Kamis, 15 Desember 2011

CERITA RAKYAT MONAAQ-RINGENG (VERSI TONYOOI-RENTENUKNG)


2. Siluuq Menghidupkan Ringeeng
Dalam perjalan pulang Monaaq mampir di rumah Siluuq, setelah mengutarakan apa yang dialaminya dan niatnya diserahkannya bungkusan daging Ringeeng pada Siluuq. Monaaq meminta bantuan Siluuq yang mempunyai kemampuan untuk menghidupkan  Ringeeng yang sudah mati dimakan hantu. Tetapi Siluuq menanggapi permintaan itu bahwa ia tidak bisa menghidupkan kembali Ringeeng apalagi yang tersisa hanya sedikit daging dari orang yang sudah mati.
Merasa kehabisan akal, maka Monaaq pun menangis tersendu-sedu mengingat kekasihnya itu. Kemudian ia beranjak pergi meneruskan perjalanan sambil terus menangis.
 Melihat Monaaq yang pergi begitu saja dan menangis sepanjang jalan, Siluuq merasa iba dengan nasib yang dialami Monaaq. Maka diambilnya bungkusan sisa daging Ringeeng yang diberikan Monaaq tadi, lalu dibuka kemudian Siluuq mengambil emas dan perak lalu dikerik dan dicampur dengan daging Ringeeng kemudaian dimasukan dalam belanga.
Kemudian belanga (lepooq) itu ditaruh diatas tungku untuk direbus, ketika telah mendidih maka tutup belangka lepas dan meletus, maka keluarlah seorang gadis cantik cuma sayangnya Bencoor  Beoor - Bengkaaq Mengaaq (gemuk pendek).
“Wah kenapa hasilnya begini?, ini bukan rupa Ringeeng yang asli’, bathin Siluuq, lalu dipukul dan dicincang lagi sampai halus lalu dimasukan ke dalam bambu petung (betuui) lalu kembali direbusnya dan ketika sampai waktunya mendidih maka puus……suara asap/embun keluar dan bersamaan itu keluarlah gadis tinggi semampai tetapi kulitnya hitam legam.
“Wah salah lagi, ini bukan rupa Ringeeng yang asli’, bathin Siluuq, lalu dipukul dan dicincang lagi sampai halus lalu dimasukan ke dalam lutuq besuriit / tolakng Bulauu (bambu kuning) lalu kembali direbusnya dan ketika sampai waktunya mendidih maka puus…… suara asap embun keluar dan bersamaan itu pula keluarlah gadis cantik dengan tubuh berwarna kuning, berbelang seperti warna bambu.
“Busyet,…ini bukan rupa Ringeeng yang asli’, bathin Siluuq, lalu dibunuh dan dicincang lagi sampai halus kemudian dimasukan ke dalam Empulii Bulau lalu kembali direbusnya dan ketika sampai waktunya mendidih maka puus…… suara asap embun keluar dan bersamaan itu akhirnya keluarlah gadis cantik yang tak lain adalah rupa Ringeeng asli (Oit tobeek Ringeeng ise, wariik oka Ringeeng ise).
Setelah Siluuq berhasil pesuli (menghidupkan kembali) Ringeeng, maka Siluuq berpikir keras mencari cara untuk mengembalikan Ringeeng pada Monaaq.
Akhirnya Siluuq mengambil keputusan untuk mengembalikan Ringeeng ke simpang delapan tempat pertemuan yang telah disepakati Ringeeng dan Monaaq dulu, Siluuq meminta pada Tempeko Rangaas Iyo dan Tekuyas Rangaas Bulaau, ripatn (pelayan Siluuq) untuk mengantar Ringeeng ke simpang delapan. Dan sekaligus Siluuq memerintahkan Tempeko Rangaas Iyo dan Tekuyas Rangaas Bulaau untuk menjadi ripatn Ringgeng.
Bersambung....

