hantu keparat itu.”
Mendengar penuturan Buncuuq demikian, maka Amaq Aji semakin sadar untuk tidak boleh menjodohkan anaknya itu  secara sembarangan, karena sangat berbahaya.
Akhirnya Amaq Aji menikahkan Puteri Buncuuq dengan Kilip dan kehidupan mereka sangat rukun, damai dan mendapat keturunan yang banyak.

Minggu, 31 Oktober 2010

SI KUMANG DAN PUTERI SERANGGA INAI

ALKISAH pada zaman dahulu di suatu kampung kecil, hiduplah seorang ibu dengan dua orang anaknya. Sang ibu bernama Darma Shinta. Kedua anaknya masing-masing bernama Buku dan Kumang. Kehidupan keluarga ini sangat miskin.
Kedua anak tersebut mempunyai watak-perangai yang sangat berbeda satu sama lainnya. Kumang adalah anak yang pemalas dan suka membantah perintah ibunya, sedangkan Buku sangat rajin dan sangat patuh dengan perintah ibunya.
Ibunya sedih merenungkan nasib yang dialaminya bersama dengan dua anak yang berbeda watak-perangai itu.
Pada suatu hari ketika Buku dan Kumang mengobrol, tiba-tiba Buku mengusulkan suatu ide kepada Kumang, kakaknya, “Bagaimana kalau kita pasang jerat di hutan belantara sana? Karena meskipun kita tidak punya beras, tetapi apabila jerat kita menangkap binatang hutan, maka daging binatang itu bisa kita makan sekedar untuk bertahan hidup kita sehari-hari".
Kumang menjawab adiknya, “Kalau begitu baiklah! Tapi di mana kita bisa menemukan tali untuk membuat jerat itu?"
Buku adiknya menjawab, "Kita jangan kurang akal, karena di dalam hutan sana banyak akar-akaran yang seratnya bisa digunakan untuk tali jerat kita."
Kumang berkata, "Baiklah kalau begitu! Mari kita dua berangkat sekarang juga ke hutan sana!"
Lalu keduanya menemui ibunya untuk menyampaikan maksud keduanya yang ingin pasang jerat di hutan. Mendengar niat kedua anaknya itu, maka ibunya sangat gembira dan mendoakan semoga usaha kedua anaknya berhasil.
Mereka berdua berencana masuk hutan pada esok pagi. Setelah pagi pun tiba, maka berangkatlah Buku dan Kumang menuju hutan belantara. Namun seharian mereka berjalan di dalam hutan belantara itu, mereka belum juga menemukan akar yang dimaksudkan. Oleh karena itu, perjalanan mereka harus dilanjutkan terus hingga hari yang keempat.
Pada hari kelima, konon mereka sampai di pinggir laut. Karena sudah senja, maka keduanya segera menyiapkan tempat istirahat di pantai laut yang sangat indah.
Esok paginya keduanya berjalan menelusuri pantai laut. Dan di pantai laut itulah, keduanya menemukan akar yang bisa dipakai sebagai tali jerat binatang di hutan.
Keduanya sangat girang hati. Pada hari itu juga  mereka mengambil semua serat akar itu. Setelah itu, keduanya memutuskan kembali ke rumah dan dalam waktu yang sama dengan hari-hari kepergiannya, demikian juga dengan waktu pulangnya.
Setelah sampai di rumah, maka keduanya istirahat selama 3 hari, karena kecapaian dalam perjalanan pulang pergi sekitar sepuluh hari tersebut.
Baru pada hari berikutnya bersama ibunya, mereka membuat tali jerat dari serat akar tersebut. Dalam waktu satu minggu, tali jerat itu semuanya selesai.
Pada pagi harinya, maka keduanya mulai memasang jerat dari depan rumah mereka hingga di pinggir laut tempat mereka mengambil akar itu dulu. Pemasangan jerat ini adalah sekitar satu bulan lebih.
Selesai memasang jerat itu, maka keduanya kembali sambil menelusuri jerat yang telah terpasang. Keduanya gembria sekali, karena jeratnya telah menangkap berbagai jenis binatang hutan dan tentunya dibawa ke rumah ibunya.
Setibanya di rumah, maka mereka berpesta pora menikmati daging hewan yang kena jerat. Jadi pekerjaan mereka hanyalah makan dan tidur saja sampai daging itu habis, barulah mereka teringat lagi dengan jerat-jerat yang telah lama tidak diperiksanya.
Lantas Kumang mengajak adiknya untuk melihat jeratnya itu. Pada waktu yang masih pagi-pagi benar, maka keduanya berangkat, tapi anehnya walau sudah setengah perjalanan, tidak ada satupun binatang yang terperangkap oleh jerat mereka.
Meskipun demikian, mereka tetap meneruskan perjalanan sampai pada ujung jalan jerat di lautan sana. Di penghujung deretan jerat di sana, lantas baru terlihat ada jerat yang menjerat binatang. Mereka berdua lari menuju jerat tersebut.
Ternyata jerat itu menangkap seekor anak kuda emas. Keduanya sangat senang sambil menangkap dan melepaskan jerat dari kaki seekor anak kuda emas tersebut.
Setelah itu mereka pulang sambil menggendong anak kuda emas itu silih berganti. Karena jalannya masih jauh, maka keduanya merasa capai dan beristirahat sejenak sekedar melepaskan lelah.
Tampaknya anak kuda emas itu sangat jinak sepertinya pernah dipelihara orang saja. Ternyata dugaan mereka itu benar, karena setelah dilepas di situ, anak kuda emas itu tidak lari dan anehnya saat mereka berjalan lagi, anak kuda emas malah mengikuti mereka dari belakang.
Sesampainya di rumah, ibunya ikut gembira melihat anak kuda emas itu, meskipun kedua anaknya tidak membawa binatang lainnya.
Pada saat anak kuda itu mulai berada dalam peliharaan dan asuhan mereka, maka sejak malam pertama saja sudah terjadi perubahan yang nyata dalam kehidupan mereka, seperti guci tempat beras bisa berisi sendiri dengan beras, sehingga keperluan mereka dengan sendirinya tersedia.
Demikianlah hal itu berlanjut terus sampai beberapa lama  hingga kehidupan mereka serba berkecukupan tanpa ada  kekurangan apa pun juga.
Anak Kuda emas itu dibuatkan rumahnya yang bagus oleh si Buku dan si Kumang. Dan setiap hari pula anak kuda emas itu digembalakan untuk makan rumput yang ada di sekitar rumah mereka. Mereka sangat bersahabat dengan anak kuda emas tersebut.
Roda waktu terus berputar. Setelah kehidupan si ibu dan dua anaknya itu berkecukupan, maka sudah tiba waktunya juga bagi anak kuda emas itu untuk kembali ke asalnya.
Pada suatu hari setelah dilepaskan dari rumahnya yang bagus, maka anak kuda emas itu tidak kembali ke kandangnya sehari dan semalam suntuk dan pada pagi hari besoknya, barulah anak kuda emas itu ada di kandangnya.
Pada hari ketiga, anak kuda itu tidak pulang hingga hari ketujuh. Hal ini membuat si Kumang getir, kalau-kalau kuda kesanyangan mereka itu tidak pulang dan hilang.
