Minggu, 07 Maret 2010

Kisah Cinta Nalukng Lipant dan Putiq

ALKISAH pada zaman dahulu hiduplah sepasang suami isteri di suatu kampung. Sang suami bernama Tungar, sedangkan isterinya bernama Putiq.
Pada awalnya pasangan suami istri ini hidup rukun dan bahagia, walau mereka belum dikaruniai anak.  
Bertahun-tahun sudah suami isteri ini berladang dan berkebun selazim keluarga-keluarga lain di kampung mereka. Hasil ladang dan kebun boleh dibilang berkelimpahan. Begitupun dengan beternak. Suami isteri ini dengan tekun dan rajin memelihara  ayam, babi, kerbau dan sebagainya. Jumlah ternaknya pun sangat berlimpah untuk ukuran keluarga kecil seperti Tungar dan Putiq.
 Pada suatu ketika Tungar dan Putiq merencanakan untuk mencari kulit pohon kayu jenis tertentu di hutan belantara yang bisa dijadikan pakaiannya. Pakaian ini dinamakan barutn. Barutn adalah serat kulit kayu jenis tertentu yang diolah sedemikian rupa sehingga bisa menjadi semacam lembaran “kain” kasar yang dijahit tangan menjadi pakaian pria dan wanita.
Pada suatu hari pergilah Tungar dan Putiq ke dalam hutan guna mencari jenis kayu yang bisa diolah seratnya menjadi pakaian mereka. Ketika mereka menemukan jenis pohon kayu yang dicari, maka Tungar segera menebang pohon itu.
Setelah pohon tersebut tumbang, lantas keduanya mulai bersama-sama memukul kulit pohon (ngentookng) hingga dalam proses selanjutnya nanti serat kulit pohon kayu itu dapat menjadi bahan pakaian, berikut dijahit tangan menjadi pakaian pria dan wanita yang cukup estetik.
Pada saat kegiatan suami isteri ini berlangsung, justeru timbul masalah antara suami isteri tersebut. Permasalahannya berawal dari suatu kelatahan Putiq yang selalu berucap tak sadar, “Nalukng lipaatn jatuun asaakng”, manakala setiap kali ia terpeleset atau kaget atau berbuat kesalahan dalam pekerjaan bersma suaminya itu.
Ungkapan latah, “nalukng lipaatn jatuun asaakng”, artinya “Nalukng Lipaatn Sang kekasihku”. Ungkapan latah ini selalu terucapkan oleh Putiq, ketika ia terpeleset, terhantuk, terkejut  atau kesalahan dalam memukul kulit kulit kayu yang sedang diolah bersama suaminya tersebut.
Lama kelamaan ucapan latah sang isteri ini menimbulkan kecurigaan dan kecemburuan di hati Tungar sang suaminya.
 Emosi kecemburuan bercampur amarah Tungar terhadap isterinya terus berlanjut dan kian memuncak di tengah-tengah hutan belantara yang nun jauh dari kampung itu.
Akhirnya, karena setiap kali sang istri selalu mengucapkan ungkapan yang sama tersebut, lalu Tungar mengusir Putiq isterinya.  Tungar berkata, “Kalau kamu sudah terlanjur jatuh hati pada Nalukng Lipatn yang kamu sebut-sebutkan itu, maka silahkan saja kamu segera pergi sekarang juga untuk mencari dia. Tinggallah bersama dengannya.”
Setelah berkata begitu, Tungar tampak semakin berang dan marah terhadap isterinya. Putiq termangu dan galau menatap batang pohon “barutn” yang pekerjaannya memang belum selesai itu. 
Putiq kemudian mencoba meminta maaf kepada suaminya dengan berkata, “Saya tidak tahu mengapa saya selalu latah mengucapkan ungkapan dan nama tersebut, mohon maafkan saya”, kata Putiq dalam nada membela dirinya.
Namun, sang suami tetap saja mengusir isterinya. Karenanya, sekali lagi Putiq berkata kepada suaminya, “Tungar, maafkanlah saya! Saya tidak sengaja terucapkan nama itu. Sungguh saya tidak sengaja …!” Bela Putiq lagi.
Lantas mereka berdua pulang dari dalam hutan itu ke rumahnya. Di perjalanan pulang ini keduanya saling membisu satu sama lainnya.
