Minggu, 14 Februari 2010

Putri Inuinang Jadi Ratu

          Alkisah pada jaman dahulu, ada sebuah kerajaan. Kerajaan  tersebut dipimpin oleh seorang Raja. Raja itu bernama Arupm. Raja ini memiliki watak dan perangai yang sangat buruk. Karena apabila terdapat kesalahpahaman yang sedikit saja dengan rakyatnya, maka ia tak segan-segan menghukum bahkan membunuh rakyatnya tersebut. Pada suatu hari raja Arupm menyuruh pengawal-pengawalnya, bahkan semua prajuritnya untuk menyerang sebuah kampung yang bernama Dilakng Ngoyan Limur Bawo.
          Tepat pada hari yang ditentukan, maka berangkatlah rombongan pasukan kerajaan Raja Arupm untuk menyerang penduduk di kampung tersebut. Warga kampung yang diserang tersebut, memang tidak tahu bahaya yang mengancam mereka pada hari itu, maka seperti biasanya para warga pergi ke ladang meninggalkan kampung, sehingga yang tertinggal di kampung hanya orang-orang tua dan ibu-ibu tua beserta anak-anaknya yang masih kecil-kecil.
          Sesampainya rombongan pasukan Raja Arupm di kampung  tersebut, maka mereka dengan sangat mudahnya berhasil menduduki dan menguasai kampung tersebut, karena tidak ada orang yang dapat melawan, dan semua warga baik yang tua maupun anak-anak dibunuh, kecuali seorang gadis yang luput dari maut, karena gadis tersebut sangat cantik, sehingga ia diambil sebagai tawanan oleh pasukan raja Arupm.
Gadis tersebut bernama Inuinang. Inuinang adalah  anak dari Timang Rangaas Karukng dengan isterinya Unang Rangaas Bungaaq.
Setelah membunuh semua warga di kampung tersebut dan menawan gadis tadi, maka pasukan Raja Arupm kembali ke  kerajaannya.
Tiba di kerajaan, maka para prajurit menyerahkan puluhan kepala penduduk yang berhasil mereka bunuh di kampung tersebut, berikut gadis tawanan tadi. Sang raja sangat gembira dengan keberhasilan dari para prajuritnya itu, kemudian sang raja berteriak dengan suara lantang, “wahai Nayuq Timang … mulai hari ini tidak ada lagi yang mampu melawan aku …!” Dan kini semaunya telah takluk dalam kerajaanku …!”
Setelah peristiwa itu, maka sang Raja kembali memimpin kerajaannya seperti biasa dan Inuinang diberlakukan sebagai budak di kerajaan Arupm tersebut. Setiap hari Inuinang disuruh pergi ke hutan untuk menebas dan membuat ladang tanpa dibantu oleh warga lainnya dari kerajaan Arupm itu. Pada saat ladangnya telah siap ditanami, maka barulah mereka membantu menanam padi. Demikian pula setelah menanam padi, tidak ada satu pun warga dari kerajaan itu yang bantu menjaga dan membersihkan padi dari gulma. Inuinang bekerja sendirian bertahun-tahun.
          Pada saat padi ladang mulai berbunga dan berbuah, maka kerajaan merencanakan upacara belian gugu tahun, di mana nantinya gadis Inuinang sendiri akan dijadikan sebagai tumbal yang dikurbankan pada saat  belian gugu tahun tersebut telah mencapai puncaknya. Namun, rencana tersebut tersebut masih sangat dirahasiakan, agar tidak diketahui oleh Inuinang, tapi niat jahat tersebut telah mulai terbaca oleh Inuinang dan memang cukup mengganggu perasaannya dari hari ke hari. Perasaan tersebut terus menghantui kehidupan Inuinang sehari-hari, sehingga ia tidak ada semangat bekerja lagi, walau pun berkerja, itu karena hanya terpaksa saja.
          Kini tiba saatnya padi di ladang itu mulai menguning. Artinya waktunya telah tiba bahwa Inuinang memulai pekerjaan panen panen pada siang hari, dan menumbuk padi di lesung pada malam hari. Berasnya dikumpulkan untuk belian gugu tahun tersebut. Dalam melakukan pekerjaan ini pun, memang tak ada satu orang pun yang membantunya. Perempuan-perempuan di kerajaan itu  hanya mengambil beras-beras yang  sudah selesai ditumbuk dan dibersihkan. Orang-orang lain di kerajaan itu hanya sibuk menyiapkan peralatan belian, tanpa mau membantu Inuinang bekerja sendirian di ladangnya.
          Pada suatu hari, karena sangat kecapaian, maka Inuinang meresa bahwa badannya tidak enak, lantas ia duduk dan bersandar pada sebuah tunggul besar di tengah ladangnya itu. Karena sangat letih dan lesu,  maka ia tertidur dan bermimpi. Di dalam mimpinya itu, ia bersandar di kaki seorang laki-laki tua yang rambutnya sudah putih, dan giginya sudah ompong dan bertongkat touq salah (sejenis tebu putih).
