Rabu, 16 Desember 2009

Cerita Rakyat Lokal Kutai Barat (1)

AJI DAN KILIP BERSAUDARA

Pada suatu waktu hiduplah dua bersaudara, yaitu Aji dan Kilip. Mereka hidup dengan kebisaaan berladang padi dan berburu binatang di hutan belantara. Kegiatan berburu dan menangkap binatang di hutan itu, bisaanya dilakuan dengan cara memasang jerat dan belantik di sela-sela waktu bekerja di ladang.

Wilayah atau areal hutan tempat berburu atau memasang belantik dan jerat tersebut, bisaanya cukup jauh dari pondok ladang, tempat tinggal mereka. Belantik dan jerat dipasang pada suatu jalur yang dikenal dengan nama otakng (jalur untuk memasang jerat). Dalam sebuah otakng atau jalur bisa berisi ratusan belantik dan atau jerat, sehingga kalau berhasil menangkap babi hutan, rusa, kijang dan binatang lainnya, maka mereka harus mengasapkan dagingnya agar tidak cepat busuk di hutan itu lalu dibawa secara bertahap ke pondok ladang kediamannya. Apabila hasil binatang yang diperoleh mencapai puluhan ekor, maka mereka harus tidur beberapa malam di hutan sampai daging-daging yang diperolehnya di situ benar-benar kering. Kemudian barulah diangkut pulang ke pondok ladangnya.

Pada suatu hari berangkatlah Aji dan Kilip ke hutan yang cukup jauh dari rumah untuk memasang jerat dan belantik. Mereka berdua lalu membuat otakng sambil memasang belantik dan jerat. Jumlah belantik dan jerat yang terpasang di sana cukup banyak sehingga mereka perlu empat hari dan empat malam untuk tinggal di hutan itu, dan setelah selesai, maka barulah mereka pulang ke pondok ladangnya.

Tiga hari kemudian, maka giliran Aji yang bertugas ketaq atau mendatangi kembali perangkap tadi guna memeriksa apakah ada binatang yang terjerat atau tertusuk mata sembilu bambu tajam belantik. Maka berangkatlah Aji seorang diri ke hutan belantara. Sebelum berangkat, maka Aji terlebih dahulu mengasah parang dan menyiapkan tombak; dan tak lupa membawa anjat/kiang (alat untuk mengangkut) daging binatang yang terkena jerat atau belantik.

Sesampainya di hutan, maka Aji mulai memeriksa satu persatu jerat dan belantik itu. Setelah semuanya diperiksa, ternyata ada delapan ekor babi hutan yang terkena jerat dan belantik itu. Aji lalu mengangkut babi hutan tersebut satu persatu ke pondok darurat yang dibuat sebagai tempat untuk mengasapi daging hasil tangkapannya. Setelah selesai mencincang daging babi hutan, lalu Aji memasang api untuk mengasapi daging babi hutan tersebut. Sebagian daging babi hutan itu digoreng oleh Aji, agar ia dapat membawa pulang lemak babi itu yang dapat digunakan sebagai minyak goreng.

Namun pada malam harinya, nasib sial pun menimpa Aji, karena malam itu ia didatangi oleh hantu yang bernama Wok Lemo Bawo. Wok Lemo Bawo adalah jenis hantu raksasa yang bisa memakan manusia atau binatang, dan anehnya hantu itupun bisa bicara layaknya manusia. Maka dapat dibayangkan bagaimana takutnya Aji di malam sunyi sepi tengah hutan belantara seorang diri. Ia menggigil ketakutan dan wajahnya pucat pasi, Wok Lemo Bawo mendekati pondok Aji dengan dengus nafas yang keluar dari hidungnya yang dengan jelas terdengar oleh Aji. Hantu itu mendengus-dengus ketika mencium bau babi hutan yang sudah diasapi. Hantu itu tampak sangat lapar dan segera ingin mencicipi potongan-potongan daging empuk di atas para.

Setibanya hantu itu di dekat Aji, maka ia membentak Aji “Aman koq takut, mengkikut, aman koq janiq ngenjijiq.” Artinya, “kalau kamu takut kamu diam, tetapi kalau kamu berani perlihatkan gigimu.”

