Jumat, 05 Februari 2010

KISAH TUHIIQ PEHATUQ

PADA zaman dahulu hiduplah dua orang yang sehari-harinya sangat sederhana, bahkan bisa dibilang sangat memprihatinkan. Dua insan itu adalah seorang ibu dengan satu orang anak lelakinya. Bapaknya sudah lama meninggal, sehingga anaknya itu disebut anak piatu (tuhiiq pahatuuq). Ibu dan anaknya ini tinggal dalam lamin besar peninggalan bapaknya.

Pada suatu hari, anak itu melihat ada tunas rotan yang tumbuh di samping laminnya. Maka dengan senang hati pula, anak itu rajin memelihara dan membersihkan tunas rotan tersebut. Setiap hari anak itu merawat tunas rotan tersebut.

Dengan pemeliharannya yang baik, maka rotan itu segera tumbuh subur dan besar serta batangnya yang semakin memanjang seperti tali layang-layang dan menjulur ke segala pohon kayu di sekitarnya.

Alkisah pada suatu hari tiba-tiba ada seorang gadis yang sangat cantik datang ke tempat anak piatu itu dan bertanya, “Untuk apa kamu pelihara tumbuhan rotan ini?”

Lalu dijawabnya, “Tidak untuk apa-apa! Tapi kelak siapa tahu rotan itu bisa digunakan untuk ikatan rumahku yang sudah reot dan keropos ini.”

Tetapi gadis itu tidak percaya dengan apa yang telah dikatakan oleh anak piatu itu. Akhirnya, karena didesak terus oleh gadis itu, maka terpaksa anak piatu berterus terang kepada gadis tersebut dengan berkata.

“Apabila rotan ini sudah tua dan berbuah, maka buahnya yang sudah tua bisa saya tanam lagi di tempat lain. Setelah rotan ini nanti besar, saya akan mengambil rotan ini dan saya potong menjadi 8 potongan. Yang satu potong itu diolah menjadi 8 buah tali ikat pinggang mandau seperti yang saya pakai ini. Lantas, ke-8 tali itu ikat pinggang mandau itu nanti, saya tukar dengan anak ayam milik kalian sebanyak 8 ekor. Setelah ayam itu nanti dewasa dan beranak pinak, maka saya tukar lagi dengan dengan babi kalian. Nanti, jika babi itu beranak pinak, maka saya tukar lagi dengan 2 ekor kambing kalian, yaitu 1 ekor kambing jantan dan satu ekor betina. Apabila kambing itu sudah beranak pinak, maka saya tukarkan lagi dengan 2 ekor kerbau kalian, yang satu jantan dan yang satu lagi betina. Setelah semua itu terwujud nantinya, maka saya tidak akan minta apa-apa lagi dari kalian.”

Setelah dengar penjelasan anak piatu itu, maka dengan segera gadis itu pulang ke lamin mereka sendiri. Anak gadis itu adalah anak dari Raja Roopm.

Setelah sampai di laminnya, maka ia menceritakan kepada raja yang adalah bapaknya sendiri mengenai maksud anak piatu yang memelihara rotan di laminnya di sana.

Anak gadis itu bercerita kepada Sang Raja, “Dengan sebatang rotan itu, anak lelaki itu bisa menganyam 8 tali ikat pinggang mandau, kemudian membeli 8 ekor ayam, selanjutnya 2 ekor babi, dan 2 ekor kambing dan akhirnya 2 ekor kerbau”.

Mendengar cerita anak puterinya yang demikian itu, maka Raja Roopm jadi bingung, karena anak piatu itu pintar dan cerdas sekali! Dalam kebingungannya, maka raja Roopm dapat suatu akal dan kemudian menyampaikan niatnya kepada permaisurinya, bahwa “Sebaiknya kita lamar saja anak piatu itu sebagai suami anak kita, supaya kita punya menantu yang pintar dan cerda. Lagi pula anak kita ini pun belum bersuami.” Begitu raja berbincang dengan permaisurinya.

