Minggu, 31 Oktober 2010

SI KUMANG DAN PUTERI SERANGGA INAI

ALKISAH pada zaman dahulu di suatu kampung kecil, hiduplah seorang ibu dengan dua orang anaknya. Sang ibu bernama Darma Shinta. Kedua anaknya masing-masing bernama Buku dan Kumang. Kehidupan keluarga ini sangat miskin.
Kedua anak tersebut mempunyai watak-perangai yang sangat berbeda satu sama lainnya. Kumang adalah anak yang pemalas dan suka membantah perintah ibunya, sedangkan Buku sangat rajin dan sangat patuh dengan perintah ibunya.
Ibunya sedih merenungkan nasib yang dialaminya bersama dengan dua anak yang berbeda watak-perangai itu.
Pada suatu hari ketika Buku dan Kumang mengobrol, tiba-tiba Buku mengusulkan suatu ide kepada Kumang, kakaknya, “Bagaimana kalau kita pasang jerat di hutan belantara sana? Karena meskipun kita tidak punya beras, tetapi apabila jerat kita menangkap binatang hutan, maka daging binatang itu bisa kita makan sekedar untuk bertahan hidup kita sehari-hari".
Kumang menjawab adiknya, “Kalau begitu baiklah! Tapi di mana kita bisa menemukan tali untuk membuat jerat itu?"
Buku adiknya menjawab, "Kita jangan kurang akal, karena di dalam hutan sana banyak akar-akaran yang seratnya bisa digunakan untuk tali jerat kita."
Kumang berkata, "Baiklah kalau begitu! Mari kita dua berangkat sekarang juga ke hutan sana!"
Lalu keduanya menemui ibunya untuk menyampaikan maksud keduanya yang ingin pasang jerat di hutan. Mendengar niat kedua anaknya itu, maka ibunya sangat gembira dan mendoakan semoga usaha kedua anaknya berhasil.
Mereka berdua berencana masuk hutan pada esok pagi. Setelah pagi pun tiba, maka berangkatlah Buku dan Kumang menuju hutan belantara. Namun seharian mereka berjalan di dalam hutan belantara itu, mereka belum juga menemukan akar yang dimaksudkan. Oleh karena itu, perjalanan mereka harus dilanjutkan terus hingga hari yang keempat.
Pada hari kelima, konon mereka sampai di pinggir laut. Karena sudah senja, maka keduanya segera menyiapkan tempat istirahat di pantai laut yang sangat indah.
Esok paginya keduanya berjalan menelusuri pantai laut. Dan di pantai laut itulah, keduanya menemukan akar yang bisa dipakai sebagai tali jerat binatang di hutan.
Keduanya sangat girang hati. Pada hari itu juga  mereka mengambil semua serat akar itu. Setelah itu, keduanya memutuskan kembali ke rumah dan dalam waktu yang sama dengan hari-hari kepergiannya, demikian juga dengan waktu pulangnya.
Setelah sampai di rumah, maka keduanya istirahat selama 3 hari, karena kecapaian dalam perjalanan pulang pergi sekitar sepuluh hari tersebut.
Baru pada hari berikutnya bersama ibunya, mereka membuat tali jerat dari serat akar tersebut. Dalam waktu satu minggu, tali jerat itu semuanya selesai.
Pada pagi harinya, maka keduanya mulai memasang jerat dari depan rumah mereka hingga di pinggir laut tempat mereka mengambil akar itu dulu. Pemasangan jerat ini adalah sekitar satu bulan lebih.
Selesai memasang jerat itu, maka keduanya kembali sambil menelusuri jerat yang telah terpasang. Keduanya gembria sekali, karena jeratnya telah menangkap berbagai jenis binatang hutan dan tentunya dibawa ke rumah ibunya.
Setibanya di rumah, maka mereka berpesta pora menikmati daging hewan yang kena jerat. Jadi pekerjaan mereka hanyalah makan dan tidur saja sampai daging itu habis, barulah mereka teringat lagi dengan jerat-jerat yang telah lama tidak diperiksanya.