Lantas si Kumang bercerita pada ibunya bahwa ia akan pergi ke hutan untuk mencari kuda mereka yang tak kunjung kembali seperti biasanya.
Ia berkata kepada ibunya, “Bu, saya akan mencari kuda itu sampai bertemu, dan sebelum saya temukan, maka saya tidak akan kembali!”. 
Lantas Si Kumang berpesan kepada adiknya, “Kamu jagalah ibu kita dengan baik-baik, semoga saja saya tidak terlalu lama di hutan, dan aku segera kembali  membawa kuda kita itu.” 
Pada malam itu juga ibu dan adiknya menyiapkan bekal yang akan dibawa oleh si Kumang pada pagi harinya.
Sekitar jam 05.00 pagi, si Kumang bangun dan menyiapkan segala sesuatu yang akan dibawanya. Setelah matahari muncul di ufuk timur, maka si Kumang berangkat menuju hutan guna mencari kuda kesayangan mereka.
Tidak terlalu jauh dari rumah atau sekitar 200 meter saja, si Kumang telah menemukan kuda itu tidur di semak-semak belukar tempat ia makan di situ. Si Kumang sangat gembira, karena begitu cepatnya ia menemukan kudanya dan segera membawa pulang ke rumahnya.
Akan tetapi harapan Si Kumang meleset, karena saat ia mendekat untuk menangkap kuda itu, maka kuda itu bangkit dan meloncat cukup jauh dari tempat si Kumang berdiri.
 Khawatir kalau-kalau tangkapannya lepas lagi, maka si Kumang terus mengejar kuda itu, tetapi anak kuda itu sangat lincah, sehingga setiap kali ia hendak menangkapnya, maka ia selalu menjauh dan menjauh dari si Kmang, namun ia tidak langsung menghilang di semak-semak belukar di sekitar rumahnya itu juga.
Pengejaran itu terus berlanjut hingga sore hari. Si Kumang mencari tempat untuk tidur di sekitar tempat itu juga pada malam itu.
Pagi harinya, ketika bangun pagi, ia langsung mengintai untuk mencari anak kuda dan ternyata anak kuda itu pun tidur tidak jauh dari tempatnya tidur malam itu. Anak kuda itu pun kecapaian tampaknya, karena seharian kemarin berkejar-kejaran dengan Si Kumang.
Akhirnya si Kumang berkata dalam hatinya, “Ah, masa bodoh! Anak kuda itu masih saja menunggu saya. Kalau kamu mau pulang ke rumah saya, ya, pulanglah! Atau kamu mau hilang, yang hilanglah! Atau kalau kamu mau kembali ke tempat asalmu, kembalilah sekarang juga!”
Setelah si Kumang berkata dalam hatinya itu tadi, si anak kuda itu, bukannya lari, tapi malah mendekati si Kumang.
Dengan demikian berarti bahwa anak kuda ini tidak lari ke hutan atau menghilang darinya. Lantas Si Kumang tidak sabar lagi, maka langsung coba ditangkapnya anak kuda itu. Akan tetapi si Kumang selalu saja kalah gesit, sehingga tidak berhasil menangkap anak kuda itu. Namun, tampaknya anak kuda itu sendiri memang sengaja tidak meninggalkan Si Kumang di tengah hutan belantara.
Hal demikian berlanjut sampai berhari-hari dan perjalanan Kumang pun sudah jauh memasuki hutan lebat.
Pada hari terakhir, karena Si Kumang telah memutuskan, jika ia tidak bisa juga menangkap anak kuda itu, maka ia akan  pulang saja. Tapi anehnya pada hari itu, anak kuda itu berjalan agak perlahan-lahan sambil menuju sebuah pohon beringin yang besar dan rindang daunnya.
Si Kumang terus mengikuti dari belakang. Pada saat kuda itu telah sampai di bawah pohon beringin, maka tiba-tiba anak kuda itu lenyap dari pandangan si Kumang.
Lantas, si Kumang berkata dalam hatinya, “Aku beristirahat dulu saja di bawah pohon beringin ini, dan besok aku kembali pulang ke rumahku”.
Dia pun baring untuk melepaskan penat, lapar dan dahaganya. Sementara pandangannya tertuju ke atas  pohon beringin tersebut, maka ia melihat ada rumah yang cukup besar dan cukup antik.
“Nasib baik bagiku!”, kata Si Kumang dalam hatinya. Lantas Kumang berkata lagi dalam hatinya, “Untunglah, Aku kok bisa menemukan rumah orang dalam hutan belantara ini seperti ini”.
Si Kumang pun langsung bangkit dan memanggil yang empunya rumah, “Apakah ada orang di dalam rumah di sini?”
Lantas ada suara jawaban,  Ada!”
Si Kumang bertanya lagi,  “Bisakah aku numpang naik di rumah ini?”
Orang itu menjawab lagi, “Boleh! Silahkan naik dan masuk!”.
Si Kumang pun naik dan dilihatnya seorang nenek tua yang sudah bungkuk duduk di tengah–tengah rumah tersebut.
Lantas Si nenek tua mempersilahkan Si Kumang duduk dan si nenek itu menyuguhkan minuman dan makanan sekadarnya.
 Si Kumang pun mulai menceritakan riwayat perjalananya hingga sampai di tempat si nenek ini. Nenek tua itu juga memperkenalkan namanya, bahwa namannya adalah Nenek Lampir.
Sementara keduanya ngobrol, pandangan Si Kumang tertuju ke kolong rumah dan dilihatnya anak kuda emas yang barusan saja menghilang, sedang tidur nyenyak di dalam kandangnya.
 Si Kumang bertanya kepada nenek tentang riwayat kuda tersebut. Nenek Lampir lantas menceritakan bahwa, “Kuda tersebut adalah peliharaannya sendiri. Berhubung nenek ini kasihan melihat keadaan kamu, ibumu dan adikm yang serba miskin, maka diserahkanlah kuda itu melalui jerat yang kalian pasang. Sekarang nenek mengetahui bahwa keadaan kalian sudah cukup baik, maka kuda emas itu saya ambil kembali dari kalian”.
Setelah mendengar cerita si Nenek Lampir itu, maka  si Kumang berkata kepada nenek itu, “Saya mohon pamit nenek! Saya sekarang mau kembali kepada ibu dan adikku, karena sudah cukup lama saya berada dalam hutan belantara ini”.
Tetapi nenek tua itu mencegah kepergian Kumang dan kembali menceritakan mengapa nenek tinggal di tengah belantara ini.
Nenek Lampir bercerita, “Nenek tinggal di sini untuk menjaga anak kuda emas itu dan menjaga keamanan bagi tujuh Puteri kayangan yang mandi di kolam di depan rumah si nenek di situ. Kalau bisa Kumang menginap saja barang satu atau dua  hari lagi guna sekedar melihat tujuh Puteri kayangan tersebut mandi di kolam itu. Biasanya kalau mereka turun mandi, hari sangat panas dan disertai suara angin ribut dan pada jam 12 siang”.