Rabu, 07 Desember 2011

MONAQ-RINGENG


SINOPTIK CERITA RAKYAT MONAAQ - RINGEENG
VERSI RENTENUKNG-TONYOI


Cerita rakyat adalah bagian dari hasil kebudayaan masyarakat pendukung suatu kebudayaan. Salah satunya cerita rakyat yang ada adalah Cerita Rakyat Monaaq-Ringeeng. Cerita Rakyat Monaaq-Ringeeng (CRMR) terdapat pada Komunitas Rentenukng-Linggang, Tonyooi dan Benuaq.
CRMR  termasuk dalam jenis Legenda, prosa rakyat yang mempunyai ciri-ciri yang mirip dengan Mite, dianggap benar-benar terjadi, tetapi tidak dianggap suci. Ditokohi manusia walaupun adakalanya mempunyai sifat luar biasa. Dan seringkali juga dibantu makhluk-makhluk ajaib (gaib). Tempat terjadinya adalah dunia seperti yang kita kenal sekarang ini.
CRMR dalam versi komunitas penutur Rentenukng-Linggang dan Tonyooi, ceritanya lebih singkat hal ini dikarenakan sangat sulit untuk mencari penutur yang mampu secara utuh menceritakan cerita ini, hal ini dikuatkan oleh pernyataan salah seorang narasumber dan juga seorang Pemeliatn senior di daerah dataran tinggi Tunjung-Linggang.
Cerita ini menceritakan percintaan antara muda-mudi (Monaaq-Ringeeng) dan pernak-pernik dalam mengarungi bahtera kehidupan berumah tangga, baik itu cerita suka maupun duka. Selain itu juga menceritakan tentang kecintaan seorang anak terhadap orang tuanya. Keserekahan, tipu daya dan kekejaman yang juga menjadi sifat/tabiat manusia dalam cerita ini dicontohkan pada orang Aput. Selain itu juga menceritakan asal-usul “Temputn” tentang terjadinya pohon Rotan, pohon Biruq (sejenis palem) dan balai pada acara beliatn (pengobatan tradisonal) yang masih dilaksanakan sebagian besar masyarakat komunitas etnis Rentenukng, Tonyooi dan Benuaq.
CRMR dalam versi Komunitas penutur Benuaq, lebih lengkap dan lebih rinci dibanding CRMR versi Rentenukng Linggang dan Tonyooi, menceritakan kisah perjalan cinta yang panjang dan berliku-liku antara Monaq dan Ringeng dengan latar belakang lingkungan alam, budaya dan adat yang sangat kental. Diceritakan pula Badai dalam mengarungi bahtera keluarga, istri/suami direbut orang, perselingkukan dan yang menarik adalah bahwa pelaku yang merebut suami/istri orang itu adalah bukan orang biasa/rakyat biasa tetapi adalah keturunan Raja/Mantiq bahkan dewa-dewa. Juga diceritakan bagaimana campur tangan Nayuq untuk membuat keseimbangan di Bumi (“Kebaikan akan Mengalahkan Kejahatan”.)
Dibandingkan dengan cerita rakyat (intont) lainya yang dituturkan secara lisan, CRMR merupakan cerita rakyat yang dikhawatirkan akan punah keberadaanya, karena hanya segelintir orang tua yang mampu menuturkan cerita ini secara utuh dan kebanyakan mereka hanya bisa menuturkan sebagian penggalan cerita.



