Selasa, 09 Februari 2010

Nenek Gerasiq Pemakan Manusia

ALKISAH pada jaman dahulu, Tiaq Pelulaq bersaudara sering kali dimarahi ibu mereka, karena keseharian mereka hanya main gasing saja. Ketika kesabaran ibunya telah habis, maka Tiaq Pelulaq dua bersaudara itu diusir oleh ibu mereka.
Lantas keduanya berniat lari dari rumah. Keduanya masuk hutan dengan maksud menemukan siapa saja yang sudi dan iba untuk menampung mereka berdua, maka di situlah mereka tinggal.
Sebelum mereka bertemu dengan orang yang mau menampung mereka, maka mereka masih tetap hidup seadanya dalam hutan. Karena telah lama hidup di dalam hutan, maka  mereka akhirnya menemukan jejak babi-babi yang tampaknya sangat besar.
Tiaaq Pelulaq yang tua bertanya kepada adiknya, “Dek …bagaimana caranya kita dua dapat menangkap babi-babi  yang ada jejak-jejaknya ini? Yang adik menjawab, “Oh … begini saja Kak, kita pasang saja jerat di jejak babi itu di sini, dan nanti kalau kembali, maka ia pasti melewati jalannya yang ini juga, karenanya pasti babi itu terperangkap jerat kita ini”.
Si kakak menjawab, “baiklah Dek, kita pasang jeratnya sekarang juga!”.
Keduanya pasang jerat babi di situ hingga rampung dengan sempurna.
Keesokan harinya, mereka berdua pergi ke tempat mereka pasang jerat yang kemarin itu, ternyata jerat itu memang menangkap babi hutan yang mereka inginkan.
Si Adik berkata, “Nah … syukurlah bahwa  jerat kita menangkap babi tersebut. Lantas mereka berdua membawa bangkai babi itu ke pondok darurat mereka di dalam hutan belantara.
Tetapi sungguhpun mereka sudah sampai di pondoknya, namun mereka tidak ada api. Lalu Si kakak bertanya kepada adiknya, “bagaimana caranya kita mencari api, agar kita dapat memasak babi ini, nanti daging babi akan busuk, kalau tidak dimasak secepatnya”.
Si Adik berkata, “Oh. .. begini saja kak, saya ada akal, yaitu saya akan  panjat pohon kayu yang tinggi guna melihat di mana ada asap api, lantas ke sanalah kita tuju untuk minta apinya”.
Si kakak menjawab, “ya, setuju!”
Lantas si Adik memanjat pohon kayu, dan setelah sampai di puncak pohon itu, memang terlihat ada asap api kecil, hanya sebesar seruling bambu saja. Asap api itu menjulang menembus hutan belukar nun juah di sana. Si Adik melihat asap api itu dan berkata dalam hatinya, “Oh ... tampaknya memang ada rumah orang di situ”.
Si Adik turun dari atas pohon itu, katanya,  “saya melihat ada asap api kecil yang jauh ke arah sana, maka sekarang juga kita berjalan menuju ke sana”.  
Sebelum berangkat, maka mereka berdua mengambil kulit kayu kering dan diikat dengan rotan guna dapat dengan gampang menyulut api yang orang itu berikan kepada kita nanti.
  Berangkatlah mereka berdua ke arah rumah yang empunya api tersebut. Setibanya di rumah orang yang ada api tersebut, mereka berdua bertanya, “apakah rumah ini ada  orangnya?”.
Namun, tidak ada jawaban dari dalam rumah itu. Lantas mereka berdua naik saja rumah itu dan masuk untuk mengambil api di dapur, dan pulang kembali membawa api tersebut.
Setibanya di pondok mereka, maka berdua persiapkan babi tadi untuk dimasak dan selanjutnya dimakan. Diambilnya tulang rusuk babi itu yang sebelah kanan lantas dibakarnya dalam api. Setelah daging itu masak, lalu daging itu disimpan di bawah lantai gubuknya itu dan sebagiannya lagi disalai di atas para api.