 Keesokan harinya hari pun sangat panas terik dan tepatnya pada jam 12 siang, maka ada suara seperti angin topan dari atas langit dan si Kumang pun bergegas turun dari atas rumah dan bersembunyi di bawah tangga kolam tempat mandi mereka. Tidak lama kemudian mereka pun kelihatan di sela–sela awan yang tebal dan muncul satu persatu, yang petama adalah yang paling sulung dan berlanjut seterusnya sampai yang paling bungsu.
 Yang paling bungsu langsung membuka baju terbangnya dan meletakkannya di atas kepala tangga di mana tempat si Kumang bersembunyi. Dan mereka semua pun asyik mandi dan bersenda gurau satu sama lainnya.
Lantas Si Kumang perlahan–lahan keluar dari tempat persembunyiannya dan mengambil baju terbang gadis yang paling bungsu tersebut, lantas menyembunyikannya dalam sarung kerisnya sendiri.
Setelah puas mandi, maka para bidadari tersebut bergegas untuk kembali pulang ke tempat mereka di kayangan sana.
 Untuk itu satu persatu mereka mengenakan pakaian terbangnya.  Giliran yang terakhir si bungsu mencari pakaian terbangnya, tapi tidak didapatinya. Ia mencari ke sana ke mari namun tak ditemukannya.
Lantas Si Bungsu itu berteriak dan menangis, karena tidak didapatinya pakaian terbangnya, dan dengan sigapnya si Kumang keluar dari persembunyiannya dan menangkap Puteri Bungsu tersebut dan membawa ke atas rumah Nenek Lampir.
Adapun Putri Bungsu itu sendiri ditinggalkan oleh kakak– kakaknya yang kembali ke langit. Dan sesampainya mereka di kayangan, mereka pun segera melaporkan kepada ayah mereka bahwa adik mereka telah diculik dan baju terbangnya pun dicuri manusia di bumi sana.
Sang ayah mereka berusaha membuat baju terbang yang baru, namun tidak berhasil. Maha Putra Guru itu berkata, “Mungkin adik kalian ini sudah menemukan jodohnya dengan manusia di bumi sana!”
 Pada Hari pertama, Putri Bungsu itu menangis sejadi– jadinya, karena merasa asing di bumi dan tinggal jauh dari keluarganya.
Setelah hari kedua dan ketiga, barulah ada perubahan. Si Kumang memperkenalkan dirinya dan Putri Bungsu pun memperkenalkan namanya, yaitu Puteri Serangga Inai. Jadilah si Kumang dan Puteri Serangga Inai menikah di bumi ini.
Pada keesokan harinya, si Kumang dan Puteri Serangga Inaai berangkat untuk kembali ke tempat si Kumang.
Jalan yang harus mereka tempuh memakan waktu berbulan–bulan. Perjalanan yang dulunya hanya ditempuh  oleh Kumang hanya satu hari saja.
Setibanya mereka di rumah, maka tampak bahwa akar-akar tetumbuhan telah membalut rumahnya sampai ke bumbungan atap. Keduanya masuk ke dalam rumah itu dan dilihatnya bahwa adik dan ibunya sudah hampir tidak bernapas lagi, hanya kulit membalut tulang saja.
Lantas Puteri Serangga Inai merasa iba melihat keadaan ini, lalu ia duduk di dekat mereka dan disapunya dengan tangan dari kepala sampai ujung kaki, dan seketika itu juga mereka bangkit dari tidurnya dan duduk menceritakan hidup mereka sepeninggalnya si Kumang yang mencari anak kuda emas yang hilang di hutan belantara.
Pada malam harinya sang Puteri Serangga Inai meminta kesediaan si Kumang, suaminya itu untuk mengukur luasnya kampung tersebut, yaitu “7 rantau ke hilir, 7 rantau ke hulu, dan 7 gunung ke darat”.
Pada keesokan harinya, si Kumang pun berangkat dan mengadakan pengukuran sesuai dengan permintaan si Puteri Serangga Inaai, dan pengukurannya tersebut selesai pada hari yang keenam.
Tepat pada tengah malam, Puteri Serangga Inai bangkit dari tidurnya dan keluar rumah dan langsung berdoa sebagai berkut,
“Riang-riang hari bujang gaq,
riang–riang hari kapulun,
jika asal-usulku anak Kayangan,
mohon doaku ini dikabulkan,
7 rantau ke hilir,
7 rantau ke hulu,
7 gunung ke darat, 
akan menjadi sebuah kota,
ranting dan dahan kayu pun,
akan menjadi rumah dan gedung,
dan daun–daunnya pun,
akan menjadi manusia,
serta rumah kami ini,
menjadi Istana,
bermahligaikan emas dan intan.
Si Kumang menjadi raja,
dan aku jadi permaisurinya”.
Keesokan harinya si Kumang berserta Ibu dan adiknya bangun, maka mereka merasa ada suatu keanehan. Melihat sekeliling keadaan di dalam rumahnya dengan ruangan begitu banyak, luas dan megah dan dihiasi lampu–lampu yang terang benderang.
 Tempat tidur pun terbuat dari bahan yang empuk bersih dan enak untuk tempat beristirahat bila malam telah tiba.
 Sampai–sampai berjalan di dalam rumah pun tersesat, karena begitu besar dan luasnya bangunan tersebut. Suasana bertambah ramai, hiruk pikuk manusia yang memecahkan suasana yang biasanya hening sunyi dan sepi.
Pada pagi hari itu, rakyat banyak berkumpul di Istana untuk menyaksikan penobatan si Kumang sebagai Raja baru, sedangkan Puteri Serangga Inai adalah Permaisurinya.
Di bawah kepemimpinan raja baru dan pertama itu (Kumang), maka segala kebutuhan rakyatnya dapat terpenuhi, sehingga kehidupan rakyatnya aman, makmur dan sejahtera.

UDEEK SANG LUTUNG SAHABAT MANUSIA

UDEEK SANG LUTUNG SAHABAT MANUSIA
          Alkisah pada jaman dahulu hidup seorang yang bernama Kilip. Ia adalah seorang pemburu binatang buruan di hutan yang tiada duanya. Ia memiliki seekor anjing buruan. Nama anjingnya itu adalah Biakng. Kilip memberi nama anjing itu Biakng, karena bulu-bulunya sangat hitam. Ke mana saja Kilip pergi, maka anjingnya itu selalu mengikutinya. Anjing tersebut tidak hanya pemberani dan galak, melainkan juga sangat setia menemani tuannya ke manapun ia pergi.
          Manakala Kilip dan si Biakng berburu ke dalam hutan, maka setiap binatang yang terlihat dan disalaki oleh Biakng,  selalu disumpit oleh Kilip dengan anak sumpit beracun yang sangat mematikan.
Pada suatu hari ada sekawanan Lutung, anehnya kawanan Lutung itu tidak mau pergi ke dalam hutan yang jauh, sebab di tempat para lutung itu sekarang sangat banyak makanan yang mudah didapatinya, terutama sangat dekat dengan ladang. Dan di ladang itulah Kilip dan si Biakng tinggal atau bertempat tinggal.
          Walaupun kawanan lutung tersebut sesungguhnya hidup di dalam kecemasan, namun mereka tetap bertahan menghadapi ancaman maut dari Kilip dan anjingnya yang setiap saat bisa mengancam kawanan lutung tersebut.