Setelah berbicara begitu dengan permaisurinya, maka raja Roopm pun mulai mempersiapkan segala sesuatunya dan berangkat untuk menemui ibu tua dari anak laki yang sudah piatu itu.

Sesampainya di lamin ibu anak piatu itu, maka raja langsung menyampaikan maksud kedatangannya pada hari itu, dengan bercerita, “Kami berdua, saya dan isteri saya, datang menemui ibu di sini dengan maksud hati untuk melamar anak lelakimu menjadi suami anak gadis kami.”

Mendengar niat baik dan tulus dari raja Roopm demikian itu, maka ibu anak piatu menjawab, “Saya sangat berterima kasih atas kerelaan yang mulia. Saya hanya bisa menyerahkan kepada kalian, karena anak kami itu, walau ia tidak jelek parasnya, namun masih sangat muda usinya. Anak itu pemalas dan bodoh. Selebihnya, anak itu sudah piatu, karena ayahnya meninggalkan kami, ketika anak itu masih bayi. Lagi pula kami ini tidak punya apa-apa”.

Mendengar penuturan penyerahan dari ibu itu, maka raja Roopm berkata lagi, “Kami sangat senang dengan anak ibu, karena ia sangat pintar dan cerdas. Artinya hanya dengan sebatang rotan dia bisa membeli 2 ekor kerbau!”

Tidak beberapa lama kemudian setelah lamaran awal itu usai dilaksanakan, maka upacara pernikahan anak gadis raja Roopm dengan anak piatu diselenggarakan. Acara tersebut berlangsung dengan sangat meriah dan mewah. Seluruh sanak saudara diundang untuk ikut memberikan doa restu pada pernikahan anak raja Roopm.

Setelah acara yang sangat melelahkan itu selesai, maka mereka kembali ke rumah masing-masing. Tapi anak piatu itu bersama ibunya diminta raja Roopm untuk tetap tinggal bersama mereka di sebuah lamin yang raksasa besarnya dan juga banyak penghuninya.

Di sana mereka hidup bahagia sekali. Segala kebutuhan hidup mereka serba ada, seperti ayam, babi, kambing dan kerbau yang jumlahnya memang sangat besar. Setiap hari anak piatu pergi ke hutan untuk berburu, dan bermacam-macam binatang buruan ia didapatkannya. Dan ini semua adalah untuk kebutuhan hidup mereka sehari-hari.

Kehidupan mereka di lamin sangat bahagia dan rukun dan damai, tanpa ada permasalahan apa pun juga.

Pada suatu hari raja Roopm memberi uang kepada 8 menantunya masing-masing, termasuk menantunya yang anak piatu.

Kepada menantu yang pertama Raja Roopm memberi uang sebanyak Rp. 800,- menantu kedua Rp. 700,- menantu ketiga, Rp. 600,- menantu keempat Rp. 500,-; menantu kelima Rp. 400,-; menantu keenam Rp. 300,-; menantu ketujuh Rp. 200,-; dan terakhir menantu kedelapan (anak piatu) kebagian uang hanya sebesar Rp. 100,- saja. Itu sengaja Raja Roopm lakukan untuk menguji siapa di antara menantunya itu yang lebih pintar dan cerdas mengelola uang itu nantinya.

Keesokan harinya berangkatlah mereka ke negeri lain untuk belanja. Sesampainya mereka di kota, maka mereka langsung menuju ke tempat saudagar untuk belanja barang-barangnya masing-masing.

Tetapi lain dengan anak piatu. Ia tidak pergi berbelanja, melainkan dia berjalan di sekeliling rumah saudagarnya itu guna mengumpulkan kotoran ayam, kambing, kerbau dan lainnya untuk dijualnya dengan orang-orang lain di kota tersebut. Setelah kotoran itu terkumpul dan ditumpukannya satu persatu, lantas dijualnya dengan harga Rp. 100,- per tumpukan.