Orang tua itu berkata pada Inuinang, “Wahai anakku, mungkin kamu penasaran, mengapa perasaanmu akhir-akhir ini malas dan lesu. Ketahuilah bahwa orang di kerajaan itu sekarang sedang belian. Di puncak upacaranya itu nanti, kamu akan dibunuh sebagai tumbal. Namun, kamu jangan khawatir, aku akan memberikan sesuatu kepadamu. Dan simpanlah sesuatu yang kuberikan itu baik-baik …! Apabila sampai pada hari yang ditentukan untuk membunuhmu, maka kamu harus membawa patung kecil dari kayu ini.” 
Setelah berkata demikian, maka orang tua itupun menghilang, dan Inuinang terbangun. Ia melihat di sekitarnya, tapi tidak ada apa-apa, kecuali patung kayu yang didapatkannya  dalam bakul (gamak), maka ia pun mengambil dan menyimpan patung tersebut.
          Seperti biasanya setelah beras yang ditumbuk oleh Inuinang jumlahnya sudah banyak, maka orang kerajaan mengambil beras dan hasil ladangnya. Pada hari berikunya, orang-orang kerajaan itu datang lagi untuk mengambil beras dan sekaligus bersama dengan Inuinang sendiri, karena belian sudah hampir mencapai puncaknya atau hampir selesai. Mereka menangkap Inuinang dan mengikat tangannya dan menyuruh Inuinang memikul bakul       yang disebut amoq  yang penuh dengan beras. Amoq yang berisi beras tersebut terasa cukup berat untuk dipikul oleh seorang gadis seperti Inuinang.
          Sesampainya di kerajaan, Inuinang dibawa naik dan diikat di atas balai yang disebut toras, yaitu tempat persembahan kurban ritual, di mana nantinya ia akan dibunuh di atas balai tersebut.
Ketika keesokan harinya, yang merupakan hari puncak upacara belian gugu tahun tersebut, maka Inuinang dipersiapkan jadi korban persembahan atau tumbal dalam ritual tersebut. Semua petugas ritual melakukan ngarakng nganyaar sambil membacakan ritus-ritus bagi para nayuuq, dan mereka pun tidak menyadari sesuatu yang akan terjadi, sehingga selesai ngarakng nganyaar, maka mereka pun siap memulai upacara yang memang sudah dinanti-nantikan.
Untuk itu, datanglah seorang algojo yang membawa mandau guna memenggal leher sang gadis Inuinang, dan seketika itu juga tiba-tiba terjadilah angin ribut berserta hujan deras yang mengikuti simburan darah dan kepala Inuinang yang jatuh dari atas balai toras dan terguling di tanah. Dengan itu, maka upacara di balai korban persembahan itu selesai, dan semua orang pulang ke atas lamin.
Namun kesokan harinya, mereka dikejutkan oleh sosok seorang gadis yang datang dari ladang dan membawa bakul (amoq) yang berisi beras, sayur-sayuran dan gulungan daun pisang di dalam bakulnya itu. Gadis tersebut tidak lain adalah Inuinang yang kemarin telah dipenggal kepalanya.
Keheranan mereka semakin membuatnya penasaran untuk ingin mengetahui secara  dekat dan pasti tentang sosok Inuinang, si gadis yang kemaring benar-benar telah mati. Semua orang di dalam lamin itu mengerumini gadis tersebut, termasuk Raja Arupm.
Kemudian raja Arupm bertanya, “Bagaimana kamu bisa datang dari ladang membawa beras dan lainnya ini, padahal kemarin kamu sudah kami bunuh, dan kenapa hari ini kamu datang dengan tidak kurang satu apapun ... persis seperti Inuinang yang kemarin juga?”
Maka dengan tenang dijawab oleh Inuinang, “Hamba baru datang dari Gunung Lumut (gunung sorga) dan di sana kehidupan orang-orang sangat baik serta banyak gadis yang cantik-cantik.”
 Mendengar jawaban Inuinang yang demikian, maka raja Arupm sangat tertarik dan ingin juga  datang ke sorga sana, lantas ia menyuruh para algojonya untuk memenggal lehernya dan semua anak cucunya yang semuanya juga berperilaku jahat di kerajaan tersebut.
          Apakah yang sebenarnya terjadi dengan Inuinang ?, hal yang sebenarnya terjadi adalah bahwa pada saat gadis Inuinang seolah-olah dipenggal kepalanya, maka kakek yang muncul dalam mimpi dan memberikan patung kayu kecil kepada Inuinang itu muncul dan menukar sosok Inuinang dengan patung yang sangat menyerupai sosok Inuinang sendiri.
Pada saat kakek misterius menggantikan sosok Inuinang dengan patung tersebut, tak ada satupun orang yang tahu akan hal itu, sehingga mereka mengira bahwa yang dipenggal itu adalah benar-benar Inuinang sendiri.
Akhirnya Raja Arupm beserta seluruh keluarganya mati setelah dipenggal kepalanya atas dasar kemauan dan perintah sang raja itu sendiri. Maka mulai hari itu juga, rakyat di kerajaan Raja Arupm  mengangkat Inuinang sebagai pemimpin mereka di kerajaan itu.
Setelah dipimpin oleh Inuinang, maka rakyat kerajaan itu kembali hidup dengan aman, tanpa dicekam rasa takut, dan mereka menjadi makmur dan sejahtera di bawah kepemimpinan Inuinang sang gadis yang masih sangat muda.