          Telah lama keadaan itu berlangsung, namun tidak seekorpun diantara kawanan Lutung itu yang sanggup mengatasi kekejaman Kilip dan si Biangnya.
          Dalam keadaan cemas dan takut itu, tiba-tiba datanglah seekor lutung tua yang hidupnya selalu dalam pengembaraan, dan membela para lutung yang benasib buruk di tempat tersebut. Lutung tua itu merasa ikut bertanggung jawab untuk menyelamatkan anak cucunya dari ancaman Kilip dan si Biakng, sehingga mereka dapat menikmati kehidupan yang bebas, aman dan bahagia.
          Lutung tua tersebut mengundang anak cucunya dan bertanya, “Apakah kalian senang hidup dalam ketakutan, karena ancaman Kilip dan si Biakng anjing buasnya itu?”.
 Para anak cucu lutung serempak menjawab, “Tentu saja tidak kek, tapi apa yang harus kami perbuat ?”, sahut seekor lutung muda yang penuh dengan kebingungan.
Si lutung tua menjawab, “Kalau kalian takut, maka carilah akal, jangan hanya berdiam diri dan berpangku tangan saja”, kata lutung tua memberi semangat.
          Salah satu dari lutung muda itu menjawab, “Yang kami pikirkan Kek, keselamatan kami sendiri. Oleh karena itulah kami di siang hari selalu terpencar-terpencar satu kelompok dengan kelompok lainnya, guna mencari makanan dan kami dapat selamat”, sahut beberapa ekor lutung dengan angkuhnya.
Lutung tua dengan agak gusar menjawab, “Mencari makanan dan selamat sendiri. Ketahulah anak-cucuku, sadarlah kalian bahwa cara seperti itu tidak dibenarkan oleh adat-istiadat  dalam masyarakat kita kaum lutung ini”.
          Salah satu dari lutung muda-muda itu mengusulkan kepada si lutung tua, “Bagaimana kalau Anjing pemburu Kilip itu, kita amankan dulu Kek”. Si lutung muda itu memberikan alasan akan usulannya tadi, bahwa “anjing Kilip itu telah mengkhianati bangsanya sendiri. Itulah sebabnya Kilip selalu berhasil menyumpit dan membunuh kita”.
          Lutung tua berkata, “Janganlah kalian sesalkan perbuatan anjing Kilip itu. Memang demikianlah sifat bangsa binatang seperti kita ini, kalau sudah diberikan makanan sedikit saja, maka kita sudah lupa pada keturunan dan bangsa kita sendiri”, sahut Lutung tua itu sambil tersenyum.
          Para lutung muda itu serempak berkata, “Nah, sekarang lantas apa yang mesti kita lakukan, kek ?”, sela seekor lutung muda dengan geramnya, seperti tak sabar lagi untuk bertindak.
Namun sebelum lutung tua itu menjawab, salah satu lutung berteriak, “Saya usulkan…Kita tangkap saja ramai-ramai anjing keparat milik Kilip itu sekarang!”
Si lutung tua mengingatkan, “Kalau anjing itu ditangkap dengan cara beramai-ramai, maka kalian akan celaka nantinya. Pasti kalian akan disergap secara beramai-ramai pula oleh semua orang kampung di situ”, ujar Lutung tua dengan meyakinkan.
Si lutung muda berkata, “Kalau satu lawan satu Kek, tak mungkin, buktinya lihat saja si Udek, ekornya sudah putus digigit oleh anjing pemburu Kilip itu”, jawab lutung muda yang lainnya.
          Si lutung tua kembali berargumen, “Apa sebabnya kalian tidak berani melawan anjing pemburu itu secara duel satu lawan satu. Perhatikan tubuh anjing itu hanya lebih besar sedikit saja dari badan kalian?. Cobalah pikirkan, betapa tololnya kalian, karena kalian tidak dapat berpikir dengan jernih dan bijaksana. Anjing itu pintar, karena ia dididik oleh majikannya. Apakah kalian mau menurut ajaran Kakek kalian ini, agar pintar seperti anjing itu juga?”
          “Anjing itulah yang melaporkan tempat persembunyian kami kepada Kilip”, kata lutung yang lainnya lagi. “Ya, kek pendapat kawan kami itu betul”. Karena itu,  kalau anjing itu, kami amankan, maka kami akan bebas dari rasa ketakutan”.
Kalau begitu, “Nah, sekarang, siapa di antara kalian yang berani mati. Angkat tangan, supaya Kakek tahu siapa dia?” Tetapi tak seekor pun rombingan lutung muda itu yang berani mengacungkan tangannya, semuanya diam dan takut mati.
          Sementara itu tiba-tiba si lutung tua teringat pada si Udeek. Lutung yang cacat ini pernah diajari olehnya sendiri bermain silat. Dan ia pun berpengalaman pernah bertarung dengan si Biakng, anjing pemburu itu, hingga ekornya putus digigit oleh anjing Kilip yang buas itu. Namun, syukurlah Udeek dapat menyelamatkan diri dari maut.
Si lutung tua bertanya, “mana si Udeek?”
Salah satu lutung menjawab, “Di sana kek …”.
          Si lutung tua itu berkata, “Panggil dia datang ke mari. Mungkin dia yang berani melawan si anjing  pemburu itu”.
          Tidak lama kemudian, datanglah si Udeek, seraya memberi hormat pada Lutung tua, dan ia duduk di antara para lutung muda  lainnya.
“Nah, sekarang si Udeek sudah ada di sini”, kata si Lutung tua. Si lutung tua membuka pembicaraan, “Sebaiknya kita membuat kata sepakat, barang siapa yang dapat menangkap hidup atau mati anjing Kilip itu, maka dia akan diangkat jadi raja kita”. Tempat rapat itu yang tadinya lengang, sekarang mulai ramai dengan suara lantaran terjadi pembicaraan antar para lutung muda di situ satu sama lainnya.
Si lutung tua kembali bertanya, “Bagaimana kalian setuju?”.
Para lutung muda itu serempak menjawab, “Setuju Kek, … Kek … setuju …! Kami rela serahkan pada si Udeek, mahkota kerajaan Lutung. Dan kami pun rela membantunya!”
Setelah keadaan kembali diam, maka si Udeek berkata, “Kalau saya berhasil melenyapkan anjing pemburu itu Kek, maka saya merasa sangat senang, karena saya sendiri telah lama menaruh dendam kepada anjing jahat itu”.
Si lutung tua kembali minta kepastian, “Apakah kamu berani mati?”
“Berani Kek”, jawab si Udeek meyakinkan.
“Kamu tidak menyesal atas kematianmu?”, tanya si lutung tua.
Si Udeek menjawab dengan tegas dan berani, “Saya rela mati untuk membela bangsa kita. Namun, bantuan teman-teman sangat saya harapkan nanti”.
          “Anjing itu harus kamu lawan dengan hati-hati, bila tidak, maka kamu akan mati sia-sia, bukan mati karena diterkam oleh anjing itu sendiri, tapi oleh majikannya si Kilip”, ujar Lutung tua berpesan.
