Senin, 11 Januari 2010

Budai Meratapi Kijang (Rusa)

SAHIBUL HIKAYAT, setelah cukup lama menunggu musim panas tiba, yang biasanya terjadi pada bulan Agustus, maka Budai dan ibunya merencanakan membakar ladangnya yang memang sudah waktunya untuk dibakar.

Pada suatu hari, Budai dan ibunya menyiapkan alat pembakar ladang guna membakar hamparan dedaunan dan ranting kering di ladang.

Kemudian mereka berdua membagi tugas dalam membakar ladangnya. Budai dari sebelah hulu dan ibunya dari sebelah hilir. Maka mulailah mereka berdua membakar ladang itu dari arah mulainya masing-masing. Dalam waktu yang sekejap saja, maka ladang itu ludes terbakar.

Pada waktu Budai dan ibunya membakar ladang tersebut, kebetulan ada seekor kijang yang tertidur di tengah-tengah ladang itu. Kijang itu lari dari api ke arah hilir, tetapi tidak bisa. Lari ke arah hulu pun tidak bisa, karena api sudah mengelilingi di seluruh hamparan lahan ladang yang cukup luas itu. Akhirnya kijang itu mati terbakar di tengah-tengah ladang itu.

Keesokan harinya, lantas Budai duluan pergi ke ladang dari kampungnya. Ibunya sendiri menyusul kemudian. Setibanya di ladang, maka Budai berjalan-jalan di ladang yang kemarin dibakar guna memeriksa tempat-tempat di ladang yang belum terbakar. Begitu sampai di tengah-tengah ladang, maka Budai menemukan bangkai kijang yang mati terbakar api kemarin itu.

Kebetulan sejak paginya, Budai tidak bertemu dengan ibunya, karena Budai belum ke pondok ladangnya. Budai pun menduga bahwa bangkai kijang itu adalah ibunya yang mati terbakar. Lantas Budai pun menangis tersedu-sedu menghadapi bangkai kijang itu, yang menurut dia adalah ibunya sendiri.

Setibanya di pondok ladang dari kampung, karena tidak menemukan Budai di pondok itu, maka ibunya mencari Budai ke ladang mereka. Di tengah-tengah ladang di sana, lantas ditemukannya Budai yang sedang menangis tersedu-sedu sendirian di situ.

Setelah semakin dekat, maka didapatinya Budai sedang menangis tersedu-sedu meratapi bangkai kijang yang ada di depannya. Bangkai kijang itu dikira jenazah ibunya yang meninggal, karena terbakar api pembakaran ladang kemarin.

Dari arah belakang, ibunya setengah berteriak, “Budai … ! Apa yang kamu tangisi itu! Itu bangkai kijang. Ibumu ini masih hidup! Jangan menangis! Dasar anak bodoh!”

Lantas Budai menengadah dan memandang ke arah ibunya. Dengan rasa nyaris tak percaya ia memandang ibunya, lalu melirik juga ke bangkai kijang yang ada di depannya. Ternyata memang benar, bahwa ibunya masih hidup! Yang terbakar adalah benar-benar seekor kijang yang malang!

Si ibu kembali meyakinkan Budai, “Yang kamu tangisi itu adalah bangkai kijang yang terbakar oleh api ladang kemarin. Ibumu ini masih hidup! Sudahlah! Sekarang kamu bawa bangkai kijang itu ke pondok kita!”

Budai berhenti menangis. Lantas dengan gembira Budai memikul bangkai kijang itu dari tengah-tengah ladang ke pondok ladangnya. Budai pun kini yakin dan sangat bergembira, karena ibunya memang masih hidup dan ia pun dapat bangkai seekor kijang. Begitu sampai di pondok, maka Budai pun segera mencincang daging kijang untuk dimasak.

Kebetulan saat itu Budai dan ibunya kehabisan garam, maka ibunya menyuruh Budai pergi ke pondok ladang orang lain yang terletak di sebelah hulu pondok ladang mereka dengan jarak tempu jalan kaki yang tidak terlalu jauh.

Ibunya menyuruh anaknya, “Budai kamu bawa satu paha kijang ini sebagai peniding (pelindung) matamu untuk minta sedikit garam kepada keluarga warga kampung kita yang pndoknya tidak jauh dari sini di sebelah hulu dari ladang kita ini!”

Peniding adalah sesuatu benda pelindung guna melindungi mata dan wajah kita dari sengatan teriknya sinar mentari ataupun panasnya nyala api. Namun maksud ibunya dengan peniding berupa paha rusa ini bermakna untuk menghilangkan rasa malu, apabila meminta sesuatu barang apalagi garam kepada orang lain.

Orang Rentenukng menganggap bahwa meminta-minta garam kepada orang lain merupakan permintaan yang memalukan pihak yang meminta-minta itu sendiri. Artinya garam saja, kok mesti minta dengan orang lain. Jadi harga diri pada pihak yang mina dianggap direndahkan dengan sendirinya oleh permintaan tersebut! Namun, jika ada peniding atau katakanlah semacam alat tukarnya, maka rasa malu tadi sedikit terkurangi. Singkat kata, psikologi orang Rentenukng pada prinsipnya tidak suka dengan kebiasaan “meminta-minta” atau “mengemis” kepada orang lain.

Sesuai dengan perintah ibunya itu, lantas Budai mengambil satu paha kijang yang belum dicincang dan dipakainya sebagai peniding matanya berjalan kaki menuju pondok orang yang dimaksudkan ibunya.

Begitu sampai di pondok orang itu, maka Budai meminta sedikit garam seperti yang diperintahkan ibunya. Setelah garam itu diberikan kepadanya oleh yang empunya pondok, lalu ia pulang lagi dan tidak meninggalkan paha kijang itu tadi sebagai tukaran garam tersebut.

Orang-orang yang empunya pondok itu terheran-heran melihat tingkah laku Budai, karena Budai yang membawa kembali paha kijang itu. Seharusnya paha kijang itu ditinggalkan atau diberikan kepada mereka, yang memberinya garam. Namun, orang-orang di pondok itu diam saja, walau geli melihat tingkah-langkah Budai yang terasa aneh menurut adat sopan-santun yang lazim pada kalangan masyarakat di zaman itu.

Sesampainya Budai di pondoknya, maka mamanya heran melihat Budai yang kembali dengan masih membawa paha rusa itu beserta garam yang dimintanya. Sadarlah ibunya bahwa Budai belum mengerti dengan seluk-beluknya adat peniding tadi.

Dengan gusar ibunya berkata, “Maksud ibu dengan peniding berwjud paha rusa tadi supaya kamu tidak malu minta garam ini. Secara tidak langsung orang pun tahu bahwa paha rusa ini kamu tukarkan dengan garam milik mereka. Bukannya paha rusa ini kamu bawa pulang lagi …! Dasar, anak bodoh!”

Budai pun diam saja. Tidak berani memandang wajah ibunya yang sangar. Kini terpaksa ibunya yang pergi ke pondok orang itu untuk mengantarkan paha kijang tersebut sebagai penukar garam tadi.