Selasa, 09 Februari 2010

Nenek Gerasiq Pemakan Manusia

ALKISAH pada jaman dahulu, Tiaq Pelulaq bersaudara sering kali dimarahi ibu mereka, karena keseharian mereka hanya main gasing saja. Ketika kesabaran ibunya telah habis, maka Tiaq Pelulaq dua bersaudara itu diusir oleh ibu mereka.
Lantas keduanya berniat lari dari rumah. Keduanya masuk hutan dengan maksud menemukan siapa saja yang sudi dan iba untuk menampung mereka berdua, maka di situlah mereka tinggal.
Sebelum mereka bertemu dengan orang yang mau menampung mereka, maka mereka masih tetap hidup seadanya dalam hutan. Karena telah lama hidup di dalam hutan, maka  mereka akhirnya menemukan jejak babi-babi yang tampaknya sangat besar.
Tiaaq Pelulaq yang tua bertanya kepada adiknya, “Dek …bagaimana caranya kita dua dapat menangkap babi-babi  yang ada jejak-jejaknya ini? Yang adik menjawab, “Oh … begini saja Kak, kita pasang saja jerat di jejak babi itu di sini, dan nanti kalau kembali, maka ia pasti melewati jalannya yang ini juga, karenanya pasti babi itu terperangkap jerat kita ini”.
Si kakak menjawab, “baiklah Dek, kita pasang jeratnya sekarang juga!”.
Keduanya pasang jerat babi di situ hingga rampung dengan sempurna.
Keesokan harinya, mereka berdua pergi ke tempat mereka pasang jerat yang kemarin itu, ternyata jerat itu memang menangkap babi hutan yang mereka inginkan.
Si Adik berkata, “Nah … syukurlah bahwa  jerat kita menangkap babi tersebut. Lantas mereka berdua membawa bangkai babi itu ke pondok darurat mereka di dalam hutan belantara.
Tetapi sungguhpun mereka sudah sampai di pondoknya, namun mereka tidak ada api. Lalu Si kakak bertanya kepada adiknya, “bagaimana caranya kita mencari api, agar kita dapat memasak babi ini, nanti daging babi akan busuk, kalau tidak dimasak secepatnya”.
Si Adik berkata, “Oh. .. begini saja kak, saya ada akal, yaitu saya akan  panjat pohon kayu yang tinggi guna melihat di mana ada asap api, lantas ke sanalah kita tuju untuk minta apinya”.
Si kakak menjawab, “ya, setuju!”
Lantas si Adik memanjat pohon kayu, dan setelah sampai di puncak pohon itu, memang terlihat ada asap api kecil, hanya sebesar seruling bambu saja. Asap api itu menjulang menembus hutan belukar nun juah di sana. Si Adik melihat asap api itu dan berkata dalam hatinya, “Oh ... tampaknya memang ada rumah orang di situ”.
Si Adik turun dari atas pohon itu, katanya,  “saya melihat ada asap api kecil yang jauh ke arah sana, maka sekarang juga kita berjalan menuju ke sana”.  
Sebelum berangkat, maka mereka berdua mengambil kulit kayu kering dan diikat dengan rotan guna dapat dengan gampang menyulut api yang orang itu berikan kepada kita nanti.
  Berangkatlah mereka berdua ke arah rumah yang empunya api tersebut. Setibanya di rumah orang yang ada api tersebut, mereka berdua bertanya, “apakah rumah ini ada  orangnya?”.
Namun, tidak ada jawaban dari dalam rumah itu. Lantas mereka berdua naik saja rumah itu dan masuk untuk mengambil api di dapur, dan pulang kembali membawa api tersebut.
Setibanya di pondok mereka, maka berdua persiapkan babi tadi untuk dimasak dan selanjutnya dimakan. Diambilnya tulang rusuk babi itu yang sebelah kanan lantas dibakarnya dalam api. Setelah daging itu masak, lalu daging itu disimpan di bawah lantai gubuknya itu dan sebagiannya lagi disalai di atas para api.
 Sepulangnya Tiaq Pelulaq bersaudara tadi, maka yang empunya rumah yang punya api tadi datang dari sungai karena ia mandi. Diperiksanya alat-alat di dalam rumahnya itu, dan semuanya masih utuh, kecuali asap apinya yang kurang atau hilang! Lantas, orang itu berkata dalam hatinya, “Oh …, jangan-jangan ada orang yang curi api saya ini”
Yang punya rumah itu, lantas mengambil tongkat pusakanya yang ajaib itu. Lantas ia berkata kepada tongkat itu, “kamu tunjukkan arah di mana orang yang ambil api saya ini, kamu tunjukkan arahnya, supaya saya bisa tuntut siapa yang ambil api saya itu agar kembalikan nyala dan asapnya seperti sediakala!”.
Kemudian orang itu, membawa turun tongkat pusaka itu di tanah dan didirikannya di situ dan berkata kepada tongkat itu, “ke mana arah kamu rebah, maka ke sana saya akan menyusul orang yang mencuri api saya itu”.
Memang tongkat itu rebah ke arah pondok, di mana Tiaq Pelulaq bersaudara itu tinggal di hutan sana.
Orang yang punya api ini bernama Tak Gerasiq. Ia seorang nenek tua. Lantas dengan segera Tak Gerasiq menyusul orang yang curi apinya itu sesuai dengan arah rebah tongkat ajaibnya itu. Memang tidak salah lagi, akhirnya sampailah nenek tua itu di pondok Tiaq Pelulaq berdua itu.
Nenek Gerasiq berkata, “Oo, kamu berdua yang curi api di rumah saya, ketika saya sedang mandi ke sungai. Setelah saya kembali dari sungai, lantas saya hitung asap api saya ternyata berkurang, dan nyala pun berkurang. Oleh karena itu, saya ambil habis daging babi kalian ini, kalau tidak boleh, maka saya ambil kalian berdua saja sebagai ganti rugi atas api yang kalian curi itu”.
Tiaq Pelulaq berkata, “jangan ambil kami berdua Nek, tapi ambil saja semua daging babi di situ”.
Lantas nenek itu mengambil habis daging babi salai di atas para di situ dan dibawanya pulang ke rumahnya.
Setelah Nenak tua itu pulang, Tiaq Pelulaq berkata satu sama lain, “Untung masih ada sisa daging babi bakar, yang kita simpan di bawah lantai gubuk kita berdua ini, dan memang hanya itu saja yang masih tersisa”.
Lantas Tiaq Pelulaq berdua berpikir, “bagaimana caranya kita menghadapi Tak Garasiq yang serakah itu?”
Lantas Tiaq Pelulaq bersaudara berdiskusi, “Daging babi kita ini telah habis diambil Tak Gerasiiq, lalu apa yang kita makan nanti sore dan malam nanti. Kita dua harus mencari akal supaya Tak Gerasiq yang serakah itu tidak berani lagi mengganggu kita berdua, dan juga supaya daging-daging kita tadi bisa kembali lagi dengan kita berdua. Bagaimana ya … akal kita melawan Tak Gerasiq itu.”
Si Adik berbicara, “begini ada akalnya,  kita pergi bertamu ke rumah Tak Gerasiiq, dan kita tanya apa saja hantu-hantu yang ditakutinya?”
Kemudian Tiaaq Pelulaq bersaudara itu bertamu ke rumah Tak Gerasiiq. Setibanya di rumah Tak Gerasiiq, maka keduanya bertanya, “hantu-hantu apa saja yang paling Nenek takuti?”
