Jumat, 25 Desember 2009

KILIP MENIPU MONYET

KILIP MENIPU MONYET

PADA suatu hari Kilip memancing di sungai yang cukup jauh jaraknya dari rumah. Setelah cukup lama Kilip mancing, ikan yang diperolehnya pun sudah cukup banyak. Karenanya ia putuskan untuk berhenti memancing dan pulang ke rumahnya. Dalam perjalanan pulang itu, Kilip bermaksud mampir dulu di pohon cempedak yang memang banyak buahnya dan masak-masak yang jatuh di tanah untuk diambil secukupnya serta dibawa pulang ke rumahnya.

Sesudah Kilip ambil buah cempedak itu dan dimasukkannya ke dalam anjatnya, namun belum sempat beranjak pergi dari bawah pohon cempedak itu, maka tiba-tiba terdengar oleh Kilip suara monyet, yang tampaknya menuju ke arah ia berada. Kilip menduga bahwa rombongan monyet itu juga mau memakan buah cempedak yang diambilnya ini. Kilip sendiri belum sempat beranjak dari bawah pohon cempedak itu.

Lantas, Kilip dengan berpura-pura baring seperti orang yang baru jatuh dari atas pohon cempedak tersebut. Kilip mengoleskan getah buah cempedak tersebut di sekujur tubuhnya sendiri, lalu berguling-guling di bawah pohon cempedak itu, sehingga dedaunan kering melekat di seluruh tubuhnya, di wajahnya, di mulutnya, di hidungnya, di matanya.

Tak lama setelah Kilip beraksi, maka rombongan monyet sampai di situ dan melihat bahwa, “kenapa kok, ada Kilip di sini?”

Rombongan monyet itu melihat dari dekat apa gerangan terjadi dengan Kilip yang tergeletak kaku di situ, “Ooo, … kasihan Kilip ini sudah mati, mungkin ia jatuh dari atas pohon cempedak ini, kata monyet satu dengan yang lainnya.

Monyet yang lainnya menambahkan, “Ooo, ya benar!”.

Sang kepala rombongan monyet itu mengajak kawanannya, “bagaimana kalau kita kita gendong bersama-sama mayat Kilip ini ke rumahnya, kasihan Kilip yang mati karena jatuh dari pohon seperti ini sendirian tidak diketahui oleh sanak keluarganya”. Monyet-monyet yang lainya setuju!

Lantas para monyet itu beramai-ramai menggendong mayat Kilip itu hingga sampai di dalam rumahnya sendiri yang tidak terlalu jauh dari tempat itu. Para monyet itu menggendong mayat Kilip menyeberang sebuah sungai.

Para monyet berkata satu sama lainnya, “kita pegang baik-baik dan hati-hati, jangan sampai mayat Kilip jatuh ke dalam sungai”.

Ketika menyeberang sungai itu, Kilip sempat kentut dua kali.

Tercium bau kentut itu, para monyet itu berkata satu sama lain, “nah mayat ini sudah berbau busuk, maka kita harus cepat-cepat membawa ke rumahnya, dan kita serahkan dengan ibunya di rumahnya di sana”.

Memang tidak lama, para monyet itu sampai ke rumah ibunya dan dari jauh para monyet itu panggil ibu Kilip, “Kilip ini mati terjatuh dari pohon cempedak di dalam hutan sana, dan kami terpaksa mengantarkan jenazahnya ke sini”.

Para monyet itu memanggil dari tanah di bawah sana, sedangkan ibu Kilip berada di atas dan dalam rumahnya.

Ibu Kilip menjawab dengan ramah, “ya, bawa saja naik dan masuk ke dalam rumah kami ini, walau pun ia sudah mati”.

Para monyet membawa mayat Kilip naik ke atas rumah dan masuk rumah, serta dibaringkannya di tengah-tengah rumah mereka. Kini semua anggota rombongan monyet itu berada di dalam rumah Kilip tersebut, seraya menunggu sekedar suguhan makanan dan minuman bagi para monyet tersebut sebagai ucapan terima kasih atas kebaikan mereka.

Sementara itu, ibu kilip menutup pintu dan segala lobang-lobang di rumahnya itu. Ibu Kilip berkata kepada para monyet itu, “saya tidak mau ada orang yang melihat kita di dalam rumah ini, karena kita kena musibah yang tidak biasanya terjadi seperti ini”.

Para monyet itu mengangguk setuju! Kilip masih terbaring kaku di situ.

Namun secara tiba-tiba, Kilip bangun dan bangkit, lantas memukul mati semua monyet yang ada di dalam rumahnya itu. Akhirnya Kilip dan ibunya, memperoleh daging monyet yang berlimpah-limpah. Dimakan dua tiga bulan, mungkin tidak habis juga.