Lantas Kumang mengajak adiknya untuk melihat jeratnya itu. Pada waktu yang masih pagi-pagi benar, maka keduanya berangkat, tapi anehnya walau sudah setengah perjalanan, tidak ada satupun binatang yang terperangkap oleh jerat mereka.
Meskipun demikian, mereka tetap meneruskan perjalanan sampai pada ujung jalan jerat di lautan sana. Di penghujung deretan jerat di sana, lantas baru terlihat ada jerat yang menjerat binatang. Mereka berdua lari menuju jerat tersebut.
Ternyata jerat itu menangkap seekor anak kuda emas. Keduanya sangat senang sambil menangkap dan melepaskan jerat dari kaki seekor anak kuda emas tersebut.
Setelah itu mereka pulang sambil menggendong anak kuda emas itu silih berganti. Karena jalannya masih jauh, maka keduanya merasa capai dan beristirahat sejenak sekedar melepaskan lelah.
Tampaknya anak kuda emas itu sangat jinak sepertinya pernah dipelihara orang saja. Ternyata dugaan mereka itu benar, karena setelah dilepas di situ, anak kuda emas itu tidak lari dan anehnya saat mereka berjalan lagi, anak kuda emas malah mengikuti mereka dari belakang.
Sesampainya di rumah, ibunya ikut gembira melihat anak kuda emas itu, meskipun kedua anaknya tidak membawa binatang lainnya.
Pada saat anak kuda itu mulai berada dalam peliharaan dan asuhan mereka, maka sejak malam pertama saja sudah terjadi perubahan yang nyata dalam kehidupan mereka, seperti guci tempat beras bisa berisi sendiri dengan beras, sehingga keperluan mereka dengan sendirinya tersedia.
Demikianlah hal itu berlanjut terus sampai beberapa lama  hingga kehidupan mereka serba berkecukupan tanpa ada  kekurangan apa pun juga.
Anak Kuda emas itu dibuatkan rumahnya yang bagus oleh si Buku dan si Kumang. Dan setiap hari pula anak kuda emas itu digembalakan untuk makan rumput yang ada di sekitar rumah mereka. Mereka sangat bersahabat dengan anak kuda emas tersebut.
Roda waktu terus berputar. Setelah kehidupan si ibu dan dua anaknya itu berkecukupan, maka sudah tiba waktunya juga bagi anak kuda emas itu untuk kembali ke asalnya.
Pada suatu hari setelah dilepaskan dari rumahnya yang bagus, maka anak kuda emas itu tidak kembali ke kandangnya sehari dan semalam suntuk dan pada pagi hari besoknya, barulah anak kuda emas itu ada di kandangnya.
Pada hari ketiga, anak kuda itu tidak pulang hingga hari ketujuh. Hal ini membuat si Kumang getir, kalau-kalau kuda kesanyangan mereka itu tidak pulang dan hilang.
Lantas si Kumang bercerita pada ibunya bahwa ia akan pergi ke hutan untuk mencari kuda mereka yang tak kunjung kembali seperti biasanya.
Ia berkata kepada ibunya, “Bu, saya akan mencari kuda itu sampai bertemu, dan sebelum saya temukan, maka saya tidak akan kembali!”. 
Lantas Si Kumang berpesan kepada adiknya, “Kamu jagalah ibu kita dengan baik-baik, semoga saja saya tidak terlalu lama di hutan, dan aku segera kembali  membawa kuda kita itu.” 
Pada malam itu juga ibu dan adiknya menyiapkan bekal yang akan dibawa oleh si Kumang pada pagi harinya.
Sekitar jam 05.00 pagi, si Kumang bangun dan menyiapkan segala sesuatu yang akan dibawanya. Setelah matahari muncul di ufuk timur, maka si Kumang berangkat menuju hutan guna mencari kuda kesayangan mereka.