“Kek, sekarang berikanlah petunjuk kepadaku untuk melawan anjing itu”, ujar si Udeek.
Si lutung tua menjawab, “Nanti akan kuberitahukan, bila sudah saatnya tiba”. Kata-kata si lutung tua itu membuat wajah Udeek tampak puas.
          Mendengar perkataan si lutung tua itu, maka semangat kawanan lutung kembali berkobar-kobar. Rasa takut pun hilang, dan timbul rasa keberanian yang menyala-nyala guna menghabisi riwayat si anjing jahat itu.
          Setelah kawanan lutung itu bubar, maka tinggallah si Udeek bersama si lutung tua, yang mengajarinya cara-cara melakukan tipu muslihat guna mengalahkan si Biakng.
Menjelang malam, maka si Udeek dengan hati-hati merayap dari dalam semak belukar sambil berlindung di balik daun-daun.
          Akhirnya sampailah si Udeek di ujung atap rumah pemburu ulung yang bernama Kilip itu. Dari celah-celah atap ia mengintai ke dalam pondok. Dilihatnya bahwa si pemburu itu sedang menghadapi hidangan makan malamnya.
          Karena asyiknya menikmati makan malam itu, maka si pemburu pendekar itu tidak menyadari bahwa di atas kepalanya bergantung seekor lutung. Pemburu itu tidak menduga samasekali akan terjadi sesuatu.
Ketika itu, si Biakng sedang menemani tuannya makan. Anjing itu duduk di lantai, dan anjing itu merasa gelisah, karena tercium bau Lutung. Anjing itu melihat ke atas. Astaga …! Si Udeek sedang bergantung dalam rumah itu sambil menantangnya.
          Anjing itu sangat marah. Seketika itu juga ia melompati makanan tuannya guna menerkam si Udeek. Semua makanan yang berada di situ tumpah berserakan, dan tak luput pula badan dan wajah Kilip kotor seketika kepercik makanan yang tumpah dan berserakan tidak keruan ke mana-mana.
          Kilip menjadi sangat marah, karena Ia menyangka bahwa si Biakng sudah menjadi anjing yang gila (rabies). Kepala anjing itu dipukulnya dengan kayu api. Sekali pukul saja, maka tumbanglah si Biakng di tempat itu juga. Si Udeek dengan cepat-cepat lari menyelinap di balik semak belukar dan masuk ke hutan, yang disambut dengan gembira oleh teman-temannya, setelah mereka mengetahui kalau si Biakng sudah mati di tangan tuannya sendiri.
          Keesokan harinya kawanan lutung itu berkumpul lagi. Lutung tua itu melantik si Udeek untuk menjadi raja mereka. Sejak itu lah si Udeek menjadi raja kawanan lutung.
Bila ada pemburu datang, maka si Udeek menjerit dari tempat pengintaiannya. Hal ini sangat membuat bingung si pemburu yang ingin menangkap mereka, dengan demikian semua kawanan Lutung dapat menyelamatkan diri.
          Si Udeek benar-benar menjadi raja yang berani dan bertanggung jawab terhadap bangsanya dalam hutan itu.
          Pada suatu hari, ia mohon diri untuk pergi mengembara lagi. Keberanian, kecerdasan dan ketangkasan si Udeek menjadikan dirinya sebagai bahan omongan kaumnya di mana-mana di segala penjuru hutan belantara. Terutama di kalangan pemburu, si Udeek merupakan topik cerita yang sangat menarik. Akhirnya, kisah si Udeek ini pun didengar juga oleh Taman Kurikng.
          Pada suatu hari yang cerah, Taman Kurikng bersama dengan pengawalnya masuk ke dalam hutan tempat tinggal si Udeek dan teman-temannya. Rombongan Taman Kurikng yang sedang berburu itu bersorak-sorak.
          Mendengar suara riuh, maka cepat-cepat si Udeek menyuruh teman-temannya melarikan diri. Ia telah bertekad, bahwa ia rela mengorbankan jiwanya untuk keselamatan teman-temannya. Si Udeek sadar, maksudnya itu tidak akan berhasil tanpa pengorbanan. Karena itu, ia menjerit-jerit untuk menarik perhatian Taman Kurikng yang sedang berburu. Ia melompat ke sana ke mari untuk mempermainkan Taman Kurikng. Namun Taman Kurikng mengetahui dimana ia bersembunyi.
          Akhirnya, si Udeek merasa lelah dan bersembunyilah ia di puncak pohon yang sangat tinggi. Setiap serangan sumpitan yang ditujukan kepadanya selalu dapat dielakkannya. Dari tempat persembunyiannya itu, si Udeek melihat dengan jelas bahwa Taman Kurikng sedang membidikkan sumpitnya. Dengan sekejap saja, maka anak sumpit sudah menyentuh tangan si Udeek, dan seketika itu juga tubuh si Udeek menjadi lemas. Ia terkulai dan jatuh ke tanah.
          Taman Kurikng sangat senang. Ia berhasil menangkap si Udeek  yang sangat cerdik itu. Si Udeek di bawa ke rumahnya. Ia dimasukkan ke dalam kandang. Dalam kandang itu disediakan makanan dan minuman yang secukupnya. Hampir setiap hari rumah Taman Kurikng tidak pernah sepi dari kunjungan para tamu yang ingin melihat si Udeek yang cerdik itu. Bila disuruh menangis, ia menangis; bila disuruh tertawa, ia pun bisa tertawa.
          Sejak itu Taman Kurikng sering berdiri dekat si Udeek, sang lutung kesayangannya itu. Kini Si Udeek telah menjadi sahabat yang menyenangkan dan penghibur hati Taman Kurikng di kala duka menimpa jiwanya.
          Semenatara itu terkadang pula, si Udeek teringat di kala ia masih bebas dulu di hutan belantara. Ia bisa bersenda gurau dengan teman-temannya, tapi sekarang apa hendak dikata nasib malang yang telah menimpanya. Walaupun makanan dan minuman memang berlimpah ruah, namun hati si Udeek tidak pernah ceria dan bahagia, entah apa yang akan terjadi dengan teman-temanku sekarang di hutan belantara. Di dalam hatinya si Udeek berkata, “Mungkinkah aku akan hidup bebas kembali, ataukah sebaliknya aku harus mati di dalam kurungan ini?”.
Taman Kurikng mepunyai seorang anak laki-laki, dan anak itu pun sangat menyukai si Udeek. Si Udek selalu dimanjakan oleh anak itu seperti ayahnya juga.
          Melalui celah-celah jeruji kandang, anak Taman Kurikng membelai-belai si Udeek yang sedang duduk termenung di dalam kandangnya itu. 
Si anak itu bercerita, Aku tadi ditanyakan oleh guruku, “Binatang apa yang paling pintar?”
Jawabku, “Monyetlah yang paling pintar”.
 Tetapi guruku membantah jawaban ku itu, katanya, “Kancillah yang paling pintar, pemberani dan lucu! Besok sore, guruku itu akan datang ke mari. Ia akan melihat apakah kamu, Udeek, adalah memang monyet yang cerdik. Kamu akan diuji olehnya, maka berhati-hatilah menjawab semua pertanyaannya!”