Setelah menjelang pagi harinya, kejadian itu diketahui oleh Aji. Lantas Aji pergi berkunjung ke rumah Kilip dan Ibunya. Sesampainya di rumah Kilip itu, Aji bertanya, “bagaimana caranya Kilip bisa dapat monyet yang sangat banyak seperti ini, dan saya juga mau menangkap monyet sebanyak itu seperti Kilip?”

Kilip menjawab, “begini Aji, kamu pergi saja ke pohon cempedak di tengah hutan sana, dan kamu cari pohon cempedak yang banyak buahnya. Setelah kamu sampai di bawah pohon itu, maka kamu pura-pura mati terjatuh dari pohon itu. Lantas kamu oleskan getah buah cempedak itu di sekujur tubuhmu, kemudian berbaring bagaikan orang yang telah mati di bawah pohon cempedak itu. Dan nanti, kalau ada rombngan monyet datang, maka mereka pasti pikul kamu ke rumahmu, karena mereka kira kamu sudah mati, terjatuh dari atas pohon cempedak di situ. Tapi ada sayaratnya. Kamu jangan bergerak sedikitpun juga dan jangan ngomong sedikit pun juga. Kamu perlihatkan dirimu sebagai mayat orang mati yang terbaring kaku di bawah pohon itu. Para monyet itu nanti pasti pikul kamu ramai-ramai hingga sampai di rumahmu. Tante Delooi persilahkan para monyet itu masuk dalam rumah membawa mayatmu. Kamu berpesan dengan isterimu, ketika mayat kamu sudah dibawa masuk dalam rumah kalian, agar ia tutup pintu dan lobang-lobang, dan baru kamu bangun serta memukul habis monyet-monyet itu. Begitulah caranya saya memperoleh yang sangat banyak seperti kemarin itu”.

Aji menjawab, “ya, terima kasih Kilip atas anjuranmu itu. Besok pagi saya pergi ke hutan sana”.

Kilip menjawab, “ya, baiklah Aji, coba saja caraku itu. Siapa tahu kamu pun bisa beruntung!”. Selanjutnya, Aji pun permisi pulang seraya diberikan daging monyet yang cukup banyak oleh ibu Kilip yang memang baik hati itu.

Keesokan harinya, maka Aji pergi ke hutan guna melaksanakan aksi seperti yang diberitahukan oleh Kilip.

Setelah Aji sampai di tempat yang dia tuju, maka ia mulai beraksi seperti yang diberitahukan oleh Kilip tadi. Tidak berapa lama, maka rombongan monyet pun tiba di tempat itu. Lantas, mereka melihat Aji tergeletak kaku di bawah pohon cempedak di situ.

Maka segera pula para monyet itu melihat Aji, dan salah satu dari monyet-monyet itu berkata, “Ooo, manusia ini bernama Aji, dan ia sudah mati, mungkin ia terjatuh dari atas pohon cempedak ini. Kasihan sekali!”

Lantas Sang kepala rombongan monyet itu mengusulkan kepada angota rombongannya itu, “bagaimana kalau kita gotong mayat Aji ini dan mengantar ke rumahnya?”.

Para monyet lainya menjawab, ‘Ya kami setuju, ayo kita sekarang antarkan mayat Aji ini ke rumahnya, kasihan mayatnya ini sudah ada ulat-ulat di mata dan mulutnya”.

Para monyet pikul ramai-ramai mayat Aji. Mereka membawa mayat Aji menyeberang sungai. Ketika menyeberang sungai itu, Aji pun kentut. Para monyet berkata sesama mereka, ”nah, mayat ini sudah mulai busuk. Marilah kita cepat-cepat bawa mayat Aji ini baik-baik, siapa Aji ini nanti bisa mati 2 kali.”

Aji tidak sabar dengar guyonan canda sesama para monyet itu, lantas Aji menyahut, “ya kalian pikul saya baik-baik, karena saya juga takut jika saya ini mati 2 kali”.

Para monyet itu mendengar bahwa mayat Aji bisa ngomong tadi, maka para monyet itu memutuskan, “ayo, kita buang saja mayat Aji ini ke dalam air sungai yang dalam ini, biarlah dia mati lemas”.

Para monyet itu lalu buang mayat Aji ke dalam sungai itu, dan mereka lari ke dalam hutan, entah ke mana?

Apa yang terjadi? Aji di buang ke dalam air sungai itu dan hampir mati tenggelam. Dengan susah payah Aji berenang, akhirnya Aji bisa juga naik ke atas tanah. Dari situ Aji berjalan sempoyongan menuju ke rumahnya dan sesampainya di rumah, maka Deloi tanya dengan Aji, “kenapa kamu tidak digotong ramai-ramai oleh monyet-monyet dari hutan sana, seperti Kilip?”

