Kamis, 01 April 2010

Beberapa Kasus Perkawinan Dalam Hukum Adat Dayak Tonyoi

BEBERAPA KASUS HUKUM ADAT PERKAWINAN
Sarak (Bercerai)
Rumah tangga yang sudah dibina dengan baik sekalipun tidaklah merupakan suatu jaminan bahwa rumah tangga itu lestari selamanya. Karena beragaman perbedaan dalam prinsip, kepribadian, pandangan hidup, sikap, perilaku, perbuatan, etika, moral, spiritua;, keadaan ekonomi dan sebagainya, bisa saja menyebabkan terjadinya perceraian, atau sarak dalam bahasa Tonyooi. Setiap masalah yang terjadi dalam rumah tangga, memang tentunya selalu diupayakan pemecahannya, agar tidak terjadi perceraian. Namun, apabila tidak ada kecocokan lagi yang sangat berat, maka perceraian tidak bisa dihindari.
Proses Penyelesaian Kasus Perceraian
Pihak yang diceraikan melaporkan kasusnya kepada Kepala Adat, dengan menyerahkan penenukng-penyingkap dan pembuang paneer. Kemudian pihak Dewan Adat kampung memanggil suami-istri yang berselisih tersebut dan menanyakan apa yang menjadi akar masalahnya sehingga hendak bercerai. Setelah mendengar keterangan dari kedua belah pihak, maka akhirnya dewan adat tersebut bermusyawarah untuk menilai apakah kasus yang terjadi tersebut melanggar norma-norma adat dan hukum adat perkawinan yang berlaku dalam masyarakat adat Tonyooi.
Setiap masalah  atau pertengkaran antara suami-istri dalam rumah tangganya, yang mengarah kepada keinginan untuk bercerai, oleh Kepala Adat selalu diupayakan secara maksimal, agar bisa bersatu kembali dalam rumah tangga yang bersangkutan. Namun, apabila upaya yang dilakukan oleh Kepala Adat tersebut berikut pihak keluarga besarnya tetap menemui jalan buntu, maka perceraian bisa saja disetujui dan sah berdasarkan hukum adat. Jadi tidak ada ikatan, perjanjian atau kontrak perkawinan yang bersifat mutlak tak terputusakan atau tak terceraikan dalam hukum adat perkawinan Tonyooi. Tidak seperti halnya ikatan perkawinan menurut Ajaran Gereja Katolik Roma, yang bersifat mutlak tak terputusakan!
Ketentuan Denda Adat Perceraian Tonyooi
Jika perceraian yang idealnya tak pernah diinginkan antara suami-isteri mana pun,  namun toh terjadi juga, maka ketentuan denda adatnya adalah sebagai berikut ini. 
1. Apabila suami-istri yang berselisih dan hendak bercerai, sementara urusannya telah diserahkan ke Dewan Adat. Lalu kemudian setelah diurus oleh Dewan Adat, ternyata suami-isteri tersebut mau rujuk kembali, maka untuk menentukan denda adat harus melihat kasusnya terlebih dahulu, barulah kepala adat dan anggotanya bermusyawarah untuk menentukan denda adat. Apabila masalahnya dianggap sangat melanggar norma adat yang berlaku, maka denda adatnya bisa berupa bemakng paliq dan ditambah dengan dua buah antaakng.
2. Jika keinginan bercerai dari salah satu pihak dengan alasan mau kawin lagi atau tidak cocok dengan pihak keluarga besar  pasangannya (suami atau isteri), maka denda adatnya adalah mencapai satu sampai dengan lima buah antaakng, dan  ditambah dengan catrekah, batun ruratn nikah, bemakng paliq.
 Adapun harta gono-gini dibagi dengan perhitungan persentase. Apabila dalam proses perceraian terjadi perebutan harta benda tersebut, dan penyelesaiannya tidak dapat dilakukan secara kekeluargaan, maka kasus ini harus diserahkan kepada Kepala Adat. Jika masalah ini ditangani oleh Dewan Adat, maka ketentuan adatnya adalah sebagai berikut di bawah ini.

Kententuan Pembagian Harta Benda dalam Perceraian
Ketentuan adat tentang pembagian harta benda dalam kasus perceraian dapat diterangkan sebagai berikut di bawah ini.
(1) Retaaq rempuk (harta bersama), yaitu harta benda yang diperoleh secara bersama-sama oleh suami-istri selama berumah tangga. Apabila terjadi perceraian, maka harta benda ini harus dibagi atas dasar kesepakatan bersama.
(2) Retaaq mento, yaitu harta benda yang diperoleh suami-istri semasa belum menikah, misalnya harta warisan dari orang tua perempuan atau orang tua laki-laki. Apabila terjadi perceraian, maka pembagiannya adalah sebagai berikut: (a) harta benda tersebut tetap menjadi milik laki-laki (suami), apabila harta itu didapatkan sebelum menikah atau warisan dari orang tuanya; dan (b) harta benda itu tetap menjadi milik perempuan (isteri), apabila barang atau harta itu didapatkan sebelum menikah atau warisan dari orang tuanya.
(3)  Jika terjadi perebutan harta warisan antara anak-anak yang masih bersaudara kandung, maka ketentuannya adalah sebagai berikut:  (a) anak laki-laki berhak atas harta warisan (retaaq mento) ayahnya;  dan apabila tidak mempunyai anak laki-laki, maka warisan ini dikembalikan kepada keluarganya yang laki-laki; dan  (b) anak perempuan berhak atas harta warisan (retaaq mento) ibunya, dan apabila tidak mempunyai anak perempuan, maka warisan ini dikembalikan kepada keluarga yang perempuan.

Perceraian Atas Kemauan Bersama
Sumber : Buku Komperasi Adat Tonyoi Benuaq, CERD-BAPEDA KUTAI BARAT (2007)