 Sepulangnya Tiaq Pelulaq bersaudara tadi, maka yang empunya rumah yang punya api tadi datang dari sungai karena ia mandi. Diperiksanya alat-alat di dalam rumahnya itu, dan semuanya masih utuh, kecuali asap apinya yang kurang atau hilang! Lantas, orang itu berkata dalam hatinya, “Oh …, jangan-jangan ada orang yang curi api saya ini”
Yang punya rumah itu, lantas mengambil tongkat pusakanya yang ajaib itu. Lantas ia berkata kepada tongkat itu, “kamu tunjukkan arah di mana orang yang ambil api saya ini, kamu tunjukkan arahnya, supaya saya bisa tuntut siapa yang ambil api saya itu agar kembalikan nyala dan asapnya seperti sediakala!”.
Kemudian orang itu, membawa turun tongkat pusaka itu di tanah dan didirikannya di situ dan berkata kepada tongkat itu, “ke mana arah kamu rebah, maka ke sana saya akan menyusul orang yang mencuri api saya itu”.
Memang tongkat itu rebah ke arah pondok, di mana Tiaq Pelulaq bersaudara itu tinggal di hutan sana.
Orang yang punya api ini bernama Tak Gerasiq. Ia seorang nenek tua. Lantas dengan segera Tak Gerasiq menyusul orang yang curi apinya itu sesuai dengan arah rebah tongkat ajaibnya itu. Memang tidak salah lagi, akhirnya sampailah nenek tua itu di pondok Tiaq Pelulaq berdua itu.
Nenek Gerasiq berkata, “Oo, kamu berdua yang curi api di rumah saya, ketika saya sedang mandi ke sungai. Setelah saya kembali dari sungai, lantas saya hitung asap api saya ternyata berkurang, dan nyala pun berkurang. Oleh karena itu, saya ambil habis daging babi kalian ini, kalau tidak boleh, maka saya ambil kalian berdua saja sebagai ganti rugi atas api yang kalian curi itu”.
Tiaq Pelulaq berkata, “jangan ambil kami berdua Nek, tapi ambil saja semua daging babi di situ”.
Lantas nenek itu mengambil habis daging babi salai di atas para di situ dan dibawanya pulang ke rumahnya.
Setelah Nenak tua itu pulang, Tiaq Pelulaq berkata satu sama lain, “Untung masih ada sisa daging babi bakar, yang kita simpan di bawah lantai gubuk kita berdua ini, dan memang hanya itu saja yang masih tersisa”.
Lantas Tiaq Pelulaq berdua berpikir, “bagaimana caranya kita menghadapi Tak Garasiq yang serakah itu?”
Lantas Tiaq Pelulaq bersaudara berdiskusi, “Daging babi kita ini telah habis diambil Tak Gerasiiq, lalu apa yang kita makan nanti sore dan malam nanti. Kita dua harus mencari akal supaya Tak Gerasiq yang serakah itu tidak berani lagi mengganggu kita berdua, dan juga supaya daging-daging kita tadi bisa kembali lagi dengan kita berdua. Bagaimana ya … akal kita melawan Tak Gerasiq itu.”
Si Adik berbicara, “begini ada akalnya,  kita pergi bertamu ke rumah Tak Gerasiiq, dan kita tanya apa saja hantu-hantu yang ditakutinya?”
Kemudian Tiaaq Pelulaq bersaudara itu bertamu ke rumah Tak Gerasiiq. Setibanya di rumah Tak Gerasiiq, maka keduanya bertanya, “hantu-hantu apa saja yang paling Nenek takuti?”
Tak Gerasiq menjawab, “saya tidak takut hantu apa saja yang datang ke rumah saya ini. Saya tidak takut hantu, karena  hantu yang datang ke sini itu semuanya kawan-kawan akrab saya”.
Lalu Tiaq Pelulaq berkata lagi, “apakah nenek tidak takut dengan hantu yang satunya lagi, Nek?”