Aji menjelaskan kepada isterinya, “saya sudah mempraktekkan semua apa yang disarankan Kilip. Semula para monyet itu memang menggotong saya, tetapi ketika saatnya menyeberang sungai di sana, saya tertawa mendengar percakapan para monyet itu, mendengar saya tertawa lalu saya dibuang oleh para monyet itu ke dalam sungai di sana dan monyet-monyet itu semuanya lari ke dalam hutan. Tinggallah saya yang setengah mati berenang di dalam air sungai yang dalam dan deras di sana. Jadi karena saya tidak bisa menahan rasa geli dan tertawa saya, makanya saya tidak berhasil seperti Kilip”.

Begitulah penjelasan Aji kepada isterinya tentang usahanya yang gagal, bahkan nyaris merenggut nyawanya sendiri. Isterinya terdiam! Dalam hatinya Deloi berkata, “nasib-nasib punya suami, yang bodohnya seperti ini”.

Namun, Deloi menghibur dirinya sendiri, “Aji suami ku ini sudah berusaha keras, namun nasib baik belum berpihak padanya”.

Senin, 21 Desember 2009

Asal Muasal Padi

PUTERI LIAKNG RELA MATI MENJADI PADI

PADA zaman dahulu kala ada sebuah kampung yang aman, tenteram dan alamnya yang subur. Hasil ladang dan ternak cukup berlimpah guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Tapi sayang, penduduk kampung tersebut kurang pandai mengelola hasil kebun dan ternak mereka. Hasil jerih payah yang mereka peroleh dipakai untuk berpoya-poya, karena dalam setahun saja, 2 hingga 3 kali mereka mengadakan pesta pora di kampung itu. Semua penduduk kampung berbaur dalam acara itu. Tentu tak ketinggalan permainan judi sabung ayam (saukng manuuk).

Pada suatu waktu, bencana kelaparan menimpa kampung itu. Kemarau panjang yang mengakibatkan tanah kering dan retak. Rumput mati kekeringan, sehingga ternak pun banyak yang mati kelaparan. Kemarau itu berlangsung beberapa tahun, sehingga tanaman padi, sayur-sayuran dan umbi-umbian tidak bisa tumbuh.

Penduduk kampung itu pun mulai kelaparan, dan malahan beberapa warga telah meninggal dunia, karena kurang makan dan gizi. Dengan kejadian itu, maka tersadarlah mereka akan kelakukan mereka sendiri yang selalu mengadakan pesta pora tanpa memikirkan keberlanjutan hidup di hari esok.

Di pinggiran kampung itu, tinggallah seorang janda dengan dua anaknya. Anak pertamanya adalah perempuan yang bernama Liakng, dan yang kedua laki–laki bernama Lasakng. Mereka pun tak luput dari bencana kelaparan tersebut. Bahkan sudah beberapa hari mereka tidak dapat makan, sehingga badan mereka menjadi kurus kering, kulit tinggal hanya pembungkus tulang.

Pada suatu malam dengan menahan rasa lapar, mereka ketiduran Dan di dalam tidurnya si janda itu bermimpi. Ia didatangi oleh kakek berkumis dan berjenggot putih.

Kakek itu berkata kepada si janda itu, “Hai, anakku, kalau kamu menginginkan kampung ini kembali makmur, maka hendaknya kamu korbankan kedua anakmu! Kedua anakmu itu harus kamu bunuh, lalu kamu kuburkan mereka secara terpisah.

Lantas kamu sirami kubur itu setiap hari hingga tumbuh tujuh batang pohon padi di atas kuburan si Liakng dan tumbuh tujuh pohon jagung di atas kuburan si Lasakng. Setelah sampai waktunya berbuah dan panen, maka kamu petik padi dan jagung itu, lalu kamu bagi-bagi benih padi dan jagung itu kepada semua penduduk kampung ini sebagai bibit.”

Setelah berkata demikian, maka kakek berjenggot putih itu lenyap dari hadapan si janda dan janda itu pun terjaga dari tidurnya.

Sejak bermimpi di malam itu, maka si janda itu makin banyak berdiam diri dan merenungkan makna mimpi itu serta berpikir dan berpikir, hingga pada akhirnya ia memutuskan untuk bertanya kepada tetua kampung mereka mengenai isi mimpi itu.