Setibanya di rumah, Tungar tetap dengan pendiriannya. Tungar berkata kepada isterinya, “Apapun alasannya, saya tidak peduli! Kamu lebih baik pergi saja.  Saya ini suamimu yang tidak punya apa-apa. Saya ini tidak tampan. Barangkali Nalukng Lipatn pria lain pujaanmu itulah yang punya segala-galanya”. Tungar terbata-bata mengucapkan kata-katanya itu, karena masih penuh dengan emosi kecemburuan dan kemarahan terhadap isterinya.
Karena tidak tahan lagi, yang terus dicecar untuk pergi dan lagi pula takut kalau-kalau nanti dipukuli Tungar, maka Putiq pun mengemasi barang-barangnya, untuk pergi entah ke mana?
 Setelah berkemas diri sekadarya, maka Putiq pun siap berangkat untuk pergi selama-lamanya. Sebelum berangkat, maka pertama-tama ia meninggalkan bayang-bayangnya di dapur, kemudian di tempat air, di dapur, di tangga, di tempat jemuran pakaian,  di kandang babi, di jalan dan di tempat-tempat lain yang biasanya dilewati oleh Tungar dan dirinya sendiri. Kini yang tertinggal hanyalah bayang-bayang Putiq di rumah sang suaminya itu.
Akhirnya, Putiq berangkat tanpa arah dan tujuan yang pasti, karena sesungguhnya ia sendiri memang tidak tahu apa atau siapakah makhluk “Nalukng Lipatn” yang selalu terucapkannya itu. Sebelumnya ia sendiri tidak pernah bermimpi apalagi bertemu dengan Nalukng Lipatn itu. Ia pun heran dan tidak habis pikir mengapa dirinya selalu latah menyebutkan nama itu.
Dalam perjalanannya di hutan belantara, Putiq beruntung bisa menemukan segala jenis binatang hutan sebagai teman seperjalanannya. Salah satu binatang hutan yang paling baik adalah rusa. Rusalah yang selalu bermurah hati kepadanya yang selalu menunjukkan arah jalan bagi Putiq, sehingga tidak tersesat.
Rusa berpesan kepada Putiq,  “kamu janganlah percaya dengan binatang-binatang lain. Untuk itu, dari sini kamu harus menyeberang sungai itu, dan dari tepian di seberang itu nanti, kamu lantas naik ke darat dan menemukan sebuah rumah. Apabila di rumah itu ada suara yang mempersilahkan kamu naik walau tidak kelihatan orangnya, maka itulah rumah Nalukng Lipatn …”. Sang rusa dengan tulus memberikan petunjuk kepada Putiq, sang isteri yang sedang berduka, karena diusir oleh suami tercintanya, Tungar.
Setelah mengucapkan terima kasih tulus kepada sang rusa yang baik hati itu, lalu Putiq menyeberang sungai tersebut hingga di tepian sana, lantas naik tanjakan menelusuri jalan setapak menuju rumah Nalukng Lipatn di darat, yang memang tidak jauh dari tepian sungai tadi.
Sesampainya Putiq di rumah yang dimaksudkan, maka ia mengamati kalau-kalau ada tanda larangan bertamu di rumah itu. Ternyata tidak ada! Maka ia menaiki tangga dan memberi salam permisi di depan pintu masuk, yang memang telah terbuka pertanda memang ada penghuninya.
Memang benar! Ada suara orang yang menjawab salamnya itu dari dalam rumah yang gelap dan Putiq dipersilahkan masuk. Namun, setelah Putiq masuk dalam rumah dan hendak bertemu langsung dengan si tuan rumah itu, ternyata tidak ada seorang pun di dalam rumah tersebut.
Putiq terus mencari asal suara yang mempersilahkannya masuk barusan ini. Setelah beberapa lama kemudian, barulah Putiq mengetahui bahwa suara itu berasal dari bumbungan atap rumah tersebut.
Ternyata di bumbungan atap rumah tersebut, kelihatan seekor lipan besar yang lengket pada batang kayu bumbungan. Dari situlah asal suara yang mempersilahkan Putiq naik dan masuk ke dalam rumah itu. Putiq menjadi tertegun dan terheran-heran melihat lipan raksasa itu.
Putiq bertanya dalam hatinya, “mungkinkah makhluk ini yang bernama Nalukng Lipatn, yang selalu terucapkan oleh mulutku  hingga saya sampai-sampai diusir suamiku”.
Belum lagi selesai Putiq menebak-menebak jawaban dalam hatinya, maka kembali terdengar suara dari lipan raksasa itu. Nada suaranya sangat mirip dengan suara seorang laki-laki yang gagah dan perkasa. Berkatalah dari atas bumbungan, “Sekarang sudah hampir malam, maka kamu tidak usah meneruskan perjalananmu. Kamu menginap saja di rumah ini. Kalau kamu lapar, silahkan kamu masak apa saja  yang ada di dapur itu.  Kalau saatnya kamu mengantuk, maka tidur saja dan pakailah tikar adik saya yang ada di  bawah itu.”