Karena sudah sangat ketakutan melihat hantu Wok Lemo Bawo yang besar, tinggi dengan gigi yang besar-besar, bola mata yang besar, dan dengus napas yang menakutkan, maka Aji pun meringkuk dan memeluk lututnya di sudut pondoknya. Begitu melihat Aji hanya diam, maka Wok Lemo Bawo memakan semua babi hutan yang disalai dan yang sudah digoreng oleh Aji. Wok Lemo Bawo memakan semua daging mulai dari daging yang diasapi di atas para-para dan juga daging yang masih panas karena baru saja digoreng oleh Aji. Semuanya habis tanpa ada tersisa sedikitpun. Ludes!

Setelah selesai makan, Wok Lemo Bawo pergi dengan perut besar karena kekenyangan, dan tinggalah Aji seorang diri yang duduk sedih memikirkan nasibnya yang sial, karena harus pulang tidak membawa apapun. Akan tetapi tak ada jalan lain bagi Aji selain pulang saja ke pondok ladang, meski dengan tangan hampa. Berkemaslah Aji dengan membawa serta perlengkapannya, seperti panci, tombak dan kiangnya yang kosong.

Sesampainya di pondok ladang, maka Kilip terheran-heran melihat Aji pulang dengan tidak membawa apa-apa. Padahal mereka berdua mempunyai ratusan jerat dan belantik. Jadi mustahil tidak satupun binatang yang terkena.

“Lho, kenapa kamu pulang tidak membawa apa-apa, apakah jerat dan belantik kita tidak satupun yang kena ?” Tanya Kilip.

“Ya, kita memang dapat delapan ekor babi hutan, tetapi malam tadi ada Wok Lemo Bawo datang dan memakan semuanya baik yang sudah diasapi maupun yang sudah digoreng, sehingga saya tidak bisa bawa apa-apa,” jawab Aji dengan kesal.

Lalu Aji menceritakan semua peristiwa yang menimpanya kepada Kilip. Kilip mencoba menghibur Aji yang sedang bersedih, “Yah, tidak apa-apalah, itu bukan salahmu, nanti tiga hari kemudian, biarlah saya yang berangkat dan berhadapan dengan Wok Lemo Bawo itu”, kata Kilip menghibur Aji.

Tiga hari telah berlalu, maka tibalah giliran Kilip ke hutan untuk memeriksa belantik dan jerat yang mereka pasang. Setelah selesai berkemas untuk berangkat, maka berangkatlah Kilip dengan tidak lupa membawa beberapa genggam racun sumpit yang belum dipasang pada anak sumpit. Setelah dicek dari beberapa otakng yang ada ternyata Kilip memperoleh sepuluh ekor babi hutan, lebih banyak dari yang diperoleh Aji sebelumnya. Kilip lalu mengangkut satu per satu sepuluh ekor babi hutan itu. Setelah babi itu semua terkumpul, mulailah Kilip memotong satu persatu babi hutan itu. Begitu selesai memotong-motong kemudian Kilip menyalakan api untuk mengasapi dan menggoreng daging babi hutan yang berlemak dan enak itu.

Titik api Kilip berasal dari suatu alat penyulut api yang khas dan unik. Sebuah bungkahan batu sebesar ibu jari kaki dari jenis tertentu yang diambil dari sungai dan sepotong besi baja dengan lebar sekitar 2-3 sentimeter dan panjang sekitar 5 sentimeter dan sejenis serabut halus dari jenis phalma tertentu, lantas batu dan besi digesekkan satu sama lain sehingga keluar titik-titik api yang membakar serabut aren kering tadi hingga terjadilah nyala api yang cukup besar. Dari nyala api tadi dibuatkan api unggun dengan bahan bakar kayu kering yang telah dipersiapkan oleh Kilip. Susana di sekitar pondok Kilip tampak terang-benderang. Bau daging babi yang digoreng dan yang disalai seakan-akan menyebar ke seluruh rimba belantara sekitar pondok itu. Aroma ini tentunya akan mengundang selera siapa saja yang mencium baunya. Sambil menjaga daging perolehannya, Kilip mengatur api dan membalik-balik daging asap serta daging yang sedang digorengnya, dan kebetulan pula di hutan belantara itu sangat dingin bila menjelang malam. Maka api yang dipasangnya itu sekaligus sebagai pengusir dingin malam menyengat hingga ke sum-sum tulang.