Setelah mendengar si janda tua itu, maka para tetua kampung berkata, “Kami tidak bisa memberi petuah kepadamu, karena anakmu itu cuma 2 orang, maka kami serahkan keputusannya kepadamu sendiri. Apakah kamu bersedia memberikan kedua anakmu sebagai korban demi keselamatan orang banyak di kampung kita ini?”

Setelah mendapat masukan dari para tetua kampung, maka pulanglah janda itu ke rumahnya, lalu memanggil kedua anaknya dan menceritakan perihal mimpinya itu dan masukan pendapat dari para tetua kampung kepada kedua anakannya itu.

Mendengar demikian, kedua anak itu berkata, “Ibu, walau kami tidak dibunuh, kami toh akan mati juga, karena kelaparan! Maka kami rasa lebih baiklah kami mati sesuai dengan anjuran si kakek dalam mimpi ibu itu!”

Si janda tua itu bertambah pilu hatinya, karena kedua anaknya itu merupakan tambatan hatinya di dunia ini. Bapak dari kedua anaknya itu telah lama meninggal dunia. Dan kini ditambah lagi dengan kedua anaknya sendiri yang siap mati demi keselamatan banyak orang di kampungnya.

Kepedihan hatinya itu terbawa ke dalam tidurnya pada malam itu. Ketika pagi ia terjaga, yang seolah-olah ada orang yang membangunkan mereka.

Lalu kedua anak itu berkata kepada ibunya, “Marilah kita segera lakukan perintah kakek tua itu, dan kami sudah siap! Tabahkanlah hati ibu dan lakukanlah apa yang diperintahkan dalam mimpi itu terhadap kami berdua ini dan di sini!”

Mendengar penuturan kedua anaknya itu, maka meneteslah air mata sang ibunda tercinta, karena merasa sedih akan kehilangan anaknya.

Lalu mereka pergi bersama-sama ke belakang rumah. Setelah tiba di belekang rumah, maka kedua anaknya langsung merebahkan diri di tanah.

Dengan linangan air mata, maka si janda tua itu memejamkan matanya sambil mengayunkan tangan yang telah terhunus mandaunya yang sangat tajam ke tubuh anaknya.

Setelah ia merasa bahwa mandaunya telah menghunus tubuh kedua anaknya itu, lalu pelan-pelan ia membuka matanya. Dan betapa terkejutnya si janda tua itu, karena jenazah kedua anaknya telah lenyap, entah ke mana?

Jenazah kedua anak itu tidak ada di tempat, di mana keduanya tadi berbaring dan terhujam mata mandau yang sangat tajam tersebut.

Hanya saja di tempat itu juga terdapat tujuh butir benih padi dan tujuh butir biji jagung.

Tapi tak jauh dari sekitar tempat itu, ternyata secara tiba-tiba saja ada dua makam baru yang adalah makam dari kedua anaknya.

Kemudian janda tua itu memungut 7 benih padi dan 7 benih jagung itu serta ditanamnya di atas kuburan kedua anaknya sesuai dengan petunjuk si kakek tua dalam mimpinya itu.

Setiap hari ia mendatangi dan menyirami benih padi dan jagung tersebut, sehingga dalam waktu seminggu saja kemudian tumbuhlah tujuh pohon padi dan tujuh pohon jagung dengan sangat subur.

Beberapa bulan berikutnya, padi dan jagung itu berbuah dengan lebatnya. Dan setelah sampai waktunya untuk dipanen, maka janda itu memetiknya. Panenannya itu diberikan kepada tetua kampung untuk dibagikan kepada semua penduduk di kampung sebagai bibit.

Dengan adanya bibit pembagian itu, maka penduduk mulai bergeliat seakan-akan hidup kembali untuk bertani dengan membuka lahan atau ladang untuk bercocok tanam.

Dan dengan adanya peristiwa itu, maka hujanpun turun sebagai tanda datangnya musim hujan yang sangat mereka tunggu. Semua penduduk kampung sangat berterima kasih kepada si janda itu, karena dengan rela ia mengorbankan kedua anaknya untuk kepentingan orang banyak di kampung itu.

Benarlah kata-kata terakhir dari kedua anak itu kepada ibunya, “Walaupun kami berdua mati, namun kami sesungguhnya tidak mati, melainkan tetap hidup!”.

Memang, karena jasa si janda tua dan kedua anaknya, maka ketiganya terus hidup dalam ingatan dan hati orang di kampung itu sejak itu hingga selama-lamanya.

