Jumat, 25 Desember 2009

KILIP MENIPU MONYET

KILIP MENIPU MONYET

PADA suatu hari Kilip memancing di sungai yang cukup jauh jaraknya dari rumah. Setelah cukup lama Kilip mancing, ikan yang diperolehnya pun sudah cukup banyak. Karenanya ia putuskan untuk berhenti memancing dan pulang ke rumahnya. Dalam perjalanan pulang itu, Kilip bermaksud mampir dulu di pohon cempedak yang memang banyak buahnya dan masak-masak yang jatuh di tanah untuk diambil secukupnya serta dibawa pulang ke rumahnya.

Sesudah Kilip ambil buah cempedak itu dan dimasukkannya ke dalam anjatnya, namun belum sempat beranjak pergi dari bawah pohon cempedak itu, maka tiba-tiba terdengar oleh Kilip suara monyet, yang tampaknya menuju ke arah ia berada. Kilip menduga bahwa rombongan monyet itu juga mau memakan buah cempedak yang diambilnya ini. Kilip sendiri belum sempat beranjak dari bawah pohon cempedak itu.

Lantas, Kilip dengan berpura-pura baring seperti orang yang baru jatuh dari atas pohon cempedak tersebut. Kilip mengoleskan getah buah cempedak tersebut di sekujur tubuhnya sendiri, lalu berguling-guling di bawah pohon cempedak itu, sehingga dedaunan kering melekat di seluruh tubuhnya, di wajahnya, di mulutnya, di hidungnya, di matanya.

Tak lama setelah Kilip beraksi, maka rombongan monyet sampai di situ dan melihat bahwa, “kenapa kok, ada Kilip di sini?”

Rombongan monyet itu melihat dari dekat apa gerangan terjadi dengan Kilip yang tergeletak kaku di situ, “Ooo, … kasihan Kilip ini sudah mati, mungkin ia jatuh dari atas pohon cempedak ini, kata monyet satu dengan yang lainnya.

Monyet yang lainnya menambahkan, “Ooo, ya benar!”.

Sang kepala rombongan monyet itu mengajak kawanannya, “bagaimana kalau kita kita gendong bersama-sama mayat Kilip ini ke rumahnya, kasihan Kilip yang mati karena jatuh dari pohon seperti ini sendirian tidak diketahui oleh sanak keluarganya”. Monyet-monyet yang lainya setuju!

Lantas para monyet itu beramai-ramai menggendong mayat Kilip itu hingga sampai di dalam rumahnya sendiri yang tidak terlalu jauh dari tempat itu. Para monyet itu menggendong mayat Kilip menyeberang sebuah sungai.

Para monyet berkata satu sama lainnya, “kita pegang baik-baik dan hati-hati, jangan sampai mayat Kilip jatuh ke dalam sungai”.

Ketika menyeberang sungai itu, Kilip sempat kentut dua kali.

Tercium bau kentut itu, para monyet itu berkata satu sama lain, “nah mayat ini sudah berbau busuk, maka kita harus cepat-cepat membawa ke rumahnya, dan kita serahkan dengan ibunya di rumahnya di sana”.

Memang tidak lama, para monyet itu sampai ke rumah ibunya dan dari jauh para monyet itu panggil ibu Kilip, “Kilip ini mati terjatuh dari pohon cempedak di dalam hutan sana, dan kami terpaksa mengantarkan jenazahnya ke sini”.

Para monyet itu memanggil dari tanah di bawah sana, sedangkan ibu Kilip berada di atas dan dalam rumahnya.

Ibu Kilip menjawab dengan ramah, “ya, bawa saja naik dan masuk ke dalam rumah kami ini, walau pun ia sudah mati”.

Para monyet membawa mayat Kilip naik ke atas rumah dan masuk rumah, serta dibaringkannya di tengah-tengah rumah mereka. Kini semua anggota rombongan monyet itu berada di dalam rumah Kilip tersebut, seraya menunggu sekedar suguhan makanan dan minuman bagi para monyet tersebut sebagai ucapan terima kasih atas kebaikan mereka.

Sementara itu, ibu kilip menutup pintu dan segala lobang-lobang di rumahnya itu. Ibu Kilip berkata kepada para monyet itu, “saya tidak mau ada orang yang melihat kita di dalam rumah ini, karena kita kena musibah yang tidak biasanya terjadi seperti ini”.

Para monyet itu mengangguk setuju! Kilip masih terbaring kaku di situ.

Namun secara tiba-tiba, Kilip bangun dan bangkit, lantas memukul mati semua monyet yang ada di dalam rumahnya itu. Akhirnya Kilip dan ibunya, memperoleh daging monyet yang berlimpah-limpah. Dimakan dua tiga bulan, mungkin tidak habis juga.

Setelah menjelang pagi harinya, kejadian itu diketahui oleh Aji. Lantas Aji pergi berkunjung ke rumah Kilip dan Ibunya. Sesampainya di rumah Kilip itu, Aji bertanya, “bagaimana caranya Kilip bisa dapat monyet yang sangat banyak seperti ini, dan saya juga mau menangkap monyet sebanyak itu seperti Kilip?”