Tak Gerasiq menjawab, “saya tidak takut hantu apa saja yang datang ke rumah saya ini. Saya tidak takut hantu, karena  hantu yang datang ke sini itu semuanya kawan-kawan akrab saya”.
Lalu Tiaq Pelulaq berkata lagi, “apakah nenek tidak takut dengan hantu yang satunya lagi, Nek?”
Si Nenek berkata, “Coba bagaimana suara hantu itu?”
Tiaaq Pelulaq menjawab, “Begini suaranya Nek, dia nyanyi-nyanyi dari kejauhan yang sedang berjalan menuju ke rumah Nenek ini.  Suaranya  begini Nek …,  
Tin-tin toit-toit makan mata Tak Gerasiq,
Tin-tin toit-toit makan hati Tak Gerasiq!
Hantu itu tubuhnya sangat besar tubuhnya. Tubuhnya sebesar rumah Nenek ini.
Tak Gerasiq menjawab, “Oh … kalau begitu hantunya, maka tentu takut, karena hantu itu akan ambil mata dan hati saya untuk dimakan. Kalau hantu itu ambil hati dan mata saya untuk dimakannya, maka saya akan mati”.
Kemudian Tak Garasiq bertanya kepada Tiaq Pelulaq berdua, “Jadi bagaimana caranya kalau ada hantu itu datang?”
Tiaq Pelulaq menjawab, “Cara begini Nek. Kalau hantu itu datang, maka Nenek lemparkan saja daging-daging babi hingga habis ke arah hantu itu bersuara. Kalau suaranya masih ada juga, maka bawakan saja minyak babi dengan tempatnya, berikut kulit babi yang digoreng itu ke tanah sana. Dan jika suara hantu tidak mau berhenti juga, maka Nenek ambil tombak yang tajam-tajam dan tancap tangkainya di tanah dengan mata pisaunya menghadap ke atas. Tancaplah tombak itu banyak-banyak di tanah. Setelah itu, Nenek ambil tikar dan bungkuskan badan Nenek dengan tikar itu, lalu terjun ke arah mata-mata tombak tersebut. Setelah itu, maka hantu itu pasti lari dan tidak berani lagi mengganggu Nenek di rumah ini”.
Setelah menjelaskan itu semuanya kepada Nenek Gerasiq, maka Tiaq Pelulaq berdua permisi pura-pura pulang ke pondoknya di hutan sana. Waktu itu telah menjelang malam.
Ketika sudah malam, Tiaq Pelulaq dari hutan di sekitar rumah Tak Gerasiiq mulai menyanyikan nyanyian yang diberitahukan keduanya tadi dari kejauhan menuju rumah Tak Gerasiq. Tak Gerasiq sudah mendengar nyanyian sejak masih jauh hingga mendekat ke rumahnya.  
Untuk itu, seperti yang dikatakan oleh Tiaq Pelulaq, maka Tak Gerasiq ambil semua daging babinya dan dilemparkannya ke arah suara itu di semak-semak. Tetapi Tiaq Pelulaq terus menyanyikan nyanyian tadi, maka Tak Gerasiq pun mengantarkan semua minyak babi berikut gorengan kulit babinya ke arah hantu tersebut bernyanyi dari dalam hutan di sana.
Akan tetapi Tiaq Pelulaq terus menyanyi, sampai akhirnya Tak Gerasiq ambil tombak-tombaknya yang tajam-tajan dan ditancapkannya di tanah seperti petunjuk Tiaq Pelulaq kemarin siang kepadanya. Lantas Tak Gerasiq ambil tikar dan membungkus tubuhnya di dalam tikar itu dan jatuhkan dirinya di atas mata-mata tombak di tanah tersebut. Dengan demikian, Tak Gerasiq mati tertusuk tombak yang dipasangnya sendiri.
Keesokan harinya, Tiaq Pelulaq berdua berhenti menyanyi, dan pada pagi harinya Tiaq Pelulaq kuburkan mayat Tak Gerasiq. Setelah selesai dikuburkan, maka Tiaq Pelulaq berdua itu mengumpukan kembali daging babi dan wadah-wadah lemak babinya. Semuanya  dibawa kembali ke dalam rumah Tak Gerasiq yang sudah mati itu. Lantas Tiaq Pelulaq melihat harta Tak Gerasiq di dalam rumahnya itu. Ternyata cukup banyak hartanya.
Kemudian Tiaq Pelulaq melihat wadah dari kulit kayu besar, ternyata ada banyak anak banyak laki dan perempuan, tetapi  semuanya cacat yang bermacam-macam. Ada yang cacatnya tidak ada paha sebelah, tangan yang telah diambil sedikit dagingnya untuk dimakan sendiri oleh Tak Gerasiq. Dan sebagian lagi ada yang masih utuh badannya, kiranya di simpan sebagai cadangannya yang suatu waktu bisa diambil Tak Gerasiq menjadi lauknya.
Tiaq Pelulaq bersaudara itu memelihara semua anak-anak yang malang itu dengan penuh kasih sayang! Ada pula anak-anak perempuan yang masih utuh yang mereka pelihara dengan baik, dengan harapan siapa tahu kelak nanti sudah besar, dan kalau memang sudah jodohnya bisa mengjadi isteri Tiaq Pelulaq bersaudara itu.  
Anak-anak yang mereka rawat itu pun semakin meningkat besar dan dewasa sehingga kehidupan mereka di rumah Tak Gerasiq itu bagaikan semua lamin yang sangat besar, karena banyak penghuninya yang adalah anak-anak yang sebagian besar cacat tersebut.
Anak-anak perempuan yang tidak cacat pun semakin besar dan dewasa saja. Di antara anak-anak gadis di rumah itu, memang ada yang menjadi isteri kedua orang Tiaq Pelulaq tersebut.
Lantas pada suatu waktu, Tiaq Pelulaq berpikir dan bertanya satu sama lain, “bagaimana keadaan ibu kita di kampung sana, apakah masih hidup atau sudah mati?”.
Keduanya berdiskusi, “Kita berdua ini telah cukup lama di sini dan tinggalkan ibu kita, meskipun ibu sering marah-marah dengan kita, ya … itu wajar, karena kita berdua yang kadang-kadang tidak mau patuh pada perintahnya, sedangkan ibunda kita itu sendiri dia yang melahirkan dan membesarkan kita. Kalau tidak ada ibunda kita, maka manalah mungkin kita lahir dan besar seperti hingga sekarang ini”.
Setelah berbincang-bincang tersebut, maka Tiaq Pelulaq bersaudara sepakat untuk mengambil ibunda mereka itu, kalau saja ibunda masih hidup di kampung sana. Dan kalau sudah meninggal, ya … apa boleh buat”.
Mereka berdua pergi dengan maksud mengambil ibunya ke kampungnya. Setibanya di rumahnya, maka Tiaq Pelulaq berdua panggil-panggil sang Ibundanya,  “Oo, ibu … apakah Ibu masih hidup? Ini kamu Tiaaq Pelulaq pulang!”
Lantas ibunya bangun dari tempat tidurnya dan berkata, “Ibumu  masih hidup anak-anakku, mengapa kalian lama sekali tinggalkan ibumu ini?”
Kedua Tiaq Pelulaq menjawab ibunya, “Tidak apa-apa ibu …! Kami berdua hanya mencari nafkah hidup sehari-hari, dan sekarang kami berdua sekarang sudah kembali, dan kami berdua pun sudah kawin dan tinggal di rumah kami sendiri dengan kekayaan rumah rumah yang sudah cukup lumayan. Kami ini datang untuk membawa ibu bersama kami pindah ke rumah kami yang cukup jauh dari sini. Semoga ibu tidak keberatan ikut bersama kami dan berangkat sekarang juga.
Ibunya menjawab, “ya …baiklah kalau begitu, saya mau ikut kalian berdua anakku”.
Di rumah kami di sana, Ibunda tidak perlu ambil air ke sungai dan memasak di dapur. Ibu hanya makan dan tidur saja. Di rumah kita itu nanti sudah ada orang-orang yang  selalu siap melayani ibu.