 Putiq menjawab suara itu, “Ya, baiklah!”. Pertanda setuju saja atas anjuran mahluk aneh tersebut. Lantas Putiq dengan sigap memasak di dapur. Setelah masakannya selesai, maka ia makan sendirian, lantaran memang sudah sangat lapar setelah menempuh perjalanan  jauh sehari tempuh di tengah hutan belantara.
Apa dan siapa gerangan makhluk Nalukng Lipatn itu? Nalukng Lipatn sebenarnya adalah makhluk manusia biasa, namun ia mempunyai kelebihan istimewa, yakni bisa masuk dalam tubuh lipan raksasa sebagai rumah huniannya sehari-hari. Di malam hari ia bisa keluar dan beraktivitas layaknya manusia biasa, seperti memasak, membuat pakan babi, mencuci piring dan lain-lain.
 Malam telah kian larut. Karena betapa lelah dan capainya, maka Putiq tertidur pulas, sehingga ia tidak ingat apa-apa lagi.  Pada saat Putiq tidur dengan lelapnya, maka Nalukng Lipatn keluar dari badan lipan dan turun sebagai manusia biasa dan tidur dengan Putiq layaknya sebagai suami dan isteri.
Pada esok harinya, ketika Putiq bangun dari tidurnya, ia tercium bau wewangian sangat harum tersisa di sekujur tubuhnya yang memang sangat sintal, mulus dan putih. Padahal sebelum tidur tadi malam, ia tidak memakai wewangian apapun, karena memang tidak memiliknya. Putiq sangat heran! Hal itu, konon terjadi tiga malam berturut-turut di rumah tersebut.
Keheranan Putiq ini akhirnya terjawab juga. Pada suatu hari ketika Putiq sedang memasak, maka di pinggir dapur muncullah hewan yang disebut Lasaq, yaitu hewan sejenis serangga atau lipas yang biasanya tinggal di dapur, yang  mengatakan sesuatu pada Putiq perihal siapakah Nalukng Lipatn itu?
Lasaq berkata, “Putiq …, ketahuilah bahwa Nalukng Lipatn itu adalah seorang laki-laki yang sangat tampan. Di kala malam hari ia keluar sebagai manusia biasa. Tapi di kala siang hari, ia kembali masuk ke dalam tubuh lipan raksasa itu.” Demikian Si Lasaq  memberitahukan kepada Putiq.
Pada malam entah yang entah kesekiannya, sebelum tidur Nalukng Lipatn berkata kepada Putiq, “Besok pagi kamu harus pergi ke kampung adik saya, dan ia akan membawa kamu mencari ikan di sungai, dan kamu harus berangkat sendirian dari rumah ini ke sana”.
“Ya baiklah!” Jawab Putiq dengan singkat.
Besok paginya Putiq berangkat ke suatu kampung tujuan, yang sesuai dengan perintah Nalukng Lipatn.
Sepeninggalnya Putiq dari rumah di pagi itu, maka Nalukng Lipatn keluar dari tempatnya dan berangkat pula melalui jalan lain yang lebih pintas, sehingga ia lebih dulu tiba di rumah yang dimaksudkan sebelum Putiq tiba di sana.
Sesampainya Putiq di kampung itu, maka Nalukng Lipatn sendiri yang memperkenalkan dirinya selaku adik kandung Nalukng Lipatn, lantas mereka berangkat bersama-sama mencari ikan di suatu sungai yang airnya sudah hampir kering, karena kemarau panjang.
Setelah merasa bahwa ikan yang diperoleh cukup banyak, maka Putiq segera berkemas pulang ke rumah Nalukng Lipatn seraya membawa ikan hasil tangkapannya tadi.
Pada saat Putiq dalam perjalanan pulang, maka cepat-cepat Nalukng Lipatn pulang melalui jalan pintas dan kembali masuk ke dalam tubuh lipan raksasa di rumahnya seperti sediakala.
Setibanya Putiq di rumah, maka Nalukng Lipatn dengan pura-pura bertanya hasil perolehan ikannya. Putiq menceritakan  bahwa ikan yang diperolehnya itu cukup banyak.
Pada saat menjelang malam, maka Putiq memasak makanan yang istimewa, lengkap dengan lauk ikan yang diperolehnya siang tadi.