Tidak terlalu jauh dari rumah atau sekitar 200 meter saja, si Kumang telah menemukan kuda itu tidur di semak-semak belukar tempat ia makan di situ. Si Kumang sangat gembira, karena begitu cepatnya ia menemukan kudanya dan segera membawa pulang ke rumahnya.
Akan tetapi harapan Si Kumang meleset, karena saat ia mendekat untuk menangkap kuda itu, maka kuda itu bangkit dan meloncat cukup jauh dari tempat si Kumang berdiri.
 Khawatir kalau-kalau tangkapannya lepas lagi, maka si Kumang terus mengejar kuda itu, tetapi anak kuda itu sangat lincah, sehingga setiap kali ia hendak menangkapnya, maka ia selalu menjauh dan menjauh dari si Kmang, namun ia tidak langsung menghilang di semak-semak belukar di sekitar rumahnya itu juga.
Pengejaran itu terus berlanjut hingga sore hari. Si Kumang mencari tempat untuk tidur di sekitar tempat itu juga pada malam itu.
Pagi harinya, ketika bangun pagi, ia langsung mengintai untuk mencari anak kuda dan ternyata anak kuda itu pun tidur tidak jauh dari tempatnya tidur malam itu. Anak kuda itu pun kecapaian tampaknya, karena seharian kemarin berkejar-kejaran dengan Si Kumang.
Akhirnya si Kumang berkata dalam hatinya, “Ah, masa bodoh! Anak kuda itu masih saja menunggu saya. Kalau kamu mau pulang ke rumah saya, ya, pulanglah! Atau kamu mau hilang, yang hilanglah! Atau kalau kamu mau kembali ke tempat asalmu, kembalilah sekarang juga!”
Setelah si Kumang berkata dalam hatinya itu tadi, si anak kuda itu, bukannya lari, tapi malah mendekati si Kumang.
Dengan demikian berarti bahwa anak kuda ini tidak lari ke hutan atau menghilang darinya. Lantas Si Kumang tidak sabar lagi, maka langsung coba ditangkapnya anak kuda itu. Akan tetapi si Kumang selalu saja kalah gesit, sehingga tidak berhasil menangkap anak kuda itu. Namun, tampaknya anak kuda itu sendiri memang sengaja tidak meninggalkan Si Kumang di tengah hutan belantara.
Hal demikian berlanjut sampai berhari-hari dan perjalanan Kumang pun sudah jauh memasuki hutan lebat.
Pada hari terakhir, karena Si Kumang telah memutuskan, jika ia tidak bisa juga menangkap anak kuda itu, maka ia akan  pulang saja. Tapi anehnya pada hari itu, anak kuda itu berjalan agak perlahan-lahan sambil menuju sebuah pohon beringin yang besar dan rindang daunnya.
Si Kumang terus mengikuti dari belakang. Pada saat kuda itu telah sampai di bawah pohon beringin, maka tiba-tiba anak kuda itu lenyap dari pandangan si Kumang.
Lantas, si Kumang berkata dalam hatinya, “Aku beristirahat dulu saja di bawah pohon beringin ini, dan besok aku kembali pulang ke rumahku”.
Dia pun baring untuk melepaskan penat, lapar dan dahaganya. Sementara pandangannya tertuju ke atas  pohon beringin tersebut, maka ia melihat ada rumah yang cukup besar dan cukup antik.
“Nasib baik bagiku!”, kata Si Kumang dalam hatinya. Lantas Kumang berkata lagi dalam hatinya, “Untunglah, Aku kok bisa menemukan rumah orang dalam hutan belantara ini seperti ini”.
Si Kumang pun langsung bangkit dan memanggil yang empunya rumah, “Apakah ada orang di dalam rumah di sini?”
Lantas ada suara jawaban,  Ada!”
Si Kumang bertanya lagi,  “Bisakah aku numpang naik di rumah ini?”
Orang itu menjawab lagi, “Boleh! Silahkan naik dan masuk!”.
Si Kumang pun naik dan dilihatnya seorang nenek tua yang sudah bungkuk duduk di tengah–tengah rumah tersebut.