Kilip menjawab, “begini Aji, kamu pergi saja ke pohon cempedak di tengah hutan sana, dan kamu cari pohon cempedak yang banyak buahnya. Setelah kamu sampai di bawah pohon itu, maka kamu pura-pura mati terjatuh dari pohon itu. Lantas kamu oleskan getah buah cempedak itu di sekujur tubuhmu, kemudian berbaring bagaikan orang yang telah mati di bawah pohon cempedak itu. Dan nanti, kalau ada rombngan monyet datang, maka mereka pasti pikul kamu ke rumahmu, karena mereka kira kamu sudah mati, terjatuh dari atas pohon cempedak di situ. Tapi ada sayaratnya. Kamu jangan bergerak sedikitpun juga dan jangan ngomong sedikit pun juga. Kamu perlihatkan dirimu sebagai mayat orang mati yang terbaring kaku di bawah pohon itu. Para monyet itu nanti pasti pikul kamu ramai-ramai hingga sampai di rumahmu. Tante Delooi persilahkan para monyet itu masuk dalam rumah membawa mayatmu. Kamu berpesan dengan isterimu, ketika mayat kamu sudah dibawa masuk dalam rumah kalian, agar ia tutup pintu dan lobang-lobang, dan baru kamu bangun serta memukul habis monyet-monyet itu. Begitulah caranya saya memperoleh yang sangat banyak seperti kemarin itu”.

Aji menjawab, “ya, terima kasih Kilip atas anjuranmu itu. Besok pagi saya pergi ke hutan sana”.

Kilip menjawab, “ya, baiklah Aji, coba saja caraku itu. Siapa tahu kamu pun bisa beruntung!”. Selanjutnya, Aji pun permisi pulang seraya diberikan daging monyet yang cukup banyak oleh ibu Kilip yang memang baik hati itu.

Keesokan harinya, maka Aji pergi ke hutan guna melaksanakan aksi seperti yang diberitahukan oleh Kilip.

Setelah Aji sampai di tempat yang dia tuju, maka ia mulai beraksi seperti yang diberitahukan oleh Kilip tadi. Tidak berapa lama, maka rombongan monyet pun tiba di tempat itu. Lantas, mereka melihat Aji tergeletak kaku di bawah pohon cempedak di situ.

Maka segera pula para monyet itu melihat Aji, dan salah satu dari monyet-monyet itu berkata, “Ooo, manusia ini bernama Aji, dan ia sudah mati, mungkin ia terjatuh dari atas pohon cempedak ini. Kasihan sekali!”

Lantas Sang kepala rombongan monyet itu mengusulkan kepada angota rombongannya itu, “bagaimana kalau kita gotong mayat Aji ini dan mengantar ke rumahnya?”.

Para monyet lainya menjawab, ‘Ya kami setuju, ayo kita sekarang antarkan mayat Aji ini ke rumahnya, kasihan mayatnya ini sudah ada ulat-ulat di mata dan mulutnya”.

Para monyet pikul ramai-ramai mayat Aji. Mereka membawa mayat Aji menyeberang sungai. Ketika menyeberang sungai itu, Aji pun kentut. Para monyet berkata sesama mereka, ”nah, mayat ini sudah mulai busuk. Marilah kita cepat-cepat bawa mayat Aji ini baik-baik, siapa Aji ini nanti bisa mati 2 kali.”

Aji tidak sabar dengar guyonan canda sesama para monyet itu, lantas Aji menyahut, “ya kalian pikul saya baik-baik, karena saya juga takut jika saya ini mati 2 kali”.

Para monyet itu mendengar bahwa mayat Aji bisa ngomong tadi, maka para monyet itu memutuskan, “ayo, kita buang saja mayat Aji ini ke dalam air sungai yang dalam ini, biarlah dia mati lemas”.

Para monyet itu lalu buang mayat Aji ke dalam sungai itu, dan mereka lari ke dalam hutan, entah ke mana?

Apa yang terjadi? Aji di buang ke dalam air sungai itu dan hampir mati tenggelam. Dengan susah payah Aji berenang, akhirnya Aji bisa juga naik ke atas tanah. Dari situ Aji berjalan sempoyongan menuju ke rumahnya dan sesampainya di rumah, maka Deloi tanya dengan Aji, “kenapa kamu tidak digotong ramai-ramai oleh monyet-monyet dari hutan sana, seperti Kilip?”

Aji menjelaskan kepada isterinya, “saya sudah mempraktekkan semua apa yang disarankan Kilip. Semula para monyet itu memang menggotong saya, tetapi ketika saatnya menyeberang sungai di sana, saya tertawa mendengar percakapan para monyet itu, mendengar saya tertawa lalu saya dibuang oleh para monyet itu ke dalam sungai di sana dan monyet-monyet itu semuanya lari ke dalam hutan. Tinggallah saya yang setengah mati berenang di dalam air sungai yang dalam dan deras di sana. Jadi karena saya tidak bisa menahan rasa geli dan tertawa saya, makanya saya tidak berhasil seperti Kilip”.

Begitulah penjelasan Aji kepada isterinya tentang usahanya yang gagal, bahkan nyaris merenggut nyawanya sendiri. Isterinya terdiam! Dalam hatinya Deloi berkata, “nasib-nasib punya suami, yang bodohnya seperti ini”.

Namun, Deloi menghibur dirinya sendiri, “Aji suami ku ini sudah berusaha keras, namun nasib baik belum berpihak padanya”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.