Tiada terasa malampun semakin larut, Kilip belum mau memejamkan matanya sedikitpun, ia sadar bahwa hutan belantara itu penuh dengan segala marabahaya baik dari binatang, ular, singa, beruang sampai segala macam hantu. Maka Kilip yang memang sudah berpengalaman di hutan senantiasa berjaga-jaga dan waspada.

Namun angin dingin malam sepoi-sepoi itu membawa aroma daging babi tambun yang sedang digoreng dan diasapi ke segala sudut hutan di sekitarnya. Wok Lemo Bawo pun mencium aroma daging babi hutan tersebut. Lalu keluarlah Wok Lemo Bawo dari tempat kediamannya untuk mencari sumber bau daging yang membuat air ludahnya hampir keluar. Maka dengan mudah ia menemukan Kilip yang sedang menjaga dan menggoreng daging babi hutan. Wok Lemo Bawo melihat Kilip menjaga daging-daging yang diperolehnya. Lalu ia berkata persis sama seperti yang pernah ia ucapkan pada Aji.

Kilip yang sudah siap dan mendengar apa yang dikatakan oleh Wok Lemo Bawo itupun tidak mau tinggal diam. Ia bangkit untuk bersiap-siap mempertahankan daging-daging yang ia dapat dengan susah payah. Kilip siap untuk melawan karena ia marah dengan apa yang telah dilakukan oleh Wok Lemo Bawo terhadap Aji pada hari sebelumnya.

“Aman koq janiq, ko ngenjijiq, aman ko takut ko mengkikut,” bentak hantu itu. Kilip lalu ngenjijiq, memperlihatkan gigi-giginya yang hitam bekas makan sirih. Ternyata Wok Lemo Bawo begitu melihat gigi Kilip yang hitam itu, lalu tidak meneruskan ancamannya.

“Gigimu kok bagus betul, bagaimana caramu membuat gigimu sebagus itu ?”, tanya Wok Lemo Bawo kepada Kilip.

“Kalau kamu mau, saya bisa membuat gigimu hitam seperti gigi saya.” Jawab Kilip.

“Ya, saya mau, tapi bagaimana caranya ?” tanya Wok Lemo Bawo lagi. “Kemarilah kamu berbaring di sini, dan saya menggosok gigimu itu dengan arang ini, barulah gigimu sebagus gigi saya,” kata Kilip mengelabui hantu itu.

Lalu hantu itu menuruti saja perintah Kilip, maka Kilip menggosok-gosokan racun sumpit yang memang mirip arang itu digigi Wok Lemo Bawo itu. Namun beberapa menit kemudian Wok Lemo Bawo mengatakan bahwa kepalanya pusing, maka ia lalu permisi minta pulang. Ia pulang dengan langkah yang terhuyung-huyung karena mabuk racun sumpit yang digosokkan pada giginya. Tidak jauh dari pondok itu, ia lalu muntah-muntah dan tidak lama setelah itu lalu rebah dan matilah Wok Lemo Bawo!

Akan tetapi ada suatu keanehan yang terjadi ternyata dari muntahan Wok Lemo Bawo itu timbulah berbagai macam tumbuhan buah-buahan. Juga dari muntahan itu tumbuh pula padi, terong, bayam dan segala jenis palawija lainnya, yang akhirnya lalu tumbuh sampai sekarang ini.

Demikianlah Kilip esok paginya pulang ke rumah dengan mengangkut semua babi yang digoreng dan disalai itu. Dan tak lupa ia meminta bantuan Aji untuk membantu mengangkat daging-daging itu untuk dibawa pulang ke pondok ladang mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.