Jumat, 05 Februari 2010

SILUQ KEMBALI KE SENDAWAR

DALAM mitologi orang Dayak Rentenukng, Tonyooi dan Benuaq cukup banyak cerita yang mengkisahkan peristiwa tentang perseteruan yang menggunakan “kesaktian” antara Ayus dan Siluq bersaudara! Ada semacam persaingan “siapa yang paling berkuasa” antara keduanya. Siluq adalah perempuan, kakak Ayus. Sedangkan Ayus adalah laki-laki, adik dari Siluq (Lihat. No. 34, 43, 59, 60, 71,72, 82). Ayus dan Siluq mempunyai watak yang sangat berbeda satu sama lain.

Alkisah pada suatu waktu, Ayus dan Siluq bersaudara ini menetap di Sentawar, lantas berpisah! Siluq pergi ke Hulu Riam Sungai Mahakam guna menyusul suaminya yang bernama Mulakng Menyangka, sedangkan Ayus pindah ke Muara Lawa. Konon, Ayus khawatir akan kakaknya, yang tidak pulang-pulang ke Sentawar (Lih. No.60 dan 82).

Untuk itu, maka Ayus membendung Sungai Mahakam di daerah Sentawar sekarang yang dikenal dengan Batuq Benaliiq. Maksudnya, agar Siluq tetap kembali ke Sentawar, bukannya milir Sungai Mahakam hingga di Tasik (Laut). Namun, Ayus gagal menghadang adiknya itu, sehingga akhirnya Siluq bisa lewat Sentawar tanpa hambatan yang berarti hingga sampai di Tasik. Ayus mengejar adiknya hingga ke Muara Sungai Mahakam dan Tasik, namun tidak berhasil membujuk adiknya kembali ke Sentawar pada waktu itu. Walau begitu, Siluq berjanji kepada adiknya bahwa pada suatu waktu, pasti akan kembali ke Sentawar guna menyayomi anak cucunya di Sentawar dan Mahakam Ulu.

Konon dalam pertarungan tersebut dan yang lainnya, tampaknya Siluq memang memiliki kesaktian yang “lebih” daripada adiknya. Ia selalu lolos dari penghadangan adiknya yang mengandalkan kekuatan fisik. Akhirnya, Siluq sampai di laut (tasik). Begitu pun Ayus sampai juga di tasik.

Dalam perjalanan pulangnya dari Tasik tersebut, Ayus semula memang mudik Sungai Mahakam, namun tidak lagi sampai ke Sentawar. Ia masuk ke sungai Pahuuq dari Muara Pahuuq yang sekarang.