Kamis, 17 Desember 2009

BURUNG PUNAI DAN JANDA TUA
ALKISAH pada zaman dahulu kala, ada seekor burung Punai besar yang sedang membuat sarangnya.
Setelah selesai sangkarnya itu, maka burung punai itu bertelur, dan kemudian mengeram hingga telurnya menetas.
Namun, tidak disangka- sangka, pada suatu hari datanglah seekor burung raksasa yang bernama tukuk solaai alur biduk, ekaap solaai dangau dungaap. Lantas burung raksasa itu hinggap di sarang burung punai tersebut.
Karena, burung itu terlalu besar, maka rusaklah sangkar burung punai yang tidak seberapa besar itu. Anak punai di dalam sangkarnya yang baru saja ditetas induk semaknya, lantas jatuh ke tanah dan mati. Burung raksasa itupun tidak mendapati anak burung punai yang sudah lebih dahulu terjatuh bersama sangkarnya ke tanah.
Induk semang burung punai tadi sangat bersedih dengan kejadian tersebut. Maka dengan rasa sedih ia membawa bangkai anaknya terbang mencari tempat yang baik dan aman untuk menguburkan bangkai anaknya itu.
Akhirnya, burung punai itu pergi ke rumah Ape, Rempiaaq, Noso dan Nonga untuk meminta sedikit tanah sebagai tempat mengubur anaknya itu.
Namun Noso, Nonga, Ape dan Rempiaaq tidak memberikan tanah yang diminta burung punai tersebut, karena mereka takut tanah milik mereka kotor oleh bangkai anak Punai tersebut. Karena tidak mendapatkan tanah untuk menguburkan anaknya itu, maka burung punai terbang lagi dan tanpa sengaja bertemu dengan perempuan tua yang sudah janda di sebuah rumah kecil yang sudah lapuk dan reot.
Lalu perempuan tua itu bertanya kepada burung punai, “Hai, burung punai. Mau apa kamu ke mari?”
Lantas burung punai itu menjawab, “Aku ke sini ingin meminta sepetak tanah yang kecil saja untuk menguburkan anakku ini.”
Kemudian dijawab perempuan tua itu, katanya, “Saya punya tanah di depan rumah di situ, maka silahkan kamu menguburkan anakmu di depan rumahku itu dan persis di dekat kuburan suami saya.”
Lalu burung punai itu menguburkan anaknya di samping makam suami perempuan janda tua itu.
Setelah penguburan anaknya selesai, maka burung punai yang malang berkata, “Tolong nenek tunggu kuburan anakku itu, nanti setelah 8 hari 8 malam, aku akan datang lagi ke sini.”
Memang benar, setelah 8 hari 8 malam, maka burung punai itu datang lagi untuk menengok kuburan anaknya. Kemudian terbang lagi dan genap 8 hari 8 malam yang kedua kalinya, maka ia datang lagi dan melihat bahwa kuburan anaknya itu bersih sekali, karena selalu dibersihkan oleh si janda tua.
Sebelum burung punai itu terbang lagi, maka ia berkata kepada nenek janda tua itu, “Aku akan datang untuk yang terakhir kalinya setelah 8 hari 8 malam.”
Sampai pada waktu yang dijanjikannya itu, maka datanglah burung punai itu untuk menengok kuburan anaknya, dan berkata kepada perempuan tua itu, katanya, “Segala yang terjadi dan yang ada pada kuburan anakku itu nanti, nenek ambil semuanya dan sekarang aku pergi untuk tidak kembali lagi.” Selesai berkata demikian, ia terbang meninggalkan perempuan tua di samping kuburan anaknya itu.
Pada malam harinya, maka hujan turun dengan derasnya secara terus menerus hingga menjelang dini hari.
Pada pagi harinya perempuan tua itu turun ke tanah, dan melihat kuburan anak punai. Sesampainya di kuburan anak punai itu, maka dilihatnya sesuatu yang sedang tumbuh, yaitu “teregaaq suliiq sie” dan “terogo tokooq walo,” yang makin hari bertambah besar dan tinggi pula pohon tumbuhan tersebut.
Setelah 8 hari 8 malam lamanya kemudian, maka daun pohon tumbuhan tersebut terbuka lebar sekali dan berwarna-warni dengan indahnya, kemudian berbuah yang beraneka macam.
Ternyata daun pohon kayu tersebut kini berubah menjadi kain batik yang bermacam ragam warnanya. Dan buahnya menjadi antang, mekau, jie, pingaatn dan lainnya yang juga bermacam ragam bentuknya dan ukuranya. Ada yang berukuran besar dan ada pula yang berukuran kecil. Juga buah kayu tersebut menjadi gong. Ada yang besar dan ada pula yang kecil.
Sampai waktu 8 hari 8 malam selanjutnya lagi, maka jatuhlah buah pohon itu ke tanah, maka ada yang menjadi teko, ceret, cangkir, gelas, piring, bascom, sendok dan lain-lain. Setelah itu, robohlah pohon kayu itu dan berubah menjadi lamin yang sangat besar.
Segala kekayaan berupa barang-barang tersebut tadi disimpan dengan rapi oleh perempuan tua itu di dalam lamin besar tersebut.
Mulai saat itu perempuan tua itu menjadi kaya raya. Segala kebutuhan hidupnya tersedia. Kini hidupnya tidak lagi kekurangan suatu apa pun.
Dengan penuh rasa bahagia dan bangga, maka perempuan tua itu memukul gong, sehingga terdengarlah bunyinya oleh Noso, Nonga, Ape dan Rempiaaq bersama semua keluarganya dari Tanyuukng Lahuukng. Lantas mereka datang ke rumah perempuan tua itu.
Setelah sampai di rumah perempuan janda tua itu, mereka heran dan bertanya, “Dari mana nenek memperoleh lamin besar dan kekayaan ini?”
Lalu dijawab perempuan tua itu, “Saya memperoleh dari pohon kayu yang tumbuh di atas kuburan anak punai yang dikuburkan di depan rumah saya.”
Melihat demikian, maka Noso, Nonga, Ape dan Rempiaq bersama semua keluarganya sangat menyesal atas penolakan mereka akan permintaan burung punai dulu itu.
Kini mereka melihat dengan matanya sendiri, betapa perempuan tua itu telah menjadi kaya raya berkat kebaikan hatinya. Tak diduga bahwa burung punai yang malang itu pun punyai rencana mulia untuk membantu orang-orang yang berkehendak baik dan murah hati terhadap dirinya yang sedang tertimpa kemalangan.
Sang janda tua yang hidup susah itu kini menjadi kaya raya untuk selama-lamanya. Walau hidup janda seorang diri, namun ia berbahagia selama hayat dikandung badang, selama jantung berdenyut dan darah masih mengalir.