Si Nenek berkata, “Coba bagaimana suara hantu itu?”
Tiaaq Pelulaq menjawab, “Begini suaranya Nek, dia nyanyi-nyanyi dari kejauhan yang sedang berjalan menuju ke rumah Nenek ini.  Suaranya  begini Nek …,  
Tin-tin toit-toit makan mata Tak Gerasiq,
Tin-tin toit-toit makan hati Tak Gerasiq!
Hantu itu tubuhnya sangat besar tubuhnya. Tubuhnya sebesar rumah Nenek ini.
Tak Gerasiq menjawab, “Oh … kalau begitu hantunya, maka tentu takut, karena hantu itu akan ambil mata dan hati saya untuk dimakan. Kalau hantu itu ambil hati dan mata saya untuk dimakannya, maka saya akan mati”.
Kemudian Tak Garasiq bertanya kepada Tiaq Pelulaq berdua, “Jadi bagaimana caranya kalau ada hantu itu datang?”
Tiaq Pelulaq menjawab, “Cara begini Nek. Kalau hantu itu datang, maka Nenek lemparkan saja daging-daging babi hingga habis ke arah hantu itu bersuara. Kalau suaranya masih ada juga, maka bawakan saja minyak babi dengan tempatnya, berikut kulit babi yang digoreng itu ke tanah sana. Dan jika suara hantu tidak mau berhenti juga, maka Nenek ambil tombak yang tajam-tajam dan tancap tangkainya di tanah dengan mata pisaunya menghadap ke atas. Tancaplah tombak itu banyak-banyak di tanah. Setelah itu, Nenek ambil tikar dan bungkuskan badan Nenek dengan tikar itu, lalu terjun ke arah mata-mata tombak tersebut. Setelah itu, maka hantu itu pasti lari dan tidak berani lagi mengganggu Nenek di rumah ini”.
Setelah menjelaskan itu semuanya kepada Nenek Gerasiq, maka Tiaq Pelulaq berdua permisi pura-pura pulang ke pondoknya di hutan sana. Waktu itu telah menjelang malam.
Ketika sudah malam, Tiaq Pelulaq dari hutan di sekitar rumah Tak Gerasiiq mulai menyanyikan nyanyian yang diberitahukan keduanya tadi dari kejauhan menuju rumah Tak Gerasiq. Tak Gerasiq sudah mendengar nyanyian sejak masih jauh hingga mendekat ke rumahnya.  
Untuk itu, seperti yang dikatakan oleh Tiaq Pelulaq, maka Tak Gerasiq ambil semua daging babinya dan dilemparkannya ke arah suara itu di semak-semak. Tetapi Tiaq Pelulaq terus menyanyikan nyanyian tadi, maka Tak Gerasiq pun mengantarkan semua minyak babi berikut gorengan kulit babinya ke arah hantu tersebut bernyanyi dari dalam hutan di sana.
Akan tetapi Tiaq Pelulaq terus menyanyi, sampai akhirnya Tak Gerasiq ambil tombak-tombaknya yang tajam-tajan dan ditancapkannya di tanah seperti petunjuk Tiaq Pelulaq kemarin siang kepadanya. Lantas Tak Gerasiq ambil tikar dan membungkus tubuhnya di dalam tikar itu dan jatuhkan dirinya di atas mata-mata tombak di tanah tersebut. Dengan demikian, Tak Gerasiq mati tertusuk tombak yang dipasangnya sendiri.
Keesokan harinya, Tiaq Pelulaq berdua berhenti menyanyi, dan pada pagi harinya Tiaq Pelulaq kuburkan mayat Tak Gerasiq. Setelah selesai dikuburkan, maka Tiaq Pelulaq berdua itu mengumpukan kembali daging babi dan wadah-wadah lemak babinya. Semuanya  dibawa kembali ke dalam rumah Tak Gerasiq yang sudah mati itu. Lantas Tiaq Pelulaq melihat harta Tak Gerasiq di dalam rumahnya itu. Ternyata cukup banyak hartanya.