Lantas Ayus kemudian menyusuri sungai Pahuuq, yakni simpang kiri atau di sebelah selatan dari sungai Mahakam. Ketika memudiki sungai ini, memang banyak hal yang dibuat Ayus dengan kasaktian fisiknya, seperti mencabut dan membalik pohon benggeris. Akibatnya daun dan dahan pohon benggeris itu menempel di tanah, sedangkan akarnya dan pohonnya berada di atas. Posisi pohon benggeris yang terbalik, karena dicabut dan dibalik oleh Ayus.

Konon pohon benggeris ini masih hidup sampai sekarang di daerah Kecamatan Bentian Besar.

Setelah itu, lantas Ayus naik ke langit atau ke dunia atas (the upper world) dari kaki gunung Litu di daerah Kalteng (daerah sungai Barito), sehingga gunung tersebut condong ke arah sungai Litu (sungai Barito) tersebut.

Tapi bagaimana dengan Siluq? Seperti pribahasa yang mengatakan, “Setinggi-tingginya bangau terbang, akhinya toh kembali ke kubangan juga!” Demikian pula halnya dengan Siluq.

Setelah sekian lama Siluq tinggal di Tasik, akhirnya toh ia rindu dan kembali juga ke tanah Sentawar sekitar tahun 1980-an.

Konon cerita dari mulut ke mulut, pada suatu ketika, ada seorang nenek tua yang rambutnya telah putih ikut mudik dalam rombongan penumpang kapal motor dari pelabuhan di Samarinda menuju Pelabuhan Melak.

Pada saat itu belum ada jalan darat dari Samarinda ke Mahakam Hulu, sehingga satu-satunya alat transportasi umum dan pengangkut sembako masyarakat adalah kapal motor di sungai Mahakam. Memang sudah ada pesawat terbang (MAP), tetapi pesawat itu hanya digunakan untuk tujuan misionaris agama tertentu saja.

Pada tahun 1980-an tersebut, ada 2 unit kapal motor milik dari dua orang Haji bersaudara yang sangat dikenal baik oleh masyarakat di daerah Mahakam Ulu, yaitu KM Assabirin milik Haji Haron dan KM Karya Utama milik Haji Amat.

Ketika Si nenek tua lusuh dan miskin itu hendak menumpang KM Assabirin, maka ia ditolak oleh sang Haji pemilik kapal.

Lantas Si Nenek tua itu membawa barang-barangnya (layaknya orang yang pindah tempat tinggal) berjalan menuju KM Karya Utama dan mengatakan bahwa ia hendak mudik ke tanah hulu!

Haji pemilik kapal KM Karya Utama memperbolehkan Si Nenek tua itu ikut, tetapi hanya diberikan tempat di depan WC kapalnya saja. Tidak seperti penumpang lainnya yang diberikan keistimewaan khusus.

Namun, Si Nenek tua itu sangat gembira, karena diperbolehkan ikut kapal itu, walau hanya diberikan tempat di depan WC kapal tersebut saja.

Perjalanan mudik pada waktu itu cukup lama dan melelahkan, karena mencapai 34 jam baru sampai di pelabuhan Melak.

Di sepanjang pejalanan dengan kapal tersebut, konon terjadi suatu keanehan pada diri Si Nenek tua ini. Semakin kapal ini mendekati Melak, maka Si Nenek tua itu semakin bertambah muda dan paras wajahnya pun tampak cantik dan bersih pula pakaian yang dikenakan.

Setelah singgah dan bongkar muat di Pelabuhan Melak, maka KM Karya Utama meneruskan perjalanannya ke Long Iram.

Dan ketika sampai di Rantau Benaliq di hulu Melak atau tepatnya di daerah Sentawar sekarang, maka hari pun sudah malam.

Lantas Si Nenek itu berubah menjadi seorang gadis yang sangat cantik jelita, sehingga semua penumpang kapal yang melihatnya menjadi terkejut, terpesona dan sangat heran!

Sang Gadis yang cantik itu minta ke juragan kapal untuk diturunkan di pelabuhan sekitar tempat itu.

Di situ Tampak sebuah pelabuhan kapal-kapal yang terang benderang disinari cahaya lampu listrik dan orang-orang ramai, layaknya seperti pelabuhan kapal di Melak tadi juga.

KM Karya Utama merapat ke pelabuhan itu dan menurunkan sang Gadis dan barangnya, seperti halnya penumpang lainnya pula.

Setelah semua selesai diturunkan, maka kapal KM Karya Utama tersebut kembali melanjutkan perjalanannya menuju Tering dan Long Iram.

Anehnya, ketika kapal ini telah sampai di tengah Sungai Mahakam, lantas pelabuhan itu tadi menghilang bersama lenyapnya si gadis tadi. Di sekitar pelabuhan yang terang benderang itu tadi kembali gelap gulita.

Cerita ini lantas menyebar lewat cerita dari mulut ke mulut, terutama di kalangan warga masyarakat di sekitar Kecamatan Melak, Barong Tongkok dan Linggang Bigung.

Sejak saat itu, maka usaha dan harta benda Pak Haji pemilik KM Karya Utama terus meningkat. Dan sejak itu pula, Kapal Karya Utama ini lebih populer dan paling disukai ditumpangi oleh orang-orang Tonyooi dan Rentenukng.

Menurut keyakinan orang Tonyooi dan Rentenukng, kisah tentang Sang Nenek tua tersebut tadi tak lain adalah Siluq sendiri. Artinya Siluq telah kembali dari tasik ke tanah kelahiranya di Sentawar (Lihat. No.82)

Ketika itu (1980-an) Sentawar belum menjadi Ibukota Kabupaten. Kini Sentawar telah menjadi Ibukota Kabupaten Kutai Barat. Lantas karena kehadiran gaib Siluq di Sentawar ini sejak 1980-an lalu, maka tidak mustahil Kabupaten ini benar-benar menjadi Tana Puraai Ngerimaan!

