Selasa, 26 Januari 2010

Anak Kelas II SD Pukul TKO Orang Tua

Kadang-kadang kita orang tua tanpa disadari selalu menganggap remeh pendapat anak kita, dari segi ngatan terbukti bahwa mereka lebih unggul dari kita itu bisa kita lihat dari salah satu tayangan salah satu program TV swasta "Are You Smart Than 5 Greader"...(sepertinya tidak ada yang pernah menang melawan mereka), tapi kita masih berkilah, "Ya wajar saja kita kan sudah tua mudah lupa, sedang mereka masih muda dan fresh ingatannya".

Namun pernahkah dalam hati anda mengatakan mereka sebenarnya lebih pintar dari kita, kalau saya sendiri berani mengatakan bahwa saya tidak lebih pintar dari anak kelas dua SD, kejadiannya begini:

Suatu hari anak saya yang paling kecil Dhaniel (3,5thn) memasukan kunci motor kedalam salon (kebetulan salon itu mempunyai lubang pada bagian belakangnya), ributlah kami sekeluarga mencoba untuk mengambil kunci itu, saya mengambil obeng, lalu mencoba mencari posisi sekrup salon saya bolak-balik salon itu tapi tidak ketemu. Akhirnya saya menyerah...kebetulan masih ada kunci serep yang lainnya jadi kami menggunakan kunci itu untuk menjalankan motor.

Sebulan telah berlalu, suatu hari kebetulan datang adik saya yang cukup mengerti tentang servis peralatan barang- barang elektronika datang ke rumah, lalu saya beritahu tentang permasalahan itu...lalu kami berdua membolak- balik salon itu mecoba kemungkinan membuka salon itu tetapi posisi sekrup tetap tidak ditemukan.

Rupanya kegiatan kami ini diperhatikan oleh anak saya tertua Patrick (6,9 thn) kelas II SD yang sedang menonton TV, lalu ia berdiri dan menghampiri kami sambil memperhatikan apa yang sedang kami lakukan...tiba- tiba saya ia berkata " Pak kenapa enggak coba pakai tangan saya atau tangan adik Dhaniel, tangan kami kan kecil... jadi bisa masuk di lubang salon itu". Eh bener juga dan ternyata tangan mungil itu bisa masuk dan mendapatkan kunci itu.
Suatu pelajaran berharga untuk orang tua, apakah anda pernah mempunyai pengalaman yang serupa?

Senin, 11 Januari 2010

Budai Meratapi Kijang (Rusa)

SAHIBUL HIKAYAT, setelah cukup lama menunggu musim panas tiba, yang biasanya terjadi pada bulan Agustus, maka Budai dan ibunya merencanakan membakar ladangnya yang memang sudah waktunya untuk dibakar.

Pada suatu hari, Budai dan ibunya menyiapkan alat pembakar ladang guna membakar hamparan dedaunan dan ranting kering di ladang.

Kemudian mereka berdua membagi tugas dalam membakar ladangnya. Budai dari sebelah hulu dan ibunya dari sebelah hilir. Maka mulailah mereka berdua membakar ladang itu dari arah mulainya masing-masing. Dalam waktu yang sekejap saja, maka ladang itu ludes terbakar.

Pada waktu Budai dan ibunya membakar ladang tersebut, kebetulan ada seekor kijang yang tertidur di tengah-tengah ladang itu. Kijang itu lari dari api ke arah hilir, tetapi tidak bisa. Lari ke arah hulu pun tidak bisa, karena api sudah mengelilingi di seluruh hamparan lahan ladang yang cukup luas itu. Akhirnya kijang itu mati terbakar di tengah-tengah ladang itu.

Keesokan harinya, lantas Budai duluan pergi ke ladang dari kampungnya. Ibunya sendiri menyusul kemudian. Setibanya di ladang, maka Budai berjalan-jalan di ladang yang kemarin dibakar guna memeriksa tempat-tempat di ladang yang belum terbakar. Begitu sampai di tengah-tengah ladang, maka Budai menemukan bangkai kijang yang mati terbakar api kemarin itu.