Tak lama kemudian datanglah seorang laki-laki yang hidupnya juga bertani dan bertanya kepada anak piatu itu, “Untuk apa kamu kumpulkan kotoran hewan itu?”

Lalu anak piatu itu menjawab, “Kenapa kalian tidak tahu, padahal anda sendiri adalah seorang petani yang menanam bermacm-macam jenis sayuran ataupun palawija di ladang-ladang kalian. Kotoran hewan ini gunanya adalah untuk pupuk tanaman kalian, agar tanaman kalian tumbuh subur dan berbuah banyak dan daun sayurannya akan menjadi lebar-lebar dan hijau.”

Mendengar demikian, maka orang-orang di kota itu mencoba praktekkan apa yang dikatakan anak piatu tadi. Semenara itu, sambil menunggu para pembeli lainnya, maka anak piatu itu terus mengumpulkan kotoran hewan yang ada di sekitar rumah saudagar itu. Para petani yang membeli dan mencoba memupuki tanaman mereka dengan kotoran hewan yang dibeli dari anak piatu itu, ternyata kembali lagi membeli pupuk kandang yang dijual anak piatu tersebut.

Mereka berkata kepada anak piatu itu, “Kamu benar, bahwa segala tanaman kami tumbuh dengan sangat subur, karena dipupuki dengan kotoran ternak tersebut. Sekarang kami mau membelinya lagi”.

Dengan demikian. maka para petani di kota itu beramai-ramai membeli kotoran hewan di tempat anak piatu yang hanya dengan harga Rp. 100,- per tumpukan. Kini telah beribu-ribu kalinya, modal awal si anak Piatu yang diberikan oleh mertuanya telah berlipatganda.

Saat itu juga para iparnya datang dan bertanya kepadanya, “Apakah kamu ikut pulang bersama kami?”

Lalu ia menjawab, “Aku belum bisa pulang, karena jualanku belum habis dibeli orang. Dia mempersilahkan para iparnya itu untuk pulang duluan membawa barang mereka. Ia titip pesan untuk disampaikan kepada isteri, mertua dan ibunya di lamin, bahwa ia belum bisa pulang, karena jualannya belum habis terjual.”

Setelah itu, maka pulanglah semua iparnya dengan perahu yang sangat, dan harus melalui perjalanan yang amat melelahkan.

Keesokan harinya, jualan anak piatu itu habis dibeli oleh orang-orang kota di sana. Anak piatu itu pun segera berbelanja dengan saudagarnya sebanyak-banyaknya. Ia juga membeli kapal yang besar guna membawa barangnya pulang ke kampung.

Setibanya di lamin mertuanya, maka segenap orang di lamin itu jadi heran melihat anak piatu yang pulang dengan membawa kapal besar yang berisikan barang yang sangat banyak. Padahal dari rumahnya, ia hanya membawa uang Rp. 100,- pemberian mertuanya yang sudah kaya raya itu. Anehnya, walau para iparnya yang lain diberikan uang yang cukup banyak, tapi hanya sedikit membawa pulang barang-barangnya.

Itu semua terjadi, karena anak piatu itu memang sangat cerdas dan hebat akalnya. Dengan hanya menjual kotoran hewan peliharaan sang saudagar itu sendiri, ia bisa membeli harta yang banyak. Namun anak piatu itu tetap rendah hati dan berpenampilan sederhana. Dia tidak berlagak sok jadi orang kaya baru (OKB).

Dengan usahanya itu, maka ia tinggal menikmati dan hidup bersama isterinya. Kehidupannya pun semakin bertambah bahagia. Harta kekayaan telah dimiliki seperti emas, intan dan permata, sehingga anak piatu dengan isteri serta ibunya bagaikan raja dan ratu di tengah-tengah keluarga besar lamin Raja Roopm.

Walau begitu, anak piatu, menantu yang satu ini, tetap saja bekerja di ladang dan berburu di hutan belantara.