Lantas Si nenek tua mempersilahkan Si Kumang duduk dan si nenek itu menyuguhkan minuman dan makanan sekadarnya.
 Si Kumang pun mulai menceritakan riwayat perjalananya hingga sampai di tempat si nenek ini. Nenek tua itu juga memperkenalkan namanya, bahwa namannya adalah Nenek Lampir.
Sementara keduanya ngobrol, pandangan Si Kumang tertuju ke kolong rumah dan dilihatnya anak kuda emas yang barusan saja menghilang, sedang tidur nyenyak di dalam kandangnya.
 Si Kumang bertanya kepada nenek tentang riwayat kuda tersebut. Nenek Lampir lantas menceritakan bahwa, “Kuda tersebut adalah peliharaannya sendiri. Berhubung nenek ini kasihan melihat keadaan kamu, ibumu dan adikm yang serba miskin, maka diserahkanlah kuda itu melalui jerat yang kalian pasang. Sekarang nenek mengetahui bahwa keadaan kalian sudah cukup baik, maka kuda emas itu saya ambil kembali dari kalian”.
Setelah mendengar cerita si Nenek Lampir itu, maka  si Kumang berkata kepada nenek itu, “Saya mohon pamit nenek! Saya sekarang mau kembali kepada ibu dan adikku, karena sudah cukup lama saya berada dalam hutan belantara ini”.
Tetapi nenek tua itu mencegah kepergian Kumang dan kembali menceritakan mengapa nenek tinggal di tengah belantara ini.
Nenek Lampir bercerita, “Nenek tinggal di sini untuk menjaga anak kuda emas itu dan menjaga keamanan bagi tujuh Puteri kayangan yang mandi di kolam di depan rumah si nenek di situ. Kalau bisa Kumang menginap saja barang satu atau dua  hari lagi guna sekedar melihat tujuh Puteri kayangan tersebut mandi di kolam itu. Biasanya kalau mereka turun mandi, hari sangat panas dan disertai suara angin ribut dan pada jam 12 siang”.
 Keesokan harinya hari pun sangat panas terik dan tepatnya pada jam 12 siang, maka ada suara seperti angin topan dari atas langit dan si Kumang pun bergegas turun dari atas rumah dan bersembunyi di bawah tangga kolam tempat mandi mereka. Tidak lama kemudian mereka pun kelihatan di sela–sela awan yang tebal dan muncul satu persatu, yang petama adalah yang paling sulung dan berlanjut seterusnya sampai yang paling bungsu.
 Yang paling bungsu langsung membuka baju terbangnya dan meletakkannya di atas kepala tangga di mana tempat si Kumang bersembunyi. Dan mereka semua pun asyik mandi dan bersenda gurau satu sama lainnya.
Lantas Si Kumang perlahan–lahan keluar dari tempat persembunyiannya dan mengambil baju terbang gadis yang paling bungsu tersebut, lantas menyembunyikannya dalam sarung kerisnya sendiri.
Setelah puas mandi, maka para bidadari tersebut bergegas untuk kembali pulang ke tempat mereka di kayangan sana.
 Untuk itu satu persatu mereka mengenakan pakaian terbangnya.  Giliran yang terakhir si bungsu mencari pakaian terbangnya, tapi tidak didapatinya. Ia mencari ke sana ke mari namun tak ditemukannya.
Lantas Si Bungsu itu berteriak dan menangis, karena tidak didapatinya pakaian terbangnya, dan dengan sigapnya si Kumang keluar dari persembunyiannya dan menangkap Puteri Bungsu tersebut dan membawa ke atas rumah Nenek Lampir.
Adapun Putri Bungsu itu sendiri ditinggalkan oleh kakak– kakaknya yang kembali ke langit. Dan sesampainya mereka di kayangan, mereka pun segera melaporkan kepada ayah mereka bahwa adik mereka telah diculik dan baju terbangnya pun dicuri manusia di bumi sana.