          Si Udek dari dalam kandangnya mengangguk-angguk kepalanya, seolah-olah mengerti apa yang dikatakan oleh si anak dari Taman Kurikng tersebut.
          Setelah bercerita panjang lebar dengan si Udeek, maka anak Taman Kurikng itu pun kembali ke rumah, dan si Udek pun ditinggalkan sendirian di dalam kandangnya.
Pada malam itu, anak Taman Kurikng berbaring sendirian di tempat tidurnya. Ia gelisah sehingga hampir tak dapat memejamkan matanya, karena senantiasa terbayang si Udeek lutung kesayangannya yang selalu murung di sana.
          Tiba-tiba ia terkejut, entah dari mana datangnya, bahwa seekor lutung yang besar badannya telah berdiri di sebelah tempat tidurnya. Lutung besar itu bercakap-cakap seperti manusia biasa, katanya, “Tuanku. Lepaskanlah hamba dari kurunganku ini, supaya hamba kembali ke hutan dan berkumpul dengan teman-teman hamba di sana. Hutan itulah yang penuh dengan kebebasan dan kebahagiaan bagi hamba. Di sana hambamu ini bisa menghilangkan perasaan duka yang hamba rasakan selama ini. Tolonglah tuanku! Lepaskanlah hamba! Hamba tahu, bahwa tuanku ini sangat sayang kepada hamba, memberi hamba makanan dan minuman secukupnya. Tetapi itu semua tidak dapat menghapuskan rasa duka dalam diri hambamu ini. Bagaimana rasanya jikalau tuanku sendiri  yang terkurung seperti hamba. Tolonglah hamba tuanku”.
          Anak Taman Kurikng tersentak dari tidurnya. Sambil menggosok-gosok matanya, maka anak Taman Kurikng itu mondar-mandir ke sana ke mari di seputar tempat tidurnya. Dilihatnya pintu dan jendela masih terkunci. Tak ada yang rusak sedikitpun.
          “Oh, rupanya aku tadi sedang bermimpi. Tetapi mengapa si Udeek itu pandai berbicara seperti manusia. Mungkinkah si Udeek itu adalah seekor lutung yang sangat sakti. Atau malah rajanya dari para lutung?”
          Anak Taman Kurikng lantas duduk termenung dan bertanya dalam hati. “Apakah ia masih di kandang, atau telah melarikan diri ke dalam hutan ?”
Pagi-pagi anak Taman Kurikng sudah bangun. Ia berlari ke belakang rumah sambil membawa makanan dan minuman.
“Selamat pagi Udeek! Ku kira kamu sudah lepas dan lari ke hutan meninggalkan aku. Syukurlah kamu masih berada di sini, kalau kamu tidak ada, maka aku pasti dimarahi oleh ayahku.
Anak itu bertanya, “Mengapa kamu diam saja. Apakah kamu sedang sakit. Katakanlah padaku apa yang terjadi padamu?” Tentu saja  Si Udeek tak dapat berbicara seperti halnya anak Taman Kurikng, karena ia bukan manusia. Namun hanya matanya saja berkedip-kedip seakan mengatakan sesuatu kepada anak itu.

          “Bila kamu tidak mau menjawab pertanyaanku, sudahlah tak apa-apa. Nanti siang kita berjumpa lagi. Sekarang aku mau berburu dulu ya, kata anak Taman Kurikng sambil berlari meninggalkan si Udeek dalam kandangnya itu.
          Dengan wajah murung, maka si Udeek menggelengkan kepalanya. Sebenarnya ia tidak sakit. Akan tetapi di pelupuk matanya ada air matanya yang tergenang pertanda bahwa si Udeek terus menangis. Anak Taman Kurikng itu sendiri sudah mengerti apa yang diinginkan oleh si Lutung tua kesayangannya itu, dan juga keinginan ayahnya sendiri.
          Pada suatu hari anak Taman Kurikng pergi menjenguk si Udeek lagi dan mengantarkan makanan dan minuman. Dilihatnya si Udeek kembali temenung dan tidak mau berbicara seperti biasanya. Anak Taman Kurikng semakin iba dan kasihan. Pelan-pelan ia memutar kunci dan membuka pintu kandang si Udeek. “Nah, kamu boleh pergi sekarang dan menemui kembali teman-temamu, tetapi sebelum itu, kamu harus makan dan minum yang aku bawakan tadi!”. Si Udeek pun mengerti apa yang di suruh tuannya itu.
          Setelah itu, si Udeek melompat dari dalam kandang dengan girang dan dibawanya si Udek berjalan-jalan sambil memegang rantai yang terikat di pinggang si Udek. “Aku tahu apa yang kamu inginkan. Kamu ingin bebas kembali ke hutan. Bukankah demikian”, tanya anak Taman Kurikng penuh haru dan pengertian.
Ia teringat akan mimpinya malam ke marin, ketika kera itu minta dilepaskan. Sambil menghela napas, anak Taman Kurikng itu berkata lagi,  “Bukan aku tak mau melepaskan rantai pengikat di pingangmu ini. Asal saja kamu berjanji bahwa kamu tidak akan lari ke hutan, maka sekarngpun akan kulepaskan kamu”.
          Si Udeek pun bermain dengan sangat lincah dan gembira bersama anak Taman Kurikng. Bila sudah bosan bermain-main, maka si Udeek dikembalikannya ke dalam kandang dan rantai pengikat pinggangnya di pasang kembali.
          Pada suatu hari, ketika mereka sedang asyik bermain-main, maka tiba-tiba ibunya memanggilnya. Dengan tergesa-gesa anak itu meninggalkan si Udeek sendirian yang sudah terlepas, untuk pergi menemui panggilan ibunya.
Pada saat yang sama, ayahnya pun juga datang, dan menanyakan tentang si Udeek. Dengan terus terang, anak itu mengatakan kalau kera itu sudah dilepaskannya, karena merasa kasihan.
          Mendengar jawaban itu, maka Taman Kurikng marah dan menghardik anaknya itu, dan berkata,. “Lutung itu harus kau cari sampai dapat. Sebelum dapat, kamu tidak boleh pulang dan menginjak rumah ini lagi. Pergilah sekarang juga! Cari si Udeek itu sampai kamu dapat!”
          Dengan hati pilu dan sedih, maka anak itu pun pergi. Rumah, kampung dan orang tuanya sendiri terpaksa ditinggalkannya. Memang berat rasanya untuk pergi, karena meninggalkan ibunya  yang sangat disayanginya.
          Dalam perjalanannya itu, berbagai suka dan duka ia alami. Lapar dan dahaga tidak ia hiraukan lagi. Hati yang sedih, kini menjadi tabah menghadapi kesusahan hidup di tengah hutan belantara.
Akhirnya anak yang malang tersebut, sampailah juga ke sebuah istana yang megah dan indah. Tanpa ragu-ragu, ia masuk ke halaman istana. Di sana dilihatnya raja sedang bermain-main dengan anak perempuannya di taman bunga. Anak laki-laki itu memberi salam dan hormat kepada sang raja.