Kemudian Tiaq Pelulaq melihat wadah dari kulit kayu besar, ternyata ada banyak anak banyak laki dan perempuan, tetapi  semuanya cacat yang bermacam-macam. Ada yang cacatnya tidak ada paha sebelah, tangan yang telah diambil sedikit dagingnya untuk dimakan sendiri oleh Tak Gerasiq. Dan sebagian lagi ada yang masih utuh badannya, kiranya di simpan sebagai cadangannya yang suatu waktu bisa diambil Tak Gerasiq menjadi lauknya.
Tiaq Pelulaq bersaudara itu memelihara semua anak-anak yang malang itu dengan penuh kasih sayang! Ada pula anak-anak perempuan yang masih utuh yang mereka pelihara dengan baik, dengan harapan siapa tahu kelak nanti sudah besar, dan kalau memang sudah jodohnya bisa mengjadi isteri Tiaq Pelulaq bersaudara itu.  
Anak-anak yang mereka rawat itu pun semakin meningkat besar dan dewasa sehingga kehidupan mereka di rumah Tak Gerasiq itu bagaikan semua lamin yang sangat besar, karena banyak penghuninya yang adalah anak-anak yang sebagian besar cacat tersebut.
Anak-anak perempuan yang tidak cacat pun semakin besar dan dewasa saja. Di antara anak-anak gadis di rumah itu, memang ada yang menjadi isteri kedua orang Tiaq Pelulaq tersebut.
Lantas pada suatu waktu, Tiaq Pelulaq berpikir dan bertanya satu sama lain, “bagaimana keadaan ibu kita di kampung sana, apakah masih hidup atau sudah mati?”.
Keduanya berdiskusi, “Kita berdua ini telah cukup lama di sini dan tinggalkan ibu kita, meskipun ibu sering marah-marah dengan kita, ya … itu wajar, karena kita berdua yang kadang-kadang tidak mau patuh pada perintahnya, sedangkan ibunda kita itu sendiri dia yang melahirkan dan membesarkan kita. Kalau tidak ada ibunda kita, maka manalah mungkin kita lahir dan besar seperti hingga sekarang ini”.
Setelah berbincang-bincang tersebut, maka Tiaq Pelulaq bersaudara sepakat untuk mengambil ibunda mereka itu, kalau saja ibunda masih hidup di kampung sana. Dan kalau sudah meninggal, ya … apa boleh buat”.
Mereka berdua pergi dengan maksud mengambil ibunya ke kampungnya. Setibanya di rumahnya, maka Tiaq Pelulaq berdua panggil-panggil sang Ibundanya,  “Oo, ibu … apakah Ibu masih hidup? Ini kamu Tiaaq Pelulaq pulang!”
Lantas ibunya bangun dari tempat tidurnya dan berkata, “Ibumu  masih hidup anak-anakku, mengapa kalian lama sekali tinggalkan ibumu ini?”
Kedua Tiaq Pelulaq menjawab ibunya, “Tidak apa-apa ibu …! Kami berdua hanya mencari nafkah hidup sehari-hari, dan sekarang kami berdua sekarang sudah kembali, dan kami berdua pun sudah kawin dan tinggal di rumah kami sendiri dengan kekayaan rumah rumah yang sudah cukup lumayan. Kami ini datang untuk membawa ibu bersama kami pindah ke rumah kami yang cukup jauh dari sini. Semoga ibu tidak keberatan ikut bersama kami dan berangkat sekarang juga.
Ibunya menjawab, “ya …baiklah kalau begitu, saya mau ikut kalian berdua anakku”.
Di rumah kami di sana, Ibunda tidak perlu ambil air ke sungai dan memasak di dapur. Ibu hanya makan dan tidur saja. Di rumah kita itu nanti sudah ada orang-orang yang  selalu siap melayani ibu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.