Sewaktu Putiq sedang memasak, maka muncul lagi Lasaq di dapur, dan mengusulkan kepada Putiq, “Cobalah kamu secara pura-pura luka terkena pisaumu sendiri, sehingga Nalukng Lipatn itu turun dari bumbungan dan kamu harus segera naik untuk membakar sarangnya yang berupa lipan itu”. Begitulah nasihat sang Lasaq, yang tulus dan baik hati itu kepada Putiq.
Keesokan harinya, maka Putiq mulai melaksanakan rencana yang sudah dirancangnya. Pagi-pagi sekali ia membuat pakan babi, dan memang cukup lama ia memotong ubi kayu. Lantas Putiq pura-pura tercincang jarinya sendiri dan mengaduh kesakitan dengan suara yang cukup nyaring. Mendengar suara kesakitan itu, maka dengan segera Nalukng Lipatn keluar dari sarangnya dan turun dari bumbungan ke bawah guna menolong Putiq yang terluka. Putiq pun berpura-pura kesakitan sambil memegang jarinya yang luka.
“Bagaimana lukakah?” Nalukng Lipatn bertanya kepada Putiq. Putiq diam saja!
Nalukng Lipatn berkata lagi, “Sini! Saya bersihkan dan balut luka di jarimu itu!” Namun, Putiq pun hanya diam dan tersenyum manis kepada Nalukng Lipatn. 
Dalam hatinya, Putiq berkata, “Nah, kenalah sudah jebakanku ini!” Walau Nalukng Lipatn minta mengobati jari Putiq yang terluka, namun Putiq tetap bersikeras tidak mau disentuh apalagi diobati oleh Nalukng Lipatn.
Walau beberapa saat telah terlewati, namun Putiq tetap saja tidak mau diobati, maka Nalukng Lipatn akhirnya memaksa untuk melihat luka di jari lentik Putiq. Karena Putiq tetap tidak mau memperlihatkan jari tangannya, maka keduanya saling dorong-mendorong dan tolak-menolak.
Namun Putiq kalah kuat, dan akhirnya tahulah Nalukng Lipatn bahwa jari tangan Putiq sebenarnya tidak terluka apa-apa. Namun, Putiq tidak kurang akal, maka ia cepat-cepat  naik ke atas bubungan rumah dang mengambil sarang Nalukng Lipatn,  lantas dibakarnya sarang lipan itu, agar Nalukng Lipatn tidak bisa kembali lagi ke dalam sarangnya itu.
Untuk kedua kalinya Nalukng Lipatn dan Putiq bergumul dan bergulat, karena Nalukng Lipatn berusaha mempertahankan sarangnya.  Namun, kali ini Nalukng Lipatn kalah cepat, sehingga sarangnya terbakar habis oleh api. Cukup lama keduanya bergumul, tetapi akhirnya berhenti kecapaian.
Nalukng Lipatn akhirnya sadar bahwa ia tidak bisa selamanya tinggal di dalam sarang seperti itu. Artinya ia membutuhkan seorang perempuan pendamping hidupnya. Untuk itu ia memang membutuhkan Putiq yang diam-diam sudah dicintainya selama ini. Maka akhirnya, ia pun menyatakan niatnya untuk menikahi Putiq dan niat itu disambut baik oleh Putiq sendiri.
Kira-kira seminggu setelah itu, maka diadakanlah upacara pernikahan adat yang sangat meriah untuk Nalukng Lipatn dan Putiq di kampung tempat tinggal dari Ayah dan Ibu Nalukng Lipatn. Dan tak lupa keduanya mengundang Tungar dalam acara perkawinan akbar itu.
Tungar yang selama ini berduka atas kepergian Putiq, kini sedikit merasa lega, karena ia tahu bahwa Putiq masih hidup meskipun telah mendapatkan suaminya yang baru.
Namun penyesalan dalam hati Tungar terus berkecamuk, karena kini ia merasa sangat bersalah dan menyesal karena telah mengusir istrinya yang sangat cantik itu lantaran hanya sebuah kelatahan dan kecemburuan belaka.
Setelah upacara adat perkawinan itu usai, maka Tungar pun pamit pulang ke rumahnya. Sebelum berangkat pulang, Tungar pamit dengan mantan isterinya dan suami isterinya yang baru, dengan tatapan galau dan tanpa kata-kata.
Kini Putiq menempuh kehidupan baru bersama suaminya yang baru, Nalukng Lipatn yang sangat tampan dan gagah. Sementara Tungar, walau sangat tampan, namun kini hanya bisa bercumbu dengan bayang-bayang isterinya untuk selama-lamanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.