Rabu, 16 Desember 2009

Cerita Rakyat Lokal Kutai Barat (1)

AJI DAN KILIP BERSAUDARA

Pada suatu waktu hiduplah dua bersaudara, yaitu Aji dan Kilip. Mereka hidup dengan kebisaaan berladang padi dan berburu binatang di hutan belantara. Kegiatan berburu dan menangkap binatang di hutan itu, bisaanya dilakuan dengan cara memasang jerat dan belantik di sela-sela waktu bekerja di ladang.

Wilayah atau areal hutan tempat berburu atau memasang belantik dan jerat tersebut, bisaanya cukup jauh dari pondok ladang, tempat tinggal mereka. Belantik dan jerat dipasang pada suatu jalur yang dikenal dengan nama otakng (jalur untuk memasang jerat). Dalam sebuah otakng atau jalur bisa berisi ratusan belantik dan atau jerat, sehingga kalau berhasil menangkap babi hutan, rusa, kijang dan binatang lainnya, maka mereka harus mengasapkan dagingnya agar tidak cepat busuk di hutan itu lalu dibawa secara bertahap ke pondok ladang kediamannya. Apabila hasil binatang yang diperoleh mencapai puluhan ekor, maka mereka harus tidur beberapa malam di hutan sampai daging-daging yang diperolehnya di situ benar-benar kering. Kemudian barulah diangkut pulang ke pondok ladangnya.

Pada suatu hari berangkatlah Aji dan Kilip ke hutan yang cukup jauh dari rumah untuk memasang jerat dan belantik. Mereka berdua lalu membuat otakng sambil memasang belantik dan jerat. Jumlah belantik dan jerat yang terpasang di sana cukup banyak sehingga mereka perlu empat hari dan empat malam untuk tinggal di hutan itu, dan setelah selesai, maka barulah mereka pulang ke pondok ladangnya.

Tiga hari kemudian, maka giliran Aji yang bertugas ketaq atau mendatangi kembali perangkap tadi guna memeriksa apakah ada binatang yang terjerat atau tertusuk mata sembilu bambu tajam belantik. Maka berangkatlah Aji seorang diri ke hutan belantara. Sebelum berangkat, maka Aji terlebih dahulu mengasah parang dan menyiapkan tombak; dan tak lupa membawa anjat/kiang (alat untuk mengangkut) daging binatang yang terkena jerat atau belantik.

Sesampainya di hutan, maka Aji mulai memeriksa satu persatu jerat dan belantik itu. Setelah semuanya diperiksa, ternyata ada delapan ekor babi hutan yang terkena jerat dan belantik itu. Aji lalu mengangkut babi hutan tersebut satu persatu ke pondok darurat yang dibuat sebagai tempat untuk mengasapi daging hasil tangkapannya. Setelah selesai mencincang daging babi hutan, lalu Aji memasang api untuk mengasapi daging babi hutan tersebut. Sebagian daging babi hutan itu digoreng oleh Aji, agar ia dapat membawa pulang lemak babi itu yang dapat digunakan sebagai minyak goreng.