          Raja merasa terharu melihat anak laki-laki yang berdiri di dekatnya. Wajahnya pucat dan lesu. Sang raja itu berpikir, “Mungkin anak laki-laki ini adalah anugerah dari Tuhan. Sudah lama aku menginginkan anak laki-laki. Sekarang anak yang diharapkannya itu telah hadir di depanku sendiri”.
          Sang raja itu berpikir lagi, “Kalau anak ini adalah anak orang biasa, maka mana mungkin ia berani menghadapku. Jangankan menghadap seorang raja, menghadap seorang penghulu saja ia takkan berani”. Maka dengan senang hati, sang raja berkeinginan serius untuk memelihara anak laki-laki tersebut. Tetapi akan dicobanya terlebih dahulu, apakah anak tersebut itu memang baik budi pekertinya.
Beberapa hari kemudian, anak Taman Kurikng itu kelihatan sedang menggembalakan beberapa ekor kambing di tengah padang rumput yang terbentang luas di sekeliling istana tersebut.
Meskipun ia hanya seorang penggembala kambing, namun anak Taman Kurikng tersebut sangat disayangi oleh sang raja, sehingga ia pun diangkat oleh raja sebagai anaknya sendiri, dan ia pun dipanggil sebagai anak raja.
Anak tersebut sangat senang hatinya. Ia tidak lagi merasa takut kelaparan. Akan tetapi hatinya sedih mengingat masa lalunya, apalagi karena ia telah meninggalkan ayah dan ibunya begitu lama.
          Pada suatu senja, sang raja mulai menguji anak tersebut. Tidak diperbolehkannya, anak tersebut tidur di dalam rumah, tetapi tidur di dekat kandang kambing. Tidurpun beralaskan daun rerumputan dan nyala api sebagai alat pemanas badan dan penghalau nyamuk pada malam itu. Demikianlah ujiannya pada setiap hari. Tugas itu tidaklah ringan baginya, tetapi ia sangat senang melakukannya.
Anak itu pun berpikir, “Bagaimana caranya agar kambing-kambing tadi kumpul kembali?” Ia merasa gelisah dan takut. Bila kambingnya hilang semua, maka ia akan dimarahi oleh raja atau di hukum yang seberat-beratnya. Karena sudah putus asa, maka ia pun menangis menyesali nasibnya.
          Tanpa ia sadari, ia mendengar sebuah suara bergema dari ujung dahan kayu yang sangat tinggi. “Mengapa engkau menangis kawan. Katakanlah padaku. Mungkin aku dapat membantu.”
          Dengan perasaan takut-takut, anak tersebut melihat ke atas, ke arah datangnya suara tersebut. Dilihatnya seekor lutung besar, yang sama besarnya dengan lutung ayahnya yang dulu ia lepaskan.  “Hai, apakah kamu adalah lutung yang kulepaskan dulu?”, tanya anak itu sambil mengusap-usap matanya. Ia ragu apakah ia sedang bermimpi. Dihampirinya kera itu. “Oh, tidak! Aku tidak mimpi!”, katanya lagi.
          “Ya, kamu tidak bermimpi. Memang, akulah  lutung yang sedang kamu cari itu!”
“Oh lutung, karena kamulah aku hidup penuh derita”, kata anak itu. Dengan sedih ia menceritakan semua apa yang telah menimpa dirinya. Dari mulai ia diusir oleh ayahnya sampai ia tiba di istana raja itu.
          “Sahabatku!” sahut lutung tesebut, yang tidak lain adalah si Udeek. “Engkau tidak perlu takut dihukum raja”. Setelah itu si Udeek memanggil teman-temannya untuk mencari dan mengumpulkan kembali kambing yang lari tercerai berai. Sebentar saja, maka kawanan kambing tadi sudah dapat terkumpul kembali. Alangkah senangnya hati anak raja itu. Ia bersyukur kepada sang pencipta, dalam keadaan susah ia telah diberikan pertolongan yang tidak diduga-duga olehnya.
          “Nah, pulanglah segera sebelum engkau kemalaman di jalan. Bila kamu membutuhkan pertolongan, maka aku akan datang kemari! Aku akan segera menolongmu, asal saja tidak kau ceritakan kepada seorangpun tentang pertemuan kita”, ujar si Udeek mengingatkan si anak itu.
          Anak raja berjanji akan merahasiakan pertemuan itu. Sebab ia sadar, bila bukan lutung itu ( si Udek ) yang menolongnya, niscaya raja akan menghukumnya. Ia pun segera pulang bersama kambing gembalaannya.
          Hari berganti bulan, bulan berganti tahun, anak gembala kecil itu telah menjadi seorang pemuda yang gagah dan pemberani. Bila sehari saja tidak bertemu muka dengannya, maka raja merasa gelisah.
Raja sudah menganggap anak itu seperti anaknya sendiri. Sebab dari kecil, anak pungutnya itu tidak pernah menyusahkannya. Tak seorangpun ada yang mengadu kepada raja, bahwa anak tersebut berbuat kesalahan apa pun juga. Raja terus mendidik berbagai ilmu, terutama tentang pemerintahan kepada anak kesayangannya itu. Raja itu berharap kelak anak itu dapat menjabat suatu jabatan penting dalam pemerintahan kerajaannya itu.
          Sejak itulah ujian moral anak itu telah selesai. Ia tidak lagi tidur dekat kandang kambing lagi.
Demikian juga anak muda itu, Ia menganggap raja sudah seperti ayah kandungnya sendiri. Dalam hati kecilnya, kelak ia akan membalas budi baik sang raja tersebut.
Pada suatu hari, datanglah utusan dari suatu negeri yang sangat besar kekuasaannya. Maksud kedatangan utusan itu adalah hendak meminang putri raja. Raja tidak berani menolaknya dengan terus terang. Dengan berbagai alasan dan tipu muslihat, baginda mengatakan bahwa ia telah mengumumkan kepada rakyatnya akan mengadakan sayembara menyumpit. Yang harus disumpit adalah sebuah jeruk manis, yang diletakkan di atas kepala seorang anak kecil.
          Siapa yang berhasil menyumpitnya, maka ia boleh memperistrikan sang putri kerajaan kami. Tetapi sebaliknya, bila panah sumpitnya mengenai tubuh anak kecil itu, maka si penyumpit akan dihukum dengan dipenggal kepalanya di hadapan penonton yang hadir.
          Utusan itu kembali ke negerinya dengan tangan hampa. Namun,  mereka berjanji akan mengirimkan utusannya lagi yang lebih hebat lagi untuk merebut kemenangan sayembara itu, dan akan mempersembahkan sang putri kepada rajanya sendiri.
          Setelah utusan itu pergi, berkatalah sang putri raja kepada anak muda itu, “Beberapa hari lagi di lapangan istana akan dilangsungkan sayembara menyumpit. Barangsiapa yang berhasil menjadi juara, dialah yang berhak menjadi jodohku. Pesanku, kamu tidak usah pergi ke mana-mana. Tinggallah di istana bersama ayah dan ibuku. Anggaplah mereka sebagai orang tuamu sendiri!”.