SINOPTIK CERITA RAKYAT MONAAQ - RINGEENG
VERSI RENTENUKNG-TONYOI


A.                 ETNOGENESIS RENTENUKNG

Alkisah, saat orang Rentenukng bersama-sama membuat semacam jembatan atau titian penyeberangan di atas sungai Mahakam yang dibuat dari rotan, tiba-tiba terdengar teriakan ayau-ayau. Lalu, terjadilah salah pengertian atau pendengaran mengenai arti kata tersebut. Sementara orang, ketika itu mengartikan sebagai payau, sedangkan yang lain mengartikannya sebagai ayau. Akibat salah pengertian dan pendengaran tersebut jembatan rotan itu diputuskan. Oleh karena itu kelompok seberang utara sungai Mahakam kembali mudik sungai Mahakam dan bersatu dengan kelompok suku yang hingga sekarang dikenal sebagai orang Penehing atau Aoheng, sedangkan orang-orang yang sudah tiba di seberang selatan meneruskan perjalanan menghilir sungai Mahakam dan selanjutnya menetap di Ahatn atau Han (bdk.Lahajir, 2001).
Di kampung Ahatn ini, menurut informan, orang Rentenukng pernah di serang oleh bala tentara kerajaan Kesultanan Kutai.   Sebelumnya, kampung ini juga silih berganti di serang oleh suku-suku Dayak lain, namun selalu tidak berhasil terkalahkan. Nanum,  Kesultanan Kutai tetap berusaha mencari cara untuk merebut kampung Ahatn dan menguasai orang Rentenukng. Menurut cerita, kampung ini dipagari oleh bambu-bambu hidup (priikng).
Akhirnya, Kesultanan Kutai mengirim seorang mata-mata untuk tinggal di kampung Ahatn. Mata-mata itu menikah dengan sorang gadis Rentenukng di kampung tersebut. Setelah menikah, maka sang mata-mata itu terus mencari informasi dari isterinya mengenai rahasia kekuatan kampung Ahatn, yang tidak pernah terkalahkan oleh musuh dari manapun.
Setelah mengetahui rahasia pertahanan kampung ini, maka lelaki mata-mata itu pergi meninggalkan isterinya dan menyampaikan keterangan yang ia peroleh kepada Sultan Kutai.. Bahwa kekuatan pertahanan kampung Ahatn tersebut terletak pada pagar bambunya. Mendapat informasi tentang rahasia kekuatan kampung Ahatn tersebut, maka Kesultanan Kutai mempersiapakan serangan ke kampung Ahatn.
Kesultanan Kutai mengirim suku yang telah ditundukkannya terlebih dahulu, yaitu orang Tawanaaq, sebagai bala tentara yang diperlengkapi dengan berbagai perlengkapan senjata dan ritual perang. Lantas rombongan perang Kesultanan Kutai terlebih dahulu mempersembahkan korban pada batu seniang supaya menang dalam pertempuran melawan kampung Ahatn. Namun serangan yang pertama ini gagal.
Cara berikutnya adalah menaburkan manik-manik di sekeliling pagar bambu hidup (dan berduri) itu. Ketika gadis-gadis kampung itu turun ke sungai untuk mandi, mereka melihat manik-manik yang bertebaran itu. Mereka lalu mengumpulkannya dan memberitahukan kepada orang-orang tua di kampung tersebut. Kemudian, orang-orang kampung pun ikut memetik atau mengumpulkan manik-manik tersebut, bahkan menebang atau membersihkan bambu  pagar kampung untuk menemukan manik-manik bertaburan di sana Akibatnya, pertahanan kampung itu hilang, sehinga memudahkan balatentara Kesultanan Kutai menyerang kampung dengan mudah.
Orang-orang di kampung Ahatn kalah dan menyerah, sehingga sejak saat itu, orang Rentenukng berada di bawah kekuasaan Kesultanan Kutai atau menjadi orang yang tidak marantikaaq-mrentawaai (merdeka) lagi. Walaupun demikian, orang Rentenukng tidak pernah diperlakukan sebagai budak oleh Kesultanan Kutai.
Menurut tokoh Rentenukng, akibat kekalahan tersebut orang Rentenukng membuang sebagian harta pusaka nenek-moyang mereka ke sungai Mahakam, antara lain Sebuah Gong Besar yang  disebut Ulaq Lingakng, yang dijatuhkan di muara sungai Han (sekarang di hulu kampung Kliwai).
Dari Ahatn, orang Rentenukng pindah ke Apo Beliatn. Di sana, mereka mengadakan upacara-upacara ritual atau belian untuk membuang sial atas kekalahan mereka. Upacara belian ini dipimpin oleh Singar Irih dari Bayaaq. Selanjutnya, orang Rentenukng berpindah-pindah kampung. Barangkali ada sekitar 200 kampung (puncutn luuq) bekas pindahan orang Rentenukng sebelum menetap tinggal di kampung Linggang Melapeh yang sekarang ini yang berdiri tahun 1915 (Lih. Lahajir, dkk., 2007, Sekapur Sirih Sejarah Kampung Linggang Melapeh, CERD). Kini, orang Rentenukng disebut dengan nama-nama lain, seperti “Tunjung Rentenukng”, “Tunjung Linggang” atau “Tonyooi-Rentenukng” ( Lahajir, 2001).
Istilah “Tunjung” mungkin sekali berasal kata “tuncukng” (bahasa Rentenukng), yang berarti mudik ke hulu sungai. Oleh karena itu, orang Tunjung berarti orang hulu, orang dari tanah hulu. Lalu, kata itu diucapkan (dilafalkan) menjadi “Tunjung”. Pengucapan seperti ini tampaknya berasal dari orang luar, yaitu orang Haloq atau orang Kutai. Begitu pula halnya dalam istilah “linggang”, yang berasal dari kata “ulaq lingakng” (nama gong besar yang dijatuhkan ke sungai Mahakam) yang kemudian berkembang menjadi linggang. Sedangkan istilah “rentenukng” (rantau dan nukng), berarti rantau hulu atau hulu sungai Mahakam. Orang Rentenukng menyebut Sungaai Mahakam dengan istilah “rantau”.
Adapun istilah “tonyooi” menurut saya, mungkin berasal dari kata “tonoy” yang berarti roh pemberi restu dalam upacara-upacara adat besaraaq di kalangan Rentenukng. Pada waktu melakukan upacara adat yang disebut melas kelakar dalam rangka suatu pengadilan adat, maka orang selalu terlebih dahulu memohon restu dari Tonoy Luuq dan sebagainya (Lahajir, 2001:130).
Dari gambaran di atas, tampak bahwa orang Rentenukng memang pernah bertemu dan berhubungan baik dengan orang Penehing di hulu Mahakam, tetapi tidak berasal dari sana. Orang Rentenukng adalah keturunan kelompok Sengkereaq di sungai Bengkalakng. Selain itu tokoh adat Rentenukng[1] juga mengatakan bahwa orang Rentenukng juga bukan keturunan Tulur Aji Jangkat (leluhur orang Tunjung Tengah).
Uraian tersebut di atas, sekurang-kurangnya dapat dikatakan bahwa pada zaman dahulu, pernah terjadi hubungan baik di antara kedua kelompok suku tersebut (Rentenukng dan Penehing), atau bahwa orang Rentenukng pernah bermigrasi dari daerah sungai Bengkalakng ke daerah orang Penehing di ulu Mahakam.