Kebetulan sejak paginya, Budai tidak bertemu dengan ibunya, karena Budai belum ke pondok ladangnya. Budai pun menduga bahwa bangkai kijang itu adalah ibunya yang mati terbakar. Lantas Budai pun menangis tersedu-sedu menghadapi bangkai kijang itu, yang menurut dia adalah ibunya sendiri.

Setibanya di pondok ladang dari kampung, karena tidak menemukan Budai di pondok itu, maka ibunya mencari Budai ke ladang mereka. Di tengah-tengah ladang di sana, lantas ditemukannya Budai yang sedang menangis tersedu-sedu sendirian di situ.

Setelah semakin dekat, maka didapatinya Budai sedang menangis tersedu-sedu meratapi bangkai kijang yang ada di depannya. Bangkai kijang itu dikira jenazah ibunya yang meninggal, karena terbakar api pembakaran ladang kemarin.

Dari arah belakang, ibunya setengah berteriak, “Budai … ! Apa yang kamu tangisi itu! Itu bangkai kijang. Ibumu ini masih hidup! Jangan menangis! Dasar anak bodoh!”

Lantas Budai menengadah dan memandang ke arah ibunya. Dengan rasa nyaris tak percaya ia memandang ibunya, lalu melirik juga ke bangkai kijang yang ada di depannya. Ternyata memang benar, bahwa ibunya masih hidup! Yang terbakar adalah benar-benar seekor kijang yang malang!

Si ibu kembali meyakinkan Budai, “Yang kamu tangisi itu adalah bangkai kijang yang terbakar oleh api ladang kemarin. Ibumu ini masih hidup! Sudahlah! Sekarang kamu bawa bangkai kijang itu ke pondok kita!”

Budai berhenti menangis. Lantas dengan gembira Budai memikul bangkai kijang itu dari tengah-tengah ladang ke pondok ladangnya. Budai pun kini yakin dan sangat bergembira, karena ibunya memang masih hidup dan ia pun dapat bangkai seekor kijang. Begitu sampai di pondok, maka Budai pun segera mencincang daging kijang untuk dimasak.

Kebetulan saat itu Budai dan ibunya kehabisan garam, maka ibunya menyuruh Budai pergi ke pondok ladang orang lain yang terletak di sebelah hulu pondok ladang mereka dengan jarak tempu jalan kaki yang tidak terlalu jauh.

Ibunya menyuruh anaknya, “Budai kamu bawa satu paha kijang ini sebagai peniding (pelindung) matamu untuk minta sedikit garam kepada keluarga warga kampung kita yang pndoknya tidak jauh dari sini di sebelah hulu dari ladang kita ini!”

Peniding adalah sesuatu benda pelindung guna melindungi mata dan wajah kita dari sengatan teriknya sinar mentari ataupun panasnya nyala api. Namun maksud ibunya dengan peniding berupa paha rusa ini bermakna untuk menghilangkan rasa malu, apabila meminta sesuatu barang apalagi garam kepada orang lain.

Orang Rentenukng menganggap bahwa meminta-minta garam kepada orang lain merupakan permintaan yang memalukan pihak yang meminta-minta itu sendiri. Artinya garam saja, kok mesti minta dengan orang lain. Jadi harga diri pada pihak yang mina dianggap direndahkan dengan sendirinya oleh permintaan tersebut! Namun, jika ada peniding atau katakanlah semacam alat tukarnya, maka rasa malu tadi sedikit terkurangi. Singkat kata, psikologi orang Rentenukng pada prinsipnya tidak suka dengan kebiasaan “meminta-minta” atau “mengemis” kepada orang lain.

Sesuai dengan perintah ibunya itu, lantas Budai mengambil satu paha kijang yang belum dicincang dan dipakainya sebagai peniding matanya berjalan kaki menuju pondok orang yang dimaksudkan ibunya.

Begitu sampai di pondok orang itu, maka Budai meminta sedikit garam seperti yang diperintahkan ibunya. Setelah garam itu diberikan kepadanya oleh yang empunya pondok, lalu ia pulang lagi dan tidak meninggalkan paha kijang itu tadi sebagai tukaran garam tersebut.