          Anak tersebut lalu pergi dari hadapan sang putri, sambil berpikir ia berjalan kian ke mari, ia bertekad dalam hatinya “Aku harus mengikuti sayembara tersebut dan memenangkannya. Bila ia menang, maka sang puteri raja akan tetap tinggal di istana bersama ayah dan ibunya. Sedangkan ia sendiri akan pulang ke kampung halamannya, untuk meminta maaf kepada ayah dan ibunya atas semua kesalahan yang telah diperbuatnya selama ini”.
          Lantas ia pergi menjauhi istana itu. Ia pergi ke tepi hutan untuk menemui si Udeek, lutung sahabatnya. Dipanggilnya si Udeek dan seketika itu juga si Udeek datang menemuinya.
“Apakah yang kamu perlukan sobatku?” tanya si Udeek. Ia ingin segera mengetahui maksud dan tujuan anak tersebut.
          “Aku ini sedang menghadapi persoalan. Aku sangat memerlukan bantuanmu. Pekerjaan ini sangat berbahaya. Bila sahabat tidak menolongku, maka aku pun tidak akan berkecil hati. Mungkin sudah takdir dari Tuhan, bahwa aku ini selalu menghadapi ujian yang berat dalam hidup ini”, kata anak muda itu dengan sedihnya.
          “Anak laki pantang ragu-ragu menghadapi tantangan hidup. Hadapilah dengan berani dan tabah. Sahabatku, katakanlah terus terang! Pertolongan apa yang sobat harapkan dari aku?” tanya kera itu ingin tahu.
          Dengan tidak sabar lagi anak muda itu menceritakan semua apa yang akan terjadi beberapa hari lagi di lapangan istana
 “Oh, itukah sobatku. Itu soal kecil kawanku. Untuk itu mulai hari ini kamu harus belajar menyumpit”.
          Anak muda itu pun mulai giat belajar menyumpit. Setiap hari ia berusaha mencari kesempatan untuk belajar menyumpit.
Dalam beberapa minggu saja, ia sudah menguasai dan pandai menyumpit. Keahliannya hampir menyamai si Udeek sang pelatihnya. Tempat berlatih itu pun sangat dirahasiakan, tak seorang pun yang mengetahui tempat rahasia tersebut.
Menjelang hari sayembara, perlengkapan sumpit dan anak panahnya sudah disiapkan oleh anak muda tadi. Dengan pakaian yang rapi, dan tak seorang pun yang tampil seperti anak muda tersebut. Tidaklah mengherankan, ketika anak muda yang tampan  itu memasuki arena sayembara itu, Ia disambut dengan sorak sorai dan tepuk tangan. Rasa kagum bercampur heran meliputi semua peserta sayembara. Dan tak seorang pun yang mengenalinya termasuk sang putri dan raja.
          Setelah gong mulai dipalukan oleh salah satu punggawa kerajaan, maka semua bersiap-siap maju ke depan. Masing-masing berdiri di tempat yang telah ditentukan, dan telah siap dengan anak sumpit dengan sumpitnya. Seorang demi seorang menunjukkan keahlian dan gayanya masing-masing.
          Pekikan penonton, ketika anak sumpit dilepaskan. Mereka takut anak sumpit itu tidak mengenai buah jeruk, tetapi mengenai tubuh dan kepala anak kecil itu. Peserta sayembara sudah hampir habis melepaskan anak sumpitnya, tetapi tak satu pun yang berhasil menyumpit buah jeruk di atas kepala anak kecil itu.
          Akhirnya, tibalah giliran si pemuda yang telah sejak tadi menjadi perhatian banyak orang. Ketika nama samarannya dipanggil, maka dengan sigap ia tampil ke depan. Dengan hati berdebar, dibentangkannya sumpit dan dibidikkannya ke arah buah jeruk di atas kepala anak kecil tersebut.
          Baru saja ia sedang membidik, pemuda itu terkejut dan heran. Karena yang dilihatnya bukannya buah jeruk yang di atas kepala anak kecil itu, tetapi justru buah jeruk itu dipegang oleh si Udeek pada tangan kirinya. Tangan kanannya memberi isyarat, agar anak muda itu melepaskan anak sumpitnya. Tanpa buang waktu lagi, maka dilepaskannya anak sumpit tersebut dan tepat mengenai sasaran. Jeruk terbelah menjadi dua. Ketika itu sorak sorai, tepuk tangan dari hadirin yang ikut menyaksikan sayembara yang mendebarkan jantung semua hadirin.   
          Istana riuh. Raja dan permaisuri gugup. Sang putri pun ikut gelisah. Ketiganya belum merasa puas sebelum mengetahui asal usul siapakah pemuda yang tampan itu.
          Sang pemenang itu dibawa orang masuk ke dalam istana. Wajah-wajah sang raja, permaisuri dan sang putri tampak pucat dan ketakutan. Namun tiba-tiba wajah-wajah mereka berubah berseri-seri, setelah  mereka tahu dengan pasti bahwa pemenang sayembara itu ialah pemuda yang mereka asuh sejak kecil.
          Cita-cita Raja dan Permaisuri dikabulkan oleh Sang Pencipta, karena memang sudah lama mereka ingin menikahkan putri mereka dengan anak muda itu. Sang putri pun dinikahkan  dengan anak muda itu dan diangkat menjadi pangeran muda, namun ia tetap tidak dapat melupakan ayah dan ibunya. 
Ia sadar bahwa kebahagiaan dan kenikmatan hidupnya di istana itu, lantaran belas kasihan sang raja dan permaisuri, juga berkat pertolongan si Udeek yang dilepaskannya beberapa waktu yang lalu. Ia akan membalas budi jasa raja dan si Udeek dengan apa saja di sepanjang kehidupan di istana itu.
          Pada  hari–hari tertentu, pangeran muda selalu pergi menemui si Udeek di tepi hutan yang sangat dirahasiakan tersebut. Ia benar–benar tidak dapat melupakan jasa lutung itu. Dan telah berulang kali si Udeek diajaknya untuk tinggal di istana bersamanya, namun si Udeek selalu menolaknya. Ia merasa bahwa tinggal di hutan adalah tempat yang lebih cocok baginya. Di hutan Si Udeek bisa hidup bebas dan tentram berikut banyak temannya, walau ia sadar bahwa tinggal di hutan itu juga tidak luput dari ancaman, yang selalu ada dan terkadang tidak dapat dielakkan, termasuk juga tinggal di istana raja seperti pemuda itu sendiri.
          Setelah itu mereka pun berpisah kembali, masing–masing kembali ke tempat tinggalnya. Si Udeek melambaikan tangan, dan ia memanjat pohon yang lebih tinggi, dan dari sana ia melihat pangeran muda sudah jauh meninggalkan hutan tersebut.
          Pangeran muda selalu merahasiakan dirinya dari keluarga kerajaan termasuk istrinya sendiri. Kini ia ingin sekali bertemu dengan ayah dan ibunya dan mengajak tinggal bersamanya di istana tersebut, tetapi tidak ada satupun kabar berita tentang keluarganya, apakah masih hidup atau mati.
          Kini si pemuda itu sudah menjadi kerabat istana, dan kelak diharapkan akan menjadi raja yang sangat bijaksana dan berwibawa yang akan membawa rakyatnya hidup dalam kedamaian, keadilan dan kesejahteraan di seluruh kerajaan yang sangat besar itu.