Namun pada malam harinya, nasib sial pun menimpa Aji, karena malam itu ia didatangi oleh hantu yang bernama Wok Lemo Bawo. Wok Lemo Bawo adalah jenis hantu raksasa yang bisa memakan manusia atau binatang, dan anehnya hantu itupun bisa bicara layaknya manusia. Maka dapat dibayangkan bagaimana takutnya Aji di malam sunyi sepi tengah hutan belantara seorang diri. Ia menggigil ketakutan dan wajahnya pucat pasi, Wok Lemo Bawo mendekati pondok Aji dengan dengus nafas yang keluar dari hidungnya yang dengan jelas terdengar oleh Aji. Hantu itu mendengus-dengus ketika mencium bau babi hutan yang sudah diasapi. Hantu itu tampak sangat lapar dan segera ingin mencicipi potongan-potongan daging empuk di atas para.

Setibanya hantu itu di dekat Aji, maka ia membentak Aji “Aman koq takut, mengkikut, aman koq janiq ngenjijiq.” Artinya, “kalau kamu takut kamu diam, tetapi kalau kamu berani perlihatkan gigimu.”

Karena sudah sangat ketakutan melihat hantu Wok Lemo Bawo yang besar, tinggi dengan gigi yang besar-besar, bola mata yang besar, dan dengus napas yang menakutkan, maka Aji pun meringkuk dan memeluk lututnya di sudut pondoknya. Begitu melihat Aji hanya diam, maka Wok Lemo Bawo memakan semua babi hutan yang disalai dan yang sudah digoreng oleh Aji. Wok Lemo Bawo memakan semua daging mulai dari daging yang diasapi di atas para-para dan juga daging yang masih panas karena baru saja digoreng oleh Aji. Semuanya habis tanpa ada tersisa sedikitpun. Ludes!

Setelah selesai makan, Wok Lemo Bawo pergi dengan perut besar karena kekenyangan, dan tinggalah Aji seorang diri yang duduk sedih memikirkan nasibnya yang sial, karena harus pulang tidak membawa apapun. Akan tetapi tak ada jalan lain bagi Aji selain pulang saja ke pondok ladang, meski dengan tangan hampa. Berkemaslah Aji dengan membawa serta perlengkapannya, seperti panci, tombak dan kiangnya yang kosong.

Sesampainya di pondok ladang, maka Kilip terheran-heran melihat Aji pulang dengan tidak membawa apa-apa. Padahal mereka berdua mempunyai ratusan jerat dan belantik. Jadi mustahil tidak satupun binatang yang terkena.

“Lho, kenapa kamu pulang tidak membawa apa-apa, apakah jerat dan belantik kita tidak satupun yang kena ?” Tanya Kilip.

“Ya, kita memang dapat delapan ekor babi hutan, tetapi malam tadi ada Wok Lemo Bawo datang dan memakan semuanya baik yang sudah diasapi maupun yang sudah digoreng, sehingga saya tidak bisa bawa apa-apa,” jawab Aji dengan kesal.

Lalu Aji menceritakan semua peristiwa yang menimpanya kepada Kilip. Kilip mencoba menghibur Aji yang sedang bersedih, “Yah, tidak apa-apalah, itu bukan salahmu, nanti tiga hari kemudian, biarlah saya yang berangkat dan berhadapan dengan Wok Lemo Bawo itu”, kata Kilip menghibur Aji.

Tiga hari telah berlalu, maka tibalah giliran Kilip ke hutan untuk memeriksa belantik dan jerat yang mereka pasang. Setelah selesai berkemas untuk berangkat, maka berangkatlah Kilip dengan tidak lupa membawa beberapa genggam racun sumpit yang belum dipasang pada anak sumpit. Setelah dicek dari beberapa otakng yang ada ternyata Kilip memperoleh sepuluh ekor babi hutan, lebih banyak dari yang diperoleh Aji sebelumnya. Kilip lalu mengangkut satu per satu sepuluh ekor babi hutan itu. Setelah babi itu semua terkumpul, mulailah Kilip memotong satu persatu babi hutan itu. Begitu selesai memotong-motong kemudian Kilip menyalakan api untuk mengasapi dan menggoreng daging babi hutan yang berlemak dan enak itu.