Orang-orang yang empunya pondok itu terheran-heran melihat tingkah laku Budai, karena Budai yang membawa kembali paha kijang itu. Seharusnya paha kijang itu ditinggalkan atau diberikan kepada mereka, yang memberinya garam. Namun, orang-orang di pondok itu diam saja, walau geli melihat tingkah-langkah Budai yang terasa aneh menurut adat sopan-santun yang lazim pada kalangan masyarakat di zaman itu.

Sesampainya Budai di pondoknya, maka mamanya heran melihat Budai yang kembali dengan masih membawa paha rusa itu beserta garam yang dimintanya. Sadarlah ibunya bahwa Budai belum mengerti dengan seluk-beluknya adat peniding tadi.

Dengan gusar ibunya berkata, “Maksud ibu dengan peniding berwjud paha rusa tadi supaya kamu tidak malu minta garam ini. Secara tidak langsung orang pun tahu bahwa paha rusa ini kamu tukarkan dengan garam milik mereka. Bukannya paha rusa ini kamu bawa pulang lagi …! Dasar, anak bodoh!”

Budai pun diam saja. Tidak berani memandang wajah ibunya yang sangar. Kini terpaksa ibunya yang pergi ke pondok orang itu untuk mengantarkan paha kijang tersebut sebagai penukar garam tadi.

Minggu, 03 Januari 2010

Kilip Dan Asal-usul Air

Alkisah pada jaman dahulu kala diceritakan bahwa di Bumi pada waktu itu tidak ada air, dan belum ada sungai-sungai dan lautan seperti sekarang ini. Manusia yang hidup pada waktu itu hanya mengharapkan air hujan. Akan tetapi kalau hujan tidak turun, maka orang tidak akan mendapatkan setetes air apa pun guna melepaskan dahaga. Itu artinya bencana. Manakala musim kemarau yang panjang tiba, maka itu berarti malapetaka akan mengancam semua makhluk yang memerlukan air di bumi ini.

Tersebutlah sebuah tempat yang bernama Bawo Tanyukng Lahukng Mempeliq Kutaaq Kediiq, dimana di tempat ini banyak orang tinggal sehingga terbentuk sebuah kampung. Akan tetapi mereka yang hidup di kampung ini sangat menderita, karena tidak ada air untuk segala keperluan hidup mereka, berikut keanekaragaman hayati lainnya.

Padahal orang yang tinggal di kampung itu tidaklah sedikit. Mereka hidup di kampung itu adalah seperti Amaq Aji, Kilip Taman Tauq, Umaq Doyai, Leaq Punai, Nalunkgn, Nalau, Tiaq Pelulaq yang delapan bersaudara, Maq Ilar, Maq Intar, Puan Belem, Maq Intim, dan Maq Ilem. Mereka-mereka ini adalah para kepala keluarga. Belum lagi anak dan cucu mereka yang tidak disebutkan satu persatu di sini. Pemimpin mereka adalah Kilip Taman Tauq. Sehingga Kilip Taman Tauq inilah yang diharapkan mencari di mana ada sumber mata air yang dapat dikonsumsikan bagi berbagai keperluan hidup beserta makhluk hidup lainya.

Untuk mengatasi hal ini, maka Kilip berulang kali keluar hutan dan masuk hutan guna mencari di mana kiranya ada sumber air di hutan-hutan yang dekat di sekitar kampung dan bahkan yang jauh dari kampung sekalipun.

Kalau saja Kilip menemukan mata air tersebut, maka Kilip berencana memindahkan mereka yang ada di Bawo Tanyukng Lahukng ke tempat yang di mana ada sumber mata airnya. Namun Kilip belum beruntung, karena walaupun sudah beberapa lama Kilip berusaha mencari air ke sana ke mari, tapi belum juga menemukannya.

Pada suatu hari Kilip pergi lagi untuk mencari sumber air ke hutan. Akan tetapi setelah satu hari perjalanan, Kilip tidak melihat adanya sumber air. Karena sangat capai, Kilip beristirahat di bawah sebatang pohon yang sangat besar. Walaupun Kilip berulangkali masuk dan keluar hutan, namun ia tidak pernah menemukan pohon kayu yang sebesar itu. Mungkin, karena terlalu capainya, maka Kilip tertidur di bawah pohon itu.