Sang ayah mereka berusaha membuat baju terbang yang baru, namun tidak berhasil. Maha Putra Guru itu berkata, “Mungkin adik kalian ini sudah menemukan jodohnya dengan manusia di bumi sana!”
 Pada Hari pertama, Putri Bungsu itu menangis sejadi– jadinya, karena merasa asing di bumi dan tinggal jauh dari keluarganya.
Setelah hari kedua dan ketiga, barulah ada perubahan. Si Kumang memperkenalkan dirinya dan Putri Bungsu pun memperkenalkan namanya, yaitu Puteri Serangga Inai. Jadilah si Kumang dan Puteri Serangga Inai menikah di bumi ini.
Pada keesokan harinya, si Kumang dan Puteri Serangga Inaai berangkat untuk kembali ke tempat si Kumang.
Jalan yang harus mereka tempuh memakan waktu berbulan–bulan. Perjalanan yang dulunya hanya ditempuh  oleh Kumang hanya satu hari saja.
Setibanya mereka di rumah, maka tampak bahwa akar-akar tetumbuhan telah membalut rumahnya sampai ke bumbungan atap. Keduanya masuk ke dalam rumah itu dan dilihatnya bahwa adik dan ibunya sudah hampir tidak bernapas lagi, hanya kulit membalut tulang saja.
Lantas Puteri Serangga Inai merasa iba melihat keadaan ini, lalu ia duduk di dekat mereka dan disapunya dengan tangan dari kepala sampai ujung kaki, dan seketika itu juga mereka bangkit dari tidurnya dan duduk menceritakan hidup mereka sepeninggalnya si Kumang yang mencari anak kuda emas yang hilang di hutan belantara.
Pada malam harinya sang Puteri Serangga Inai meminta kesediaan si Kumang, suaminya itu untuk mengukur luasnya kampung tersebut, yaitu “7 rantau ke hilir, 7 rantau ke hulu, dan 7 gunung ke darat”.
Pada keesokan harinya, si Kumang pun berangkat dan mengadakan pengukuran sesuai dengan permintaan si Puteri Serangga Inaai, dan pengukurannya tersebut selesai pada hari yang keenam.
Tepat pada tengah malam, Puteri Serangga Inai bangkit dari tidurnya dan keluar rumah dan langsung berdoa sebagai berkut,
“Riang-riang hari bujang gaq,
riang–riang hari kapulun,
jika asal-usulku anak Kayangan,
mohon doaku ini dikabulkan,
7 rantau ke hilir,
7 rantau ke hulu,
7 gunung ke darat, 
akan menjadi sebuah kota,
ranting dan dahan kayu pun,
akan menjadi rumah dan gedung,
dan daun–daunnya pun,
akan menjadi manusia,
serta rumah kami ini,
menjadi Istana,
bermahligaikan emas dan intan.
Si Kumang menjadi raja,
dan aku jadi permaisurinya”.
Keesokan harinya si Kumang berserta Ibu dan adiknya bangun, maka mereka merasa ada suatu keanehan. Melihat sekeliling keadaan di dalam rumahnya dengan ruangan begitu banyak, luas dan megah dan dihiasi lampu–lampu yang terang benderang.
 Tempat tidur pun terbuat dari bahan yang empuk bersih dan enak untuk tempat beristirahat bila malam telah tiba.
 Sampai–sampai berjalan di dalam rumah pun tersesat, karena begitu besar dan luasnya bangunan tersebut. Suasana bertambah ramai, hiruk pikuk manusia yang memecahkan suasana yang biasanya hening sunyi dan sepi.
Pada pagi hari itu, rakyat banyak berkumpul di Istana untuk menyaksikan penobatan si Kumang sebagai Raja baru, sedangkan Puteri Serangga Inai adalah Permaisurinya.
Di bawah kepemimpinan raja baru dan pertama itu (Kumang), maka segala kebutuhan rakyatnya dapat terpenuhi, sehingga kehidupan rakyatnya aman, makmur dan sejahtera.