B.         CERITA RAKYAT RINGEENG-MONAAQ


1. Tragisnya Cinta Ringeeng-Monaaq
Alkisah dahulu kala di suatu tempat yang bernama Datai Berentiwaaq, di daerah Tiwai, hiduplah seorang puteri yang sangat cantik bernama Ringeeng, dari zamannya hingga sampai sekarang belum ada yang bisa menyamainya.
Ringeeng terlahir dari keluarga yang cukup besar, sebab saudaranya ada 5 orang yaitu Oso, Lasatn, Tuokng, Ngurakng dan Timang. Ayahnya bernama Anyaakng dan ibunya bernama Imuukng.
Sementara itu di tempat yang sama ada seorang pemuda yang sangat tampan dan rupawan, yang sangat diidam-idamkan para gadis, karena selain tampan pemuda ini banyak memiliki ilmu dan kelebihan yang dimiliki. Pemuda ini bernama Monaaq yang terlahir dari ibu yang bernama Rumiiq Juataq dan ayahnya bernama Pangkootn Seniang.
Monaaq mempunyai dua saudara yaitu Lalukng dan Lencutn Lalukng.  Lalukng kawin dengan Oso saudara Ringeeng, sehingga nantinya Monaaq meruai (beripar) dengan dengan Lalukng saudaranya.
Layaknya pemuda pada umumnya ketika Monaaq melihat Ringeeng maka tergetarlah hatinya, selanjutnya jatuh cinta pada Ringeeng namun demikian pula yang terjadi dengan Ringeeng, iapun jatuh hati pada Monaaq yang sangat tampan dari semua pemuda yang ada di tempatnya. Ibarat gayung bersambut karena sama-sama saling jatuh hati, maka keduanya sepakat pacaran. Proses pacaran mereka cukup pelik karenanya membuat janji akan bertemu diujung jalan, dimana ujung jalan yang dimaksud terdapat (8) delapan simpang.  Tempat pertemuan yang mereka sepakati adalah simpangan tersebut. Dalam janji keduanya sepakat siapa yang sampai ke simpangan lebih dulu itu maka dia harus menunggu sampai datang sang kekasih. 
Singkat cerita sampailah pada waktu yang dijanjikan, Ringeeng berangkat menuju simpang delapan, namun setibanya Ringeeng di Simpang Delapan  belum ada Monaaq dan hujanpun mulai turun, karena tidak mau kebasahan maka Ringgeng mengambil daun kelajar ( keladi air) untuk berteduh atau berlindung dari hujan. Sudah cukup lama Ringeeng menunggu kedatangan Monaaq, namun Monaaq tidak kunjung datang juga, hal ini membuat hati Ringeeng resah dan gelisah.  Sampai akhirnya ada hantu yang besar yang melewati simpang delapan dan secara tidak sengaja menginjak Ringeeng yang berteduh di bawah daun kelajar, maka seketika itu pula tubuh Ringeeng hancur (remuk tubuhnya) dan mati.
Merasa ada menginjak sesuatu, hantu itu berhenti dan melihat benda yang diinjaknya dan ia sangat girang sambil berkata.
 “Yah..lumayan lah ada bangkai bekooq (katak) ini, cukup untuk santapan (lauk) di rumah nanti.”
Setelah itu hantu itu memungut jasad Ringeeng dan membawa pulang ke rumah.
Sesampainya di rumah, hantu itu menuju dapur dan dari atas para-para ia mengambil tusuk panggangan dan menusuk daging Ringeeng kemudian memanggang seperti memanggang sate. Setelah kelihatan masak maka mulailah hantu dan isterinya makan daging Ringeeng, layaknya seperti makan sate kambing, ayam atau jenis daging lainnya.