Titik api Kilip berasal dari suatu alat penyulut api yang khas dan unik. Sebuah bungkahan batu sebesar ibu jari kaki dari jenis tertentu yang diambil dari sungai dan sepotong besi baja dengan lebar sekitar 2-3 sentimeter dan panjang sekitar 5 sentimeter dan sejenis serabut halus dari jenis phalma tertentu, lantas batu dan besi digesekkan satu sama lain sehingga keluar titik-titik api yang membakar serabut aren kering tadi hingga terjadilah nyala api yang cukup besar. Dari nyala api tadi dibuatkan api unggun dengan bahan bakar kayu kering yang telah dipersiapkan oleh Kilip. Susana di sekitar pondok Kilip tampak terang-benderang. Bau daging babi yang digoreng dan yang disalai seakan-akan menyebar ke seluruh rimba belantara sekitar pondok itu. Aroma ini tentunya akan mengundang selera siapa saja yang mencium baunya. Sambil menjaga daging perolehannya, Kilip mengatur api dan membalik-balik daging asap serta daging yang sedang digorengnya, dan kebetulan pula di hutan belantara itu sangat dingin bila menjelang malam. Maka api yang dipasangnya itu sekaligus sebagai pengusir dingin malam menyengat hingga ke sum-sum tulang.

Tiada terasa malampun semakin larut, Kilip belum mau memejamkan matanya sedikitpun, ia sadar bahwa hutan belantara itu penuh dengan segala marabahaya baik dari binatang, ular, singa, beruang sampai segala macam hantu. Maka Kilip yang memang sudah berpengalaman di hutan senantiasa berjaga-jaga dan waspada.

Namun angin dingin malam sepoi-sepoi itu membawa aroma daging babi tambun yang sedang digoreng dan diasapi ke segala sudut hutan di sekitarnya. Wok Lemo Bawo pun mencium aroma daging babi hutan tersebut. Lalu keluarlah Wok Lemo Bawo dari tempat kediamannya untuk mencari sumber bau daging yang membuat air ludahnya hampir keluar. Maka dengan mudah ia menemukan Kilip yang sedang menjaga dan menggoreng daging babi hutan. Wok Lemo Bawo melihat Kilip menjaga daging-daging yang diperolehnya. Lalu ia berkata persis sama seperti yang pernah ia ucapkan pada Aji.

Kilip yang sudah siap dan mendengar apa yang dikatakan oleh Wok Lemo Bawo itupun tidak mau tinggal diam. Ia bangkit untuk bersiap-siap mempertahankan daging-daging yang ia dapat dengan susah payah. Kilip siap untuk melawan karena ia marah dengan apa yang telah dilakukan oleh Wok Lemo Bawo terhadap Aji pada hari sebelumnya.

“Aman koq janiq, ko ngenjijiq, aman ko takut ko mengkikut,” bentak hantu itu. Kilip lalu ngenjijiq, memperlihatkan gigi-giginya yang hitam bekas makan sirih. Ternyata Wok Lemo Bawo begitu melihat gigi Kilip yang hitam itu, lalu tidak meneruskan ancamannya.

“Gigimu kok bagus betul, bagaimana caramu membuat gigimu sebagus itu ?”, tanya Wok Lemo Bawo kepada Kilip.

“Kalau kamu mau, saya bisa membuat gigimu hitam seperti gigi saya.” Jawab Kilip.

“Ya, saya mau, tapi bagaimana caranya ?” tanya Wok Lemo Bawo lagi. “Kemarilah kamu berbaring di sini, dan saya menggosok gigimu itu dengan arang ini, barulah gigimu sebagus gigi saya,” kata Kilip mengelabui hantu itu.

Lalu hantu itu menuruti saja perintah Kilip, maka Kilip menggosok-gosokan racun sumpit yang memang mirip arang itu digigi Wok Lemo Bawo itu. Namun beberapa menit kemudian Wok Lemo Bawo mengatakan bahwa kepalanya pusing, maka ia lalu permisi minta pulang. Ia pulang dengan langkah yang terhuyung-huyung karena mabuk racun sumpit yang digosokkan pada giginya. Tidak jauh dari pondok itu, ia lalu muntah-muntah dan tidak lama setelah itu lalu rebah dan matilah Wok Lemo Bawo!

Akan tetapi ada suatu keanehan yang terjadi ternyata dari muntahan Wok Lemo Bawo itu timbulah berbagai macam tumbuhan buah-buahan. Juga dari muntahan itu tumbuh pula padi, terong, bayam dan segala jenis palawija lainnya, yang akhirnya lalu tumbuh sampai sekarang ini.

Demikianlah Kilip esok paginya pulang ke rumah dengan mengangkut semua babi yang digoreng dan disalai itu. Dan tak lupa ia meminta bantuan Aji untuk membantu mengangkat daging-daging itu untuk dibawa pulang ke pondok ladang mereka.