KISAH TUHIIQ PEHATUQ

PADA zaman dahulu hiduplah dua orang yang sehari-harinya sangat sederhana, bahkan bisa dibilang sangat memprihatinkan. Dua insan itu adalah seorang ibu dengan satu orang anak lelakinya. Bapaknya sudah lama meninggal, sehingga anaknya itu disebut anak piatu (tuhiiq pahatuuq). Ibu dan anaknya ini tinggal dalam lamin besar peninggalan bapaknya.

Pada suatu hari, anak itu melihat ada tunas rotan yang tumbuh di samping laminnya. Maka dengan senang hati pula, anak itu rajin memelihara dan membersihkan tunas rotan tersebut. Setiap hari anak itu merawat tunas rotan tersebut.

Dengan pemeliharannya yang baik, maka rotan itu segera tumbuh subur dan besar serta batangnya yang semakin memanjang seperti tali layang-layang dan menjulur ke segala pohon kayu di sekitarnya.

Alkisah pada suatu hari tiba-tiba ada seorang gadis yang sangat cantik datang ke tempat anak piatu itu dan bertanya, “Untuk apa kamu pelihara tumbuhan rotan ini?”

Lalu dijawabnya, “Tidak untuk apa-apa! Tapi kelak siapa tahu rotan itu bisa digunakan untuk ikatan rumahku yang sudah reot dan keropos ini.”

Tetapi gadis itu tidak percaya dengan apa yang telah dikatakan oleh anak piatu itu. Akhirnya, karena didesak terus oleh gadis itu, maka terpaksa anak piatu berterus terang kepada gadis tersebut dengan berkata.

“Apabila rotan ini sudah tua dan berbuah, maka buahnya yang sudah tua bisa saya tanam lagi di tempat lain. Setelah rotan ini nanti besar, saya akan mengambil rotan ini dan saya potong menjadi 8 potongan. Yang satu potong itu diolah menjadi 8 buah tali ikat pinggang mandau seperti yang saya pakai ini. Lantas, ke-8 tali itu ikat pinggang mandau itu nanti, saya tukar dengan anak ayam milik kalian sebanyak 8 ekor. Setelah ayam itu nanti dewasa dan beranak pinak, maka saya tukar lagi dengan dengan babi kalian. Nanti, jika babi itu beranak pinak, maka saya tukar lagi dengan 2 ekor kambing kalian, yaitu 1 ekor kambing jantan dan satu ekor betina. Apabila kambing itu sudah beranak pinak, maka saya tukarkan lagi dengan 2 ekor kerbau kalian, yang satu jantan dan yang satu lagi betina. Setelah semua itu terwujud nantinya, maka saya tidak akan minta apa-apa lagi dari kalian.”

Setelah dengar penjelasan anak piatu itu, maka dengan segera gadis itu pulang ke lamin mereka sendiri. Anak gadis itu adalah anak dari Raja Roopm.

Setelah sampai di laminnya, maka ia menceritakan kepada raja yang adalah bapaknya sendiri mengenai maksud anak piatu yang memelihara rotan di laminnya di sana.

Anak gadis itu bercerita kepada Sang Raja, “Dengan sebatang rotan itu, anak lelaki itu bisa menganyam 8 tali ikat pinggang mandau, kemudian membeli 8 ekor ayam, selanjutnya 2 ekor babi, dan 2 ekor kambing dan akhirnya 2 ekor kerbau”.

Mendengar cerita anak puterinya yang demikian itu, maka Raja Roopm jadi bingung, karena anak piatu itu pintar dan cerdas sekali! Dalam kebingungannya, maka raja Roopm dapat suatu akal dan kemudian menyampaikan niatnya kepada permaisurinya, bahwa “Sebaiknya kita lamar saja anak piatu itu sebagai suami anak kita, supaya kita punya menantu yang pintar dan cerda. Lagi pula anak kita ini pun belum bersuami.” Begitu raja berbincang dengan permaisurinya.

Setelah berbicara begitu dengan permaisurinya, maka raja Roopm pun mulai mempersiapkan segala sesuatunya dan berangkat untuk menemui ibu tua dari anak laki yang sudah piatu itu.

Sesampainya di lamin ibu anak piatu itu, maka raja langsung menyampaikan maksud kedatangannya pada hari itu, dengan bercerita, “Kami berdua, saya dan isteri saya, datang menemui ibu di sini dengan maksud hati untuk melamar anak lelakimu menjadi suami anak gadis kami.”

Mendengar niat baik dan tulus dari raja Roopm demikian itu, maka ibu anak piatu menjawab, “Saya sangat berterima kasih atas kerelaan yang mulia. Saya hanya bisa menyerahkan kepada kalian, karena anak kami itu, walau ia tidak jelek parasnya, namun masih sangat muda usinya. Anak itu pemalas dan bodoh. Selebihnya, anak itu sudah piatu, karena ayahnya meninggalkan kami, ketika anak itu masih bayi. Lagi pula kami ini tidak punya apa-apa”.

Mendengar penuturan penyerahan dari ibu itu, maka raja Roopm berkata lagi, “Kami sangat senang dengan anak ibu, karena ia sangat pintar dan cerdas. Artinya hanya dengan sebatang rotan dia bisa membeli 2 ekor kerbau!”

Tidak beberapa lama kemudian setelah lamaran awal itu usai dilaksanakan, maka upacara pernikahan anak gadis raja Roopm dengan anak piatu diselenggarakan. Acara tersebut berlangsung dengan sangat meriah dan mewah. Seluruh sanak saudara diundang untuk ikut memberikan doa restu pada pernikahan anak raja Roopm.

Setelah acara yang sangat melelahkan itu selesai, maka mereka kembali ke rumah masing-masing. Tapi anak piatu itu bersama ibunya diminta raja Roopm untuk tetap tinggal bersama mereka di sebuah lamin yang raksasa besarnya dan juga banyak penghuninya.

