Senin, 21 Desember 2009

Asal Muasal Padi

PUTERI LIAKNG RELA MATI MENJADI PADI

PADA zaman dahulu kala ada sebuah kampung yang aman, tenteram dan alamnya yang subur. Hasil ladang dan ternak cukup berlimpah guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Tapi sayang, penduduk kampung tersebut kurang pandai mengelola hasil kebun dan ternak mereka. Hasil jerih payah yang mereka peroleh dipakai untuk berpoya-poya, karena dalam setahun saja, 2 hingga 3 kali mereka mengadakan pesta pora di kampung itu. Semua penduduk kampung berbaur dalam acara itu. Tentu tak ketinggalan permainan judi sabung ayam (saukng manuuk).

Pada suatu waktu, bencana kelaparan menimpa kampung itu. Kemarau panjang yang mengakibatkan tanah kering dan retak. Rumput mati kekeringan, sehingga ternak pun banyak yang mati kelaparan. Kemarau itu berlangsung beberapa tahun, sehingga tanaman padi, sayur-sayuran dan umbi-umbian tidak bisa tumbuh.

Penduduk kampung itu pun mulai kelaparan, dan malahan beberapa warga telah meninggal dunia, karena kurang makan dan gizi. Dengan kejadian itu, maka tersadarlah mereka akan kelakukan mereka sendiri yang selalu mengadakan pesta pora tanpa memikirkan keberlanjutan hidup di hari esok.

Di pinggiran kampung itu, tinggallah seorang janda dengan dua anaknya. Anak pertamanya adalah perempuan yang bernama Liakng, dan yang kedua laki–laki bernama Lasakng. Mereka pun tak luput dari bencana kelaparan tersebut. Bahkan sudah beberapa hari mereka tidak dapat makan, sehingga badan mereka menjadi kurus kering, kulit tinggal hanya pembungkus tulang.

Pada suatu malam dengan menahan rasa lapar, mereka ketiduran Dan di dalam tidurnya si janda itu bermimpi. Ia didatangi oleh kakek berkumis dan berjenggot putih.

Kakek itu berkata kepada si janda itu, “Hai, anakku, kalau kamu menginginkan kampung ini kembali makmur, maka hendaknya kamu korbankan kedua anakmu! Kedua anakmu itu harus kamu bunuh, lalu kamu kuburkan mereka secara terpisah.

Lantas kamu sirami kubur itu setiap hari hingga tumbuh tujuh batang pohon padi di atas kuburan si Liakng dan tumbuh tujuh pohon jagung di atas kuburan si Lasakng. Setelah sampai waktunya berbuah dan panen, maka kamu petik padi dan jagung itu, lalu kamu bagi-bagi benih padi dan jagung itu kepada semua penduduk kampung ini sebagai bibit.”

Setelah berkata demikian, maka kakek berjenggot putih itu lenyap dari hadapan si janda dan janda itu pun terjaga dari tidurnya.

Sejak bermimpi di malam itu, maka si janda itu makin banyak berdiam diri dan merenungkan makna mimpi itu serta berpikir dan berpikir, hingga pada akhirnya ia memutuskan untuk bertanya kepada tetua kampung mereka mengenai isi mimpi itu.

Setelah mendengar si janda tua itu, maka para tetua kampung berkata, “Kami tidak bisa memberi petuah kepadamu, karena anakmu itu cuma 2 orang, maka kami serahkan keputusannya kepadamu sendiri. Apakah kamu bersedia memberikan kedua anakmu sebagai korban demi keselamatan orang banyak di kampung kita ini?”

Setelah mendapat masukan dari para tetua kampung, maka pulanglah janda itu ke rumahnya, lalu memanggil kedua anaknya dan menceritakan perihal mimpinya itu dan masukan pendapat dari para tetua kampung kepada kedua anakannya itu.

Mendengar demikian, kedua anak itu berkata, “Ibu, walau kami tidak dibunuh, kami toh akan mati juga, karena kelaparan! Maka kami rasa lebih baiklah kami mati sesuai dengan anjuran si kakek dalam mimpi ibu itu!”

Si janda tua itu bertambah pilu hatinya, karena kedua anaknya itu merupakan tambatan hatinya di dunia ini. Bapak dari kedua anaknya itu telah lama meninggal dunia. Dan kini ditambah lagi dengan kedua anaknya sendiri yang siap mati demi keselamatan banyak orang di kampungnya.

Kepedihan hatinya itu terbawa ke dalam tidurnya pada malam itu. Ketika pagi ia terjaga, yang seolah-olah ada orang yang membangunkan mereka.

Lalu kedua anak itu berkata kepada ibunya, “Marilah kita segera lakukan perintah kakek tua itu, dan kami sudah siap! Tabahkanlah hati ibu dan lakukanlah apa yang diperintahkan dalam mimpi itu terhadap kami berdua ini dan di sini!”

Mendengar penuturan kedua anaknya itu, maka meneteslah air mata sang ibunda tercinta, karena merasa sedih akan kehilangan anaknya.

Lalu mereka pergi bersama-sama ke belakang rumah. Setelah tiba di belekang rumah, maka kedua anaknya langsung merebahkan diri di tanah.

Dengan linangan air mata, maka si janda tua itu memejamkan matanya sambil mengayunkan tangan yang telah terhunus mandaunya yang sangat tajam ke tubuh anaknya.

Setelah ia merasa bahwa mandaunya telah menghunus tubuh kedua anaknya itu, lalu pelan-pelan ia membuka matanya. Dan betapa terkejutnya si janda tua itu, karena jenazah kedua anaknya telah lenyap, entah ke mana?

Jenazah kedua anak itu tidak ada di tempat, di mana keduanya tadi berbaring dan terhujam mata mandau yang sangat tajam tersebut.

Hanya saja di tempat itu juga terdapat tujuh butir benih padi dan tujuh butir biji jagung.

Tapi tak jauh dari sekitar tempat itu, ternyata secara tiba-tiba saja ada dua makam baru yang adalah makam dari kedua anaknya.

Kemudian janda tua itu memungut 7 benih padi dan 7 benih jagung itu serta ditanamnya di atas kuburan kedua anaknya sesuai dengan petunjuk si kakek tua dalam mimpinya itu.

Setiap hari ia mendatangi dan menyirami benih padi dan jagung tersebut, sehingga dalam waktu seminggu saja kemudian tumbuhlah tujuh pohon padi dan tujuh pohon jagung dengan sangat subur.

Beberapa bulan berikutnya, padi dan jagung itu berbuah dengan lebatnya. Dan setelah sampai waktunya untuk dipanen, maka janda itu memetiknya. Panenannya itu diberikan kepada tetua kampung untuk dibagikan kepada semua penduduk di kampung sebagai bibit.

Dengan adanya bibit pembagian itu, maka penduduk mulai bergeliat seakan-akan hidup kembali untuk bertani dengan membuka lahan atau ladang untuk bercocok tanam.

Dan dengan adanya peristiwa itu, maka hujanpun turun sebagai tanda datangnya musim hujan yang sangat mereka tunggu. Semua penduduk kampung sangat berterima kasih kepada si janda itu, karena dengan rela ia mengorbankan kedua anaknya untuk kepentingan orang banyak di kampung itu.

Benarlah kata-kata terakhir dari kedua anak itu kepada ibunya, “Walaupun kami berdua mati, namun kami sesungguhnya tidak mati, melainkan tetap hidup!”.

Memang, karena jasa si janda tua dan kedua anaknya, maka ketiganya terus hidup dalam ingatan dan hati orang di kampung itu sejak itu hingga selama-lamanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.