Dalam tidurnya yang masih dengan posisi duduk itu, Kilip lalu bermimpi delapan kali bertemu dengan seorang laki-laki yang sudah tua sekali bersama dengan seorang perempuan tua yang mungkin adalah istrinya. Dalam mimpinya itu orang tua itu bertanya kepada Kilip, ”Kilip kenapa Kilip tidur di bawah rumah kami ini?”

Kilip lalu menjawab dalam mimpinya itu juga, ”Saya ini sudah lama berjalan ke sana ke mari untuk mencari sumber mata air, akan tetapi aku tidak pernah menemukan sumber mata air itu. Warga kami di kampung nun jauh dari sini tidak ada air yang dapat dipakai untuk minum, masak nasi, mandi dan lain-lainnya”.

Kakek tua itu berkata lagi, “Oh…, kalau begitu gampang, kamu naik saja ke atas rumah kami ini.”

Setelah orang yang dalam mimpinya itu mengucapkan kata-kata terakhirnya tadi, lantas Kilip terbangun dan menoleh ke kiri ke kanan untuk mencari sang Kakek tua yang berbicara dengannya tadi. Tetapi ia tidak melihat siapa pun di sekitar itu. Begitu ia melihat pohon di mana ia bersandar, maka ia terkejut luar biasa, karena yang tadinya pohon kayu besar, kini telah berubah menjadi sebuah tiang besi yang menjulang tinggi ke atas langit, bahkan sampai ke awan-awan putih di langit nun tinggi di atas sana. Tak habis-habisnya Kilip terheran-heran melihat apa yang telah terjadi di situ, dan tiba-tiba ada suara yang memanggilnya dari atas tiang besi itu yang menyuruh ia naik.

Maka dengan segala kesaktian yang dimilikinya, Kilip naik ke atas rumah yang tinggi itu. Setelah berbasa–basi sebentar, maka kIlip mengemukakan maksud kedatangannya, walaupun dalam mimpinya tadi, ia sudah mengatakan bahwa ia sedang mencari sumber air untuk menghidupi rakyatnya di kampung sana.

Kilip bercerita, “Saya ini sudah lama mencari sumber air, akan tetapi tetap saja saya belum menemukan sumber mata air tersebut. Oleh sebab itu, kalau nenek dan kakek bersedia membantu tunjukkan saya di mana kiranya saya bisa menemukan sumber air tersebut?” Tanya Kilip.

“Oh itu gampang … cobalah lihat dibadan kami berdua ini, kami memiliki air yang sangat banyak. Akan tetapi air tidak bisa kami berikan begitu saja kalau tidak dibayar dengan harta yang kamu punya”, kata kakek itu dengan pongahnya.

“Wah, kalau begitu nenek dan kakek, saya sekarang kembali dulu ke kampung, karena saya sekarang ini tidak ada membawa harta untuk ditukarkan dengan air. Nanti saya akan kembali lagi untuk membeli air milik nenek dan kakek berdua di sini”,ujar Kilip memohon.

Kakek itu menjawab, “Ya, kami tunggu”. Nenek dan kakek itu bernama Wook Lalukng Sirukng dan Bawe Lolakng Ante.

Tanpa membuang-buang waktu lagi, maka Kilip pulang untuk mengabarkan khabar gembira ini kepada segenap warga kampung Tanyukng Lahukng, bahwa ia sudah menemukan tempat di mana mereka akan memperoleh air. Sesampainya di kampung, maka ia segera mengumpulkan warga kampungnya itu untuk mengabarkan hal itu. Maka dengan segera pula segenap warga kampung menyiapkan tempat air masing-masing dan segala hartanya untuk ditukar dengan air tersebut.

Akan tetapi Wook Lalukng Sirukng dan Bawe Lolakng Ante hanya memberikan air sebanyak dengan wadah dan harta yang mereka bawa saja. Apabila mereka membawa guci yang kecil saja untuk ditukarkan dengan air, maka sebanyak isi guci itu pula air yang diberikan oleh kedua hantu tersebut. Semakin besar hartanya, maka air yang diberikanpun semakin banyak. Begitu terus berhari hari yang mereka alami.

Sehingga lama-kelamaan harta warga kampung itu, akhirnya habis hanya untuk ditukarkan dengan air dari kedua hantu itu. Dan mereka tidak lagi mempunyai harta untuk ditukarkan dengan air yang sangat mereka perlukan.