Di sana mereka hidup bahagia sekali. Segala kebutuhan hidup mereka serba ada, seperti ayam, babi, kambing dan kerbau yang jumlahnya memang sangat besar. Setiap hari anak piatu pergi ke hutan untuk berburu, dan bermacam-macam binatang buruan ia didapatkannya. Dan ini semua adalah untuk kebutuhan hidup mereka sehari-hari.

Kehidupan mereka di lamin sangat bahagia dan rukun dan damai, tanpa ada permasalahan apa pun juga.

Pada suatu hari raja Roopm memberi uang kepada 8 menantunya masing-masing, termasuk menantunya yang anak piatu.

Kepada menantu yang pertama Raja Roopm memberi uang sebanyak Rp. 800,- menantu kedua Rp. 700,- menantu ketiga, Rp. 600,- menantu keempat Rp. 500,-; menantu kelima Rp. 400,-; menantu keenam Rp. 300,-; menantu ketujuh Rp. 200,-; dan terakhir menantu kedelapan (anak piatu) kebagian uang hanya sebesar Rp. 100,- saja. Itu sengaja Raja Roopm lakukan untuk menguji siapa di antara menantunya itu yang lebih pintar dan cerdas mengelola uang itu nantinya.

Keesokan harinya berangkatlah mereka ke negeri lain untuk belanja. Sesampainya mereka di kota, maka mereka langsung menuju ke tempat saudagar untuk belanja barang-barangnya masing-masing.

Tetapi lain dengan anak piatu. Ia tidak pergi berbelanja, melainkan dia berjalan di sekeliling rumah saudagarnya itu guna mengumpulkan kotoran ayam, kambing, kerbau dan lainnya untuk dijualnya dengan orang-orang lain di kota tersebut. Setelah kotoran itu terkumpul dan ditumpukannya satu persatu, lantas dijualnya dengan harga Rp. 100,- per tumpukan.

Tak lama kemudian datanglah seorang laki-laki yang hidupnya juga bertani dan bertanya kepada anak piatu itu, “Untuk apa kamu kumpulkan kotoran hewan itu?”

Lalu anak piatu itu menjawab, “Kenapa kalian tidak tahu, padahal anda sendiri adalah seorang petani yang menanam bermacm-macam jenis sayuran ataupun palawija di ladang-ladang kalian. Kotoran hewan ini gunanya adalah untuk pupuk tanaman kalian, agar tanaman kalian tumbuh subur dan berbuah banyak dan daun sayurannya akan menjadi lebar-lebar dan hijau.”

Mendengar demikian, maka orang-orang di kota itu mencoba praktekkan apa yang dikatakan anak piatu tadi. Semenara itu, sambil menunggu para pembeli lainnya, maka anak piatu itu terus mengumpulkan kotoran hewan yang ada di sekitar rumah saudagar itu. Para petani yang membeli dan mencoba memupuki tanaman mereka dengan kotoran hewan yang dibeli dari anak piatu itu, ternyata kembali lagi membeli pupuk kandang yang dijual anak piatu tersebut.

Mereka berkata kepada anak piatu itu, “Kamu benar, bahwa segala tanaman kami tumbuh dengan sangat subur, karena dipupuki dengan kotoran ternak tersebut. Sekarang kami mau membelinya lagi”.

Dengan demikian. maka para petani di kota itu beramai-ramai membeli kotoran hewan di tempat anak piatu yang hanya dengan harga Rp. 100,- per tumpukan. Kini telah beribu-ribu kalinya, modal awal si anak Piatu yang diberikan oleh mertuanya telah berlipatganda.

Saat itu juga para iparnya datang dan bertanya kepadanya, “Apakah kamu ikut pulang bersama kami?”

Lalu ia menjawab, “Aku belum bisa pulang, karena jualanku belum habis dibeli orang. Dia mempersilahkan para iparnya itu untuk pulang duluan membawa barang mereka. Ia titip pesan untuk disampaikan kepada isteri, mertua dan ibunya di lamin, bahwa ia belum bisa pulang, karena jualannya belum habis terjual.”

Setelah itu, maka pulanglah semua iparnya dengan perahu yang sangat, dan harus melalui perjalanan yang amat melelahkan.

Keesokan harinya, jualan anak piatu itu habis dibeli oleh orang-orang kota di sana. Anak piatu itu pun segera berbelanja dengan saudagarnya sebanyak-banyaknya. Ia juga membeli kapal yang besar guna membawa barangnya pulang ke kampung.

Setibanya di lamin mertuanya, maka segenap orang di lamin itu jadi heran melihat anak piatu yang pulang dengan membawa kapal besar yang berisikan barang yang sangat banyak. Padahal dari rumahnya, ia hanya membawa uang Rp. 100,- pemberian mertuanya yang sudah kaya raya itu. Anehnya, walau para iparnya yang lain diberikan uang yang cukup banyak, tapi hanya sedikit membawa pulang barang-barangnya.

Itu semua terjadi, karena anak piatu itu memang sangat cerdas dan hebat akalnya. Dengan hanya menjual kotoran hewan peliharaan sang saudagar itu sendiri, ia bisa membeli harta yang banyak. Namun anak piatu itu tetap rendah hati dan berpenampilan sederhana. Dia tidak berlagak sok jadi orang kaya baru (OKB).

Dengan usahanya itu, maka ia tinggal menikmati dan hidup bersama isterinya. Kehidupannya pun semakin bertambah bahagia. Harta kekayaan telah dimiliki seperti emas, intan dan permata, sehingga anak piatu dengan isteri serta ibunya bagaikan raja dan ratu di tengah-tengah keluarga besar lamin Raja Roopm.

Walau begitu, anak piatu, menantu yang satu ini, tetap saja bekerja di ladang dan berburu di hutan belantara.