Kembali ke Monaaq, setelah berjalan cukup lama akhirnya Monaaq sampai juga di persimpangan delapan yang telah dijanjikan. Monaaq kaget dan kecewa karena ia hanya menemukan ceceran darah dan bekas tubuh Ringeeng yang  remuk terinjak hantu. Penasaran siapa gerangan yang telah membunuh kekasihnya Ringeeng, Monaaq mulai memeriksa dan menemukan ceceran darah, maka ia mulai menyusuri jejak ceceran darah.
Ketika hari hampir malam Monaaq tiba di sebuah rumah di area tebing batu. Suasana gelap saat itu Monaaq terus mendekati rumah itu dan dari bawah ia menyapa pemilik rumah dengan ucapan khas orang Dayak, apabila menemui rumah yang bukan kerabatnya.
“Nya kaheeq lam periikng dapeq kapm tih booq,” (“Apakah rumah tidak sedang dalam masa tabu atau pantang).
“Tidak….silahkan naik..!”. Terdengar sahutan dari atas rumah.
Monaaq lalu naik ke rumah itu dan dalam rumah itu gelap gulita dan hanya ada dua orang (kakek dan nenek). Si nenek menyuruh Monaaq untuk makan malam dan mengambil nasi di dapur tetapi tidak ada lauknya.
 “Kakek kamu tadi jalan hanya dapat seekor katak dan itu juga telah kami makan habis.”
Dalam hatinya, Monaaq sangat yakin bahwa katak yang dimaksud adalah Ringeeng kekasihnya. Monaaq mencari akal agar bisa mendapat daging Ringeeng, maka ia minta sedikit saja daging katak yang mereka panggang tadi, tetapi hantu itu menjelaskan pada Monaaq bahwa daging maupun tulang telah habis mereka makan.
Monaaq tidak putus asa, ia tetap meminta meski hanya bekasnya saja yang ada di tusukan bekas panggang. Akhirnya hantu memperbolehkan Monaaq mengambil dan menyuruh mencari sendiri tusukan diatas para-para di dapur.
Tanpa pikir panjang lagi ia  langsung mencari di atas para di dapur, akhirnya ia menemukan tusukan yang dimaksud, segera Monaaq mengambil semua sisa daging yang masih lengket di tusukan lalu di bungkus dan disimpan dalam bajunya. Setelah itu Monaaq kembali melanjutkan makan malamnya dalam keadaan yang gelap gulita.
Monaaq mempunyai sebuah cincin emas di jari tangannya, dalam kegelapan itu cincin emasnya kadang mengeluarkan sinar yang dapat menerangi Monaaq makan.
Melihat nyala dan cahaya cincin itu, maka hantu baru tahu bahwa orang dihadapan mereka ini adalah Monaaq, lalu menyapanya.
 “Apakah kamu itu Monaaq..?”
“Ya…, saya Monaq.”. Jawab Monaq. Ia terkejut dan berkata dalam hati “dari mana hantu ini tahu nama saya”
Lalu hantu berkata lagi, “Bo..bo.., dari mana kamu mendapatkan itu, karena cincin itu adalah cincin saya dulu yang kuberikan pada ibu kamu saat saya becahuuq (selingkuh) dengan ibumu.”
 “Ibu saya yang memberikan cincin ini pada saya”, jawab Monaaq
 “Coba kalau kamu tidak pakai cincin itu itu, maka kamu akan kami jadikan santapan untuk lauk pauk malam ini.”
Setelah makan, Monaaq pamit pulang pada hantu itu dan hantu itupun mempersilahkan Monaaq pulang. Monaaq pulang dengan membawa bungkusan sisa daging Ringeeng yang diambilnya dari tususkan daging di rumah hantu tadi.

Bersambung..........
Sumber Buku : Cerita Rakyat Monaaq Ringeng, CERD-BAPEDA KUTAI BARAT 2009