Untuk mengatasi hal ini, maka Kilip selaku pemimpin di Bawo Tanyukng Lahukng mengajak semua penduduk berunding untuk tetap mendapatkan air, sedangkan harta mereka sudah tidak ada lagi. Artinya air pun kembali tidak tersedia.

Kilip memulai pembicaraannya, “Begini malam ini saya mengundang kalian semua untuk berunding bagaimana caranya kita memperoleh air, sedangkan kita punya sudah tidak ada harta lagi. Harta kita semuanya telah habis untuk ditukarkan dengan air milik kedua hantu itu, lalu bagaimana menurut pendapat kalian caranya lagi agar kita memperoleh air dari kedua orang tua yang hantu itu.”

Untuk sementara tidak ada seorangpun yang menemukan jalan keluar guna memecahkan persoalan ini. Semuanya pada diam, dan belum ada seorang pun yang berbicara, mungkin masih memikirkan akal apa yang terbaik dalam mengatasi hal ini.

Melihat mereka terdiam saja, maka Kilip melanjutkan pembicaraaan. “Menurut pendapat saya, satu-satunya jalan untuk memperoleh air itu adalah dengan cara membunuh kakek dan nenek yang sebenarnya adalah hantu. Kalau kita sudah bisa membunuh mereka, barulah kita bisa memperoleh sumber air yang ada di badan mereka itu.” Demikian usul Kilip selaku pemimpin rapat yang selalu menemukan solusi-solusi briliannya.

“Ya, itu ide yang sangat bagus. Kita tidak punya cara lain untuk memperoleh air, kalau kita tidak membunuh kedua orang tua itu. Akan tetapi kita masih punya masalah, yaitu bagaiman caranya kita membunuh kedua orang tua itu, sedangkan rumah mereka bertongkatkan besi dan kita tidak mungkin bisa memanjat ke atas tiang besi itu. Tanpa kita bisa naik ke atas rumahnya itu, maka tidaklah mungkin kita bisa membunuh mereka.” Kata Nalau menyambung pembicaraan Kilip dalam rapat itu.

“Ya, sekarang kita sama-sama harus mencari jalan bagaimana membunuh kedua orang tua itu.” Kata Nalukng pula.

“Kalau menurut saya, kita harus mencari jalan atau kelemahan rumah itu”, kata yang lain pula.

“Begini, kita semua ini belum tahu kelemahan rumah itu. Akan tetapi kita bisa mencari jalan untuk mengetahui kelemahan rumah itu, yaitu dengan cara mengirim burung pipit dan tikus untuk naik ke atas rumah itu. Tikus dan burung pipit itu kita utus untuk mengintip dan mendengarkan segala pembicaraan mereka, siapa tahu mereka berbicara tentang kelemahan rumah meraka itu”, kata Kilip lagi. Lagi-lagi yang punya akal jitu.

“Kami setuju,” kata yang lain.

“Besok kita mulai mengirim burung pipit dan tikus untuk mulai menjalankan rencana kita”, Kilip menambahkan.

Maka esok harinya mereka mulai mengirim tikus dan burung pipit untuk mengintip dan mendengarkan setiap pembicaraan kedua nenek kakek itu.

Pada malam hari itu, nenek dan kakek itu berbincang-bincang tentang segala harta yang mereka peroleh selama ini sebagai hasil dari penjualan air yang ada di badan mereka itu. Memang harta dari seluruh kampung Bawo Tanyukng Lahukng itu sudah habis untuk ditukarkan dengan air, sehingga kakek dan nenek itu menjadi kaya raya secara mendadak. Betapa tidak? harta milik orang sekampung telah pindah ke rumah hantu ini.

Kakek dan nenek itu berbincang-bincang antara mereka, “Sekarang harta dari Kilip dan seluruh warga kampung di sana sudah habis. Mereka sudah tidak ada harta lagi untuk menukarkan air di tubuh kita ini. Jangan-jangan mereka ke mari untuk mencari air lagi dan membunuh kita untuk mendapatkan air yang ada di badan kita ini. Saya takut kalau mereka bisa naik ke atas rumah kita ini.” Kata si nenek, agak khawatir.

“Jangan takut mereka tidak akan bisa naik ke sini. Mereka tidak bakal bisa mengetahui kelemahan rumah kita ini.” Kata si kakek.

“Sebenarnya apa sih kelemahan rumah kita ini, walaupun sudah terbuat dari tiang besi seperti ini?” Tanya nenek pada suaminya.

“Oh, itu rahasia kita, yang tidak boleh ada yang tahu. Terlebih-lebih si Kilip itu, kalau ia sampai tahu, maka tamatlah riwayat kita ini.”

“Tapi aku kan boleh tahu.” Aku inikan isterimu.

“Oh, jangan kira Bu, nanti ada yang mendengar. Siapa tahu ada orang yang mengintip pembicaraan kita ini, maka celakalah kita.” Sang Kakek berkilah lagi.

“Tapi saya kira tidak ada orang lain, dan hanya kita berdua saja di malam-malam begini. Biar kita ngomong yang keras-keras sekalipun, sudah pasti tidak ada yang bisa mendengarnya, karena rumah ini terlalu tinggi buat mereka.” Lagi-lagi si nenek menggoda di kakek.

“Tidak …! Pokoknya tidak bakal saya mau menceritakan kelemahan rumah kita ini, karena kalau sampai ada yang tahu, maka itu berarti maut bagi kita berdua.” Si kakek bersikeras.

Pada malam itu tikus dan burung pipit yang sudah siap mendengar cerita itu kecewa, karena si kakek tidak mau menceritakan kepada si nenek tentang rahasia kelemahan rumah mereka itu. Begitu pula malam kedua, si kakek pun masih tidak mau menceritakan tentang kelemahan rumah mereka itu.

Akan tetapi pada malam ketiga, tampaknya si kakek sudah mau mengalah dengan permintaan si nenek yang terus menerus tiap malam itu, maka akhirnya ia mau menjelaskan tentang kelemahan rumah mereka itu.

“Rumah ini kalau saja mereka membawa tukang tempa dan membakar besi tiang rumah ini, maka tiang rumah ini akan roboh. Dan kita akan mati dibunuh oleh mereka yang manusia-manusia itu. Apalah artinya kita dua ini. Kita ini hanya hantu yang selalu kalah dengan manusia di bumi sana yang punya akal yang cerdas melawan kita”, kata kakek membuka rahasia kelemahan rumah mereka,

Si nenek meyakinkan kakek dan berkata, “Oh, itu tidak mungkin, mereka tidak bakal tahu pembicaraan kita ini, karena rumah ini cukup tinggi dari bumi dan jauh dari manusia-manusia seperti mereka itu.”

Mendengar pembicaraan itu, maka burung pipit dan tikus segera pulang untuk memberitahukan apa yang mereka dengar dari kakek dan nenek itu kepada Kilip dan orang kampung Bawo Tanyukng Lahukng.

Sesampainya di Bawo Tanyukng Lahukng, burung pipit dan tikus segera melaporkan berita yang mereka dapatkan kepada Kilip dan penduduk lainnya. Maka segenap warga kampung berunding lagi, setelah mendengar apa yang dilaporkan oleh tikus dan burung pipit. Dalam rapat itu mereka bersepakat untuk membawa alat-alat untuk menempa besi, terutama api dan arang kayu ulin yang mereka pakai untuk membakar tongkat rumah yang terbuat dari tiang besi itu.

Esok harinya warga kampung berangkat bersama-sama dengan membawa segala peralatan yang mereka perlukan untuk merobohkan rumah itu.

Dengan tidak memerlukan waktu yang lama, maka mereka mulai membakar rumah yang bertiang besi itu. Api yang mereka nyalakan mulai memanasi tiang besi itu sehingga makin lama makin bengkoklah tiang besi itu.

Sementara itu, kedua nenek dan kakek itu terkejut melihat ke bawah, karena terasa panas dan asap api pun mulai naik ke atas dan terlihatlah api yang mulai membakar arang ulin yang sengaja di pasang oleh Kilip dan semua orang kampung.

“Hah ...! Apa saya bilang malam tadi bahwa saya tidak mau memberitahu rahasia rumah kita ini, tetapi kamu selalu meminta untuk menceritakannya. Sekarang mereka sudah tahu dan mungkin mereka mendengar apa yang kita bicarakan, sehingga mereka tahu kelemahan rumah kita ini. Sekarang matilah kita!”

Belum sempat lagi si nenek menyahut apa yang dikatakan oleh si kakek, maka rumah yang tingginya sampai ke awan itu roboh bersama dengan kedua hantu itu. Maka begitu sampai di tanah, maka Kilip dan orang-orang lain yang sudah siap menunggu jatuhnya kakek nenek itu, segera mengeroyok dan membunuh kakek dan nenek tersebut. Maka matilah kini nenek dan kakek itu.

Akan tetapi aneh bin ajaib, mayat mereka ternyata berubah menjadi sebuah pohon kayu yang sangat besar pula dan mempunyai delapan cabang dan masing-masing cabang meneteskan air yang jernih layak diminum.

Melihat apa yang terjadi, maka Kilip dan warga Bawo Tanyukng Lahukng berniat lagi untuk menebang pohon yang besar itu. Mereka mempunyai keyakinan bila pohon itu ditebang, maka pohon itu akan menjadi sumber air yang sangat besar atau air bah yang akan menghanyutkan dan menenggelamkan mereka sendiri.

Untuk itu mereka bersepakat untuk membuat rakit terlebih dahulu, jika air bah itu memang harus terjadi. Maka atas perintah Kilip, Nalukng, Nalau dan yang lainnya segera membuat rakit yang besar, sebelum mereka menebang pohon itu.

Setelah rakit itu selesai, mereka mulai menebang pohon yang besar itu. Akan tetapi setelah mereka menebangnya, tidak tampak adanya tanda-tanda air yang keluar dari pohon itu. Maka mereka pun mulai berpikir jangan-jangan pohon itu nanti tidak menjadi air, karena waktu mereka membunuh kakek dan nenek itu juga tidak menjadi air. Akan tetapi mereka tetap menebang pohon raksasa itu.

Delapan hari delapan malam lamanya, mereka menebang, akan tetapi pohon itu tetap tidak mau tumbang juga. Setelah diselidiki ternyata ada seekor monyet yang tinggal di puncak pohon kayu itu, dan monyet itulah memegang tongkat yang terpasang di langit. Hal itulah yang membuat pohon itu tidak bisa rebah.

“Lantas bagaimana caranya, supaya monyet itu mau melepas pegangannya pada tongkat yang menempel di langit itu.” Tanya yang lain.

“Ada caranya…!” Kata Kilip. Kita suruh saja bengkarung untuk memanjat pohon ini guna mengantar pisang yang sudah masak ke atas pohon itu. Kalau monyet itu melihat ada pisang, maka ia akan melepas pegangangannya pada tongkat yang masih menempel di langit.”

Maka segeralah seekor bengkarung naik dengan membawa pisang ke atas pohon itu. Maka melihat ada pisang di tangan bengkarung, maka monyet itu lalu merampas buah pisang yang masak itu. Setelah pisang itu lepas dari tangan bengkarung, maka ia segera turun, karena pohon itu mulai tumbang perlahan-lahan.

Pada saat bengkarung turun dan hampir telah sampai di tanah, maka pohon itupun tumbang. Setelah tumbang, maka pohon itu berubah menjadi air bah yang sangat besar. Semua warga naik ke atas rakit dari kelompoknya masing-masing, karena air bah telah tiba dari rebahan pohon raksasa itu. Tunggul dari pohon itu pun telah berubah menjadi air pula.

Maka dengan seketika, semua daerah itu dipenuhi oleh air terutama di tempat rebahannya pohon itu sendiri telah menjadi sebuah sungai yang sangat besar dengan delapan cabang pula sesuai dengan jumlah cabang dari pohon itu sewaktu masih berdiri tegak. Dan cabang-cabang itu yang mempunyai ranting-rantingnya, seketika itu pula menjadi anak-anak sungai yang kecil-kecil.

Demikianlah asal-usul air yang dahulunya tidak ada, namun dengan tumbangnya pohon yang berasal dari badan kakek Wook Lalung Sirung dan nenek Bawe Lolakng Ante yang tidak lain merupakan sumber mata air raksasa, maka terjadilah air laut dan sungai yang besar dan